Sunday, January 27, 2008

Perginya 'Bapak Pembangunan"

Ketika Berjaya pada Kesuksesan Semu

Oleh: Sapariah Saturi-Harsono

PERTUMBUHAN ekonomi, pengendalian laju pertambahan penduduk serta swasembada pangan merupakan tiga hal, yang sering dikaitkan dengan keberhasilan Orde Baru. Para kroni Presiden Soeharto pun menciptakan, dan merekayasa, sebuah gelar: Bapak Pembangunan Nasional. Ternyata prestasi berantakan ketika krisis ekonomi menghantam pada 1997-1998.

Kebijakan ekonomi Soeharto mulanya ditentukan oleh satu kelompok dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Antara 1957 hingga1970an, dosen-dosen ini dikirim studi lanjut di berbagai kampus Amerika Serikat. Sponsor mereka adalah Ford Foundation.

David Ransom, seorang wartawan majalah Ramparts, menyebut mereka --Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mohammad Sadli, Saleh Afiff, Ali Wardana, J.B. Sumarlin, Suhadi Mangkusuwondo dan sebagainya-- sebagai “Mafia Berkeley” karena beasiswa ini dikelola dari University of California at Berkeley. Widjojo, yang disebut “lurah” oleh rekan-rekannya, juga belajar di Berkeley.

Soeharto merekrut para ekonom ini ke dalam kabinet. Mereka segera membuat sejumlah kebijakan. Mereka bikin rencana pembangunan lima tahun serta bekerja sama dengan World Bank dan International Monetary Funds.

Mereka sadar beras adalah isu vital. Impor beras terlalu mahal. Beras juga salah satu unsur yang bikin Presiden Soekarno jatuh. Mereka pun mengandalkan pendekatan bioteknologi. Sejumlah varietas padi unggul diperkenalkan. Bibit unggul tak hanya meningkatkan produksi beras tapi juga membantu menstabilkan ekonomi negara.

Revolusi Hijau ini ternyata membawa dampak lain. Padi bibit unggul butuh pupuk dan pestisida. Ini juga membutuhkan teknologi. Desa-desa pun mulai bergantung pada pabrik dan modal besar. Petani yang miskin tak bisa berbuat banyak. Mereka makin terjepit. Urbanisasi pun terjadi. Tampaklah di kota-kota besar, makin banyak pemulung, orang jalanan, kriminalitas meningkat.

Pada awal Orde Baru, para teknokrat ini juga tahu Indonesia perlu mengatasi laju pertambahan penduduk. Mereka pun bikin program Keluarga Berencana. Pada awal 1970-an, angka kelahiran di Indonesia 5,61. Pada 1998, angka kelahiran tinggal 2,7. Pertumbuhan penduduk pun turun drastis dari 2,34 persen pada 1971 menjadi 1,4 persen pada 1998.

Namun program KB dilakukan secara nasional tanpa melihat pulau yang jarang penduduknya. Di luar Pulau Jawa, Madura dan Bali --tiga pulau terpadat di Indonesia-- banyak orang memandang program KB dengan curiga. Slogan KB, “Cukup Dua Anak Saja,” juga dipandang kurang memerhatikan unsur kualitas keluarga, berapapun anaknya.

Kesejahteraan keluarga tak sesederhana dengan hanya memiliki dua anak. Yang terpenting bagaimana menciptakan keluarga berkualitas. Apalagi, sampai menggunakan kekuatan militer, misalnya di Timor Timur dan Papua, untuk menyukseskan program itu.

Soeharto suka belajar soal ekonomi dan pertanian. Pada 1980an, ketika anak-anak Soeharto mulai dewasa, interest Soeharto mulai bergeser. Ketika Soeharto sudah merasa “pintar” para ekonom ini tak dapat berbuat banyak. Dalam buku Menyambut Indonesia: Lima Puluh Tahun dengan Ford Foundation 1953-2003, Ali Wardana mengungkapkan bahwa pada masa awal jadi presiden, Soeharto tak hanya rajin mendengarkan para ekonom, tapi juga mencatat.

Saleh Afiff menambahkan, “Saya pernah dengan Ali Wardana menghadap Pak Harto mengenai deregulasi. Pertama masuk, belum bicara sudah diberi kuliah. Tapi Ali terus bicara. Akhirnya Pak Harto setuju deregulasi. Memang dulu Pak Harto menulis. Sekarang kita yang menulis!”

Mafia Berkeley berpendapat dasar ekonomi Orde Baru kuat kalau saja ia tak dihantam krisis ekonomi plus krisis politik. Mereka juga menyalahkan anak-anak dan kroni Soeharto. Anak dan kroni Soeharto merusak pasar dan menggeser kebijakan ekonomi dengan berbagai monopolinya.

Buahnya, kekacauan politik, krisis kepercayaan, krisis ekonomi dan moneter. Krisis multidimensi pun terjadi. Kerapuhan di segala bidang pun muncul dan terbuka. Ternyata sukses Soeharto semu adanya.

Daoed Joesoef, ekonom dari Sorbonne, yang juga kritikus Mafia Berkeley, berpendapat bahwa soal-soal ekonomi terlalu penting hanya diserahkan ke tangan ekonom. Pembangunan nasional, kata Joesoef, harus didasarkan pada bidang sosial, bukan sekadar meningkatkan pendapat nasional. “Ketika masuk kabinet, sebagai menteri pendidikan, saya berharap konsep saya bisa dipakai. Tapi Soeharto mengatakan,” Doktor Daoed cukup mengurusi bidang pendidikan, soal ekonomi sudah ada yang mengurus.”