Sunday, November 27, 2005

Mie Instant

Mi instan dan lidah kampung
Dia terburu-buru memasuki ruang kerja berukuran 3x3 meter yang terletak paling sudut lantai II, Sekretariat PBHI di Komplek Perkantoran Mitra Matraman, Jakarta. Sejenak dia menengok ke jam warna hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pukul 14.30 WIB.
Kesibukan mempersiapkan HUT PBHI yang kesembilan hari itu membuatnya lupa makan siang. "Maaf ya, saya baru tiba, ada sedikit urusan tadi," ucapnya kepada Bisnis.
Jumat itu kesibukan memang terlihat di Sekretariat Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia. Mereka sedang mempersiapkan HUT yang dirayakan pada malam harinya.
Namun kesibukan adalah bagian dari hidup Hendardi. Dia terbiasa bekerja 15 jam per hari. "Saya tidur paling empat sampai lima jam," tutur penggemar Liga Italia ini.
Selain kurang tidur, ada lagi yang jadi korban yakni kegemarannya bermain sepak bola. Hendardi adalah anggota klub sepak bola ketika dia masih pelajar dan mahasiswa. Sekarang yang bisa dilakukannya hanyalah menonton pertandingan bola di televisi.
Dalam perbincangan, sesekali pemilik tinggi 166 cm dan berat 74 kg ini meminta maaf karena harus menerima telepon atau membaca pesan pendek (SMS). Dua buah handphone berada di depannya.
Berbicara mengenai makanan, pria kelahiran Jakarta, 48 tahun silam ini mengaku mempunyai lidah kampung. Kesulitan datang kala dia berada di luar negeri untuk suatu acara.
Pernah, saat mengikuti visitor program di AS selama satu bulan dia sempat pusing karena tak cocok dengan makanan di sana. Untuk mengatasi lidah kampungnya itu, dia membawa rice cooker mini plus mi instan. "Jadi, sampai di hotel saya masak mi lagi," ujarnya.
Tak ada resep
Ketika ditanya bagaimana menjaga vitalitas tubuh agar tetap sehat di tengah aktivitas yang padat, dia tertawa . "Tidak ada resep khusus."
Malah dia merasa tidak dapat menjaga tubuhnya dengan baik sehingga berat badannya terus bertambah. "Dulu sempat berat saya 80-an kilogram lho, sekarang sudah turun jadi 74. Idealnya 70 kilogram."
Menyadari usia yang hampir memasuki kepala lima, dia mengkonsumsi suplemen makanan. Di tengah padatnya aktivitas, hari Minggu adalah saat dia berkumpul bersama kedua anaknya. "Refreshing-nya ngobrol dengan anak-anak atau teman."
Dia menyadari bahwa risiko yang dihadapinya tinggi mengingat selama ini dia menangani kasus-kasus high profile, kasus politik. Dua kali rumahnya dirampok. Dokumen-dokumen ikut raib. "Waktu itu saya mau berangkat ke Jenewa, untuk kasus Timor Timur ke PBB."
Dia menilai wafatnya Munir, pejuang HAM, harus menjadi cambuk untuk meneruskan perjuangannya membela hak asasi manusia.
(Sapariah Saturi)

Kondisi 'abu-abu'

