Tuesday, July 14, 2009

Ketika BI rate Tak Bergigi

Dari Profit, 1 Juli 2009


“WADUH....ini yang mau beli unit semua ditunda. Mereka ga jadi mengajukan KPA (kredit kepemilikan apartemen). Katanya, suku bunga tinggi. Permohonan juga banyak ditolak.” Begitu keluhan seorang marketing apartemen di bilangan Senayan, Maria. Dia tampak tak bersemangat karena penjualan unit apartemen bakal menurun. Banyak calon konsumennya menunda pembelian.

Properti memang salah satu sektor yang terkena langsung dengan tingginya suku bunga perbankan. Suku bunga KPR (kredit kepemilikan rumah) dan KPA masih berksiar 14-16 persen. Begitu juga sektor lain seperti pertekstilan, perkebunan dan lainnya. Meskipun BI rate sudah tujuh persen. Namun respons perbankan menurunkan bunga tak secepat turunnya suku bunga acuan. Dunia usaha berpikir ulang untuk ekspansi di tengah kondisi tak pasti, dari permintaan pasar turun—dampak krisis global, sampai suku bunga bank yang tinggi.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertektilan Indonesia (API), Ernovian G Ismi mengatakