Thursday, November 09, 2006

Membedah sosok RAPBD Jakarta 2006

15 Desember 2006
------------------------
Membedah sosok RAPBD Jakarta 2006
Oleh Sapariah Saturi

EKSEKUTIF dan legislatif DKI Jakarta, sejak pertengahan November lalu tengah membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2006, yang diharapkan bisa disepakati pada bulan ini.

Rancangan APBD tahun ini disusun tepat sebulan setelah kenaikan harga BBM yang berdampak pada semua hal, termasuk inflasi nasional pada Oktober lalu melonjak. Di DKI Jakarta, inflasi bahkan mencapai 7%. Akibatnya, nilai proyek dalam APBD 2005 harus diubah dari rencana semula.

Menyusun RAPBD 2006 pun mesti memperhitungkan berbagai indikator. Dalam perhitungan ini, pertumbuhan ekonomi DKI 2006 dipatok mencapai 6,13%, lebih tinggi dibandingkan 2005 sebesar 5,20%, dan inflasi di bawah dua digit yaitu 9,9% atau tetap lebih tinggi dari perkiraan nasional 8%.

RAPBD 2006 diajukan sebesar Rp17,75 triliun, atau meningkat 24,95% dari 2005 sebesar Rp14,20 triliun. Detailnya, pendapatan daerah Rp14,90 triliun dan belanja daerah Rp17,51 triliun serta terjadi difisit anggaran sebesar Rp2,61 triliun. Defisit ini akan ditutup dari pembiayaan daerah yang bersumber dari perkiraan sisa lebih anggaran 2005 sebesar Rp2,85 triliun.

Sepintas, angka-angka itu menjanjikan karena adanya kenaikan anggaran. Namun, peningkatan APBD 2006 sebesar 23,95% itu ternyata lebih banyak disebabkan kenaikan gaji PNS, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan serta peningkatan belanja sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Proporsi timpang

Dalam anggaran belanja daerah bidang pembangunan, alokasi terbesar malah untuk pemerintahan, yaitu Rp4,91 triliun atau 28,03% dari volume anggaran belanja daerah. Sedang bidang yang menyentuh masyarakat banyak, yaitu bidang kependudukan dan ketenagakerjaan serta perekonomian hanya dialokasikan 1,14% dan 3,40% dari volume anggaran belanja.

"Ini proporsi yang sangat timpang. Pemantapan ekonomi tidak akan tercapai karena bidang pembangunan yang harusnya dapat porsi lebih banyak justru dapat sangat kecil," ungkap Agus Dharmawan dari Fraksi PAN.

Jadi, eksekutif pun dinilai terlalu optimistis dengan menetapkan pertumbuhan ekonomi 6%, inflasi 9% serta mampu menciptakan pemerataan pendapatan, kesempatan berusaha dan lapangan kerja.

Dari Fraksi Kebangkitan Reformasi DPRD DKI Jakarta, Mansur Saerozi, menyayangkan kenaikan anggaran tersebut tidak satu pun untuk mengatasi masalah besar di Jakarta, seperti penyediaan lapangan kerja, transportasi umum, kesehatan, pendidikan, banjir dan kenyamanan mobilitas karena kemacetan.

Sementara, dari total pendapatan, diharapkan berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) Rp8,41 triliun atau 56,44%. Dana perimbangan Rp6,38 triliun atau 42,82% dan dari pendapatan daerah lain-lain yang sah Rp109,05 miliar.

Kontribusi BUMD

Dalam pembahasan, kontribusi PAD dari sektor BUMD dan perusahaan patungan mendapat sorotan tajam karena terlalu kecil. Dari 62 perusahaan daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang banyak 'menyedot' dana rakyat itu hanya mampu memberikan Rp125 miliar atau 1,54% dari total PAD.

Padahal itu terdiri dari enam perusahaan daerah, 24 perusahaan patungan, dua badan pengelola, satu joint production, 11 penyewaan aset daerah dan 18 kerjasama aset daerah.

Pemprov DKI Jakarta selaku penyertaan modal terbesar diminta melakukan langkah konkret dan cerdas untuk meningkatkan kinerja perusahaan daerah maupun pengelolaan kekayaan daerah.

Menurut Agus, kalau proyeksi pendapatan dari BUMD itu seolah main-main saja, sebab pendapatan tidak sebanding dengan nilai aset daerah yang tertanam di sana. Saat ini penyertaan modal daerah mencapai Rp2,778 triliun. PAD dari pajak-diistilahkan sumber pendapatan yang eksekutif tidak perlu mengeluarkan keringat-tetap menempati posisi teratas Rp7,33 triliun (87,15%), disusul retribusi Rp400 miliar (4,75%) dan lain-lain PAD yang sah Rp550 miliar (6,53%).

"Sebenarnya kontribusi bisa lebih kalau saja dikelola profesional, manajerial juga lemah."

Rencana PAD dari BUMD dan pengelolaan kekayaan daerah jika dibandingkan dengan suku bunga saat ini bisa dikatakan merugi. Maka itu, divestasi perusahaan yang merugi mendesak, kata Mansur.

Pemprov DKI, katanya, juga perlu memikirkan alternatif lain. Rendahnya kontribusi sektor ini harusnya menjadikan semua mawas diri.

Sebab, di satu sisi rakyat semakin timbul kesadaran memberi kontribusi yang terlihat dari pajak dan retribusi tapi di sisi lain aparat pemerintah yang diberikan amanah mengelola aset rakyat tidak menjalankan dengan sungguh-sungguh.

Niat Pemprov DKI Jakarta melakukan penyertaan modal pemerintah (PMP) kepada PT Jakarta Propertindo sebesar Rp200 miliar juga mendapat protes mengingat buruknya kinerja BUMD.

Dewan meminta jaminan pemerintah pusat bahwa akan memberikan pengelolaan jalan tol kepada Pemprov DKI secara tertulis.

Pada 2006, dewan juga meminta eksekutif memutuskan divestasi atas kepemilikan saham minoritas yang terus merugi seperti PT Cemani Toka, PT Jaya Nur Sukses, PT Determinan Indah, PT Graha Sahari, PT Pakuan, PT Grafika Jaya dan PT Rheem. Direkomendasikan juga penjualan saham pada PT Delta Djakarta sebanyak 4.204.014 lembar.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo berjanji pemprov bakal membenahi BUMD melalui program restrukturisasi dengan target peningkatan memperoleh laba, privatisasi BUMD menguntungkan dan divestasi saham minoritas milik pemda pada perusahaan patungan.

Menurut dia, semua itu masih dalam pengkajian karena tidak dapat diambil keputusan begitu saja.

Namun tentu jangan janji tinggal janji, semua itu perlu bukti mengingat masalah serupa selalu terulang. Terpenting usaha dan komitmen serius mengelola perusahaan daerah dan menggali sumber-sumber pendapatan lainnya.