Terbit di Bisnis Indonesia
Minggu, 27 November 2005


Kondisi 'abu-abu' picu kekerasan
Indonesia menghadapi berbagai aksi kekerasan di daerah. Pecah konflik berlatar belakang isu etnik dan agama. Negeri ini juga menjadi sasaran-bahkan sarang-teroris. Bagaimana masa depan integrasi bangsa?
Untuk mengupas rentannya disintegrasi Indonesia, Bisnis berbincang dengan Hendardi, aktivis dari PBHI yang kerap melakukan pembelaan terhadap korban-korban ketidakadilan dalam penegakan hukum. Berikut petikan wawancaranya.
Apa akar kekerasan dan terorisme di Indonesia?
Mesti dijernihkan dahulu bahwa tidak serta merta adanya teroris di Indonesia itu karena adanya sekelompok masyarakat ideologi tertentu seperti yang seringkali diberitakan.
Akar terorisme sebetulnya sudah sangat lama. Dalam pemerintahan Orde Baru, 30 tahun lebih kita diajarkan bagaimana pemerintah menteror rakyatnya. Kalau melihat berbagai aksi di daerah, kekerasan mengatasnamakan perbedaan agama, etnik, kemudian terjadi konflik kelompok. Padahal sebelumnya kehidupan damai.
Namun, belakangan seperti ada provokasi dan ada tindakan teror terhadap masyarakat kepada masyarakat lainnya. Kuat dugaan dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Memprovokasi maupun menakut-nakuti rakyat.
Jadi problem terorisme, problem konflik daerah, lebih pada cara pengelolaan negara dan masyarakat yang memakai cara-cara represif pada masa lampau. Kita ditularkan pada cara-cara kekerasan yang dipertontonkan negara kepada masyarakat. Menculik, membunuh seenaknya tanpa prosedur hukum, menangkapi orang, menyiksa orang dan semacamnya.
Mengapa Indonesia menjadi sarang teroris?
Penyelesaian problem terorisme selalu ditekankan menyangkut instrumen-instrumen hukum yang kurang. Itu tak bisa dikatakan benar. Penyelesaian dengan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa seperti di Maluku atau di Poso tanpa mencari dan menghukum yang sebenarnya menjadi akar masalah.
Kita tidak mencoba mencari akar masalahnya dan mencari siapa di balik aksi-aksi itu, kemudian mendamaikan orang-orang yang konflik. Akibatnya, konflik muncul lagi. Penegakan hukum itu mencegah preseden yang sama terulang di kemudian hari. Itu penting.
Nah, kalau ada perdamaian tapi tidak ada penegakan hukum, siapa yang bersalah tidak dihukum, itu tidak akan memberikan kejeraan.
Dalam penyelesaian [pemerintah] kerap menghindar dari akar masalah hingga tidak menunjukkan komitmen dan keseriusan. Salah satu contoh, banyak sekali isu pada kasus Maluku atau Poso, itu dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang diindikasi justru ada di dalam negara tetapi tidak pernah ada pengungkapan.
Juga pembentukan tim-tim pencari fakta seringkali merupakan tim pencari fakta yang hanya pura-pura. Komitmen politiknya lemah. Maksudnya seringkali tim pencari fakta, misalnya Maluku, tidak diumumkan hasilnya. Tim pencari fakta di Poso, anggota-anggota tim yang terlibat sebagian dari pemerintahan bahkan justru mereka itu pihak-pihak yang harus diperiksa.
Melihat kondisi ini, berbagai upaya penyelesaian masalah sebetulnya hanya mengulur-ulur waktu dari kekerasan yang akan terus terjadi.
Mengapa pemerintah seakan enggan membongkar akar permasalahan?
Pemerintah tidak cukup memiliki komitmen kuat untuk menghadapinya. Di sini berbeda dengan banyak negara lain seperti di Afrika Selatan atau di Korea [Selatan]. Kelompok atau kekuatan demokratis ada di situ, Indonesia tidak begitu. Keadaan yang abu-abu terus menerus berlangsung. Karena itu pengambilan keputusan politik dari pemerintah ke pemerintah selalu dibayangi resistensi kekuatan status quo.
Ancaman disintegrasi besar?
Bisa terjadi kalau pengelolaan sistem politik mengulang cara-cara masa lampau. Tidak berani membongkar kasus-kasus di daerah di mana keterlibatan aparat negara sebagai pemicu konflik tidak diusut tuntas. Negara ini lahir dari pluralitas masyarakat yang bukan sekadar satu fakta tapi perlu dirawat. Merawat pluralisme harus menjadi kebutuhan dan semacam cita-cita.
Apa tindakan untuk mencegah masalah terulang?
Bagaimana pemerintahan ke pemerintahan pasca-Soeharto mampu memutus hubungan dengan rantai masa lalu, dengan berani menghukum pelaku kejahatan masa lalu. Perubahan politik harus terjadi, jangan dari abu-abu ke abu-abu. Kekuatan demokratis harus menangkan pertarungan. Kalau tidak jangan berharap Indonesia akan berubah cepat.
Pewawancara: Sapariah Saturi

Friday, November 18, 2005

Perempuan perjuanganmu...

Harian Equator Pontianak
Minggu, 14 Maret 2004

Perempuan, Perjuanganmu Belum Selesai...

MUNGKIN saat ini kedudukan perempuan sudah lebih baik dari puluhan tahun lalu. Perempuan sudah banyak yang bersekolah tinggi, menduduki jabatan strategis di birokrasi, perusahaan dan kancah politik. Tidak dipungkiri pula di sekolah-sekolah lebih banyak perempuan yang mendapatkan prestasi terbaik dibanding lelaki. Tapi apakah ini menjawab bahwa perempuan sudah lepas dari kemarginalan? Sudah hilangkah budaya patriaki? Bagaimana kekerasan yang dialami perempuan? Kondisinya perempuan masih menyedihkan. Objek kekerasan masih perempuan, tak pelak kekerasan sering menimpa perempuan. Perjuangan perempuan untuk lepas dari jerat tirani keterpurukan belum final!
“Kekerasan pada perempuan tidak bisa hilang tanpa adanya kemauan semua pihak untuk mengeliminir. Peran masyarakat penting membantu mengantisipasi kekerasan ini,” kata Direktur LBH PIK Pontianak, Hj Hairiah SH, kemarin.

Jadi, tingginya kekerasan terhadap perempuan masih menunjukkan kegagalan penanganan yang seharusnya dilakukan secara komprehensif. Salah satunya kekerasan rumah tangga (KDRT) yang menduduki rating tertinggi.

Eksekutif dan legislatif harus lebih berperan dalam menelurkan kebijakan-kebijakan responsif terhadap perempuan. Misalnya membuat perda anti kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Bisa juga mengalokasikan dana bagi korban kekerasan. Selama ini belum diperhatikan,” ujar Hai, panggilan akrabnya.

Jangan hanya seolah-olah memberikan perhatian hanya untuk kepentingan sesaat, misalnya kampanye.

Dengan peringatan International Women Day ini kita bisa melihat kilas balik bagaimana keberadaan perempuan saat ini. “Kita akui, perempuan sudah mengalami banyak perkembangan. Tapi masih begitu banyak sisi ketertinggalan yang perlu segera dibenahi,” ingat ibu muda yang baru pulang dari tanah suci ini.

Kekerasan terhadap perempuan dapat diminimalisasi jika mereka mendapatkan informasi, pendidikan. “Kurang atau minimnya pendidikan dan informasi akan membuka peluang terjadinya diskriminasi termasuk kekerasan. Kita sadari budaya patriaki masih ada,” ungkapnya.

Ditambahkan Ketua Forum Perempuan Kalbar, Reni HZ, KDRT terhadap isteri, dialami tidak hanya masyarakat berpendidikan rendah, miskin, kalangan minoritas atau broken home. Faktanya, banyak kalangan profesional seperti yang bergelar dokter, Ph.D, menteri dan pejabat tinggi, yang melakukan penganiayaan terhadap isteri.

Ada beberapa bentuk KDRT yang umumnya dilakukan terhadap isteri, yaitu penganiayaan psikologis dan emosi, ekonomi, seksual, dan penganiayaan fisik. Salah satu penyebabnya adalah stress. Penganiaya yang sedang stress itu, nyata-nyata tidak melakukan serangan kepada anak buah atau atasannya.

Dicontohkannya, penganiayaan psikologis dan emosi sering dilakukan dalam bentuk mengintimidasi, mengancam akan menyakiti, penculikan dan penyekapan, ingkar janji, menghina dan mengecilkan arti, membentak dan memaki-maki dan sebagainya. Dalam hal ekonomi, perempuan dibuat tergantung secara ekonomi dengan melakukan kontrol terhadap penghasilan dan pembelanjaan. Secara seksual, perempuan didesak berhubungan seks dengan pemaksaan, atau dilakukan setelah penganiayaan fisik, bisa juga dipaksa jadi pelacur, atau memaksa isteri berhubungan seks dengan orang lain. Dan yang paling sering terjadi, perempuan disakiti secara fisik oleh suami, dengan memukul, menjambak, menampar, mengigit sampai membunuh, serta memotong akses untuk menjaga kesehatan, seperti tidur, makan, berobat dan sebagainya.

Jika dilihat dari sebabnya, Reni membeberkan sebagai wujud ketimpangan historis hubungan lelaki dan perempuan.

Ini dikatakan mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan, oleh kaum laki-laki dan hambatan bagi kemajuan mereka. “Ini berlaku di masyarakat kita, dipandang suami memiliki kedudukan dan kekuasaan dalam rumah tangga lebih tinggi dari isteri,” jelasnya.

Ditambahkannya, semakin dikuatkan negara dengan memasukkan pandangan itu ke dalam Undang-undang. “Coba lihat di UU perkawinan No 1 tahun 1974, dibedakan secara tegas peran dan kedudukan suami isteri dalam pasal 31 ayat 3,” katanya.

Terlihat dalam pasal dimaksud, suami sebagai kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga, selanjutnya dalam pasal 34 ayat 1 dan 2.

‘Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai kemampuannya ditambah isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya,” jelasnya..(sAfItRI/aRiE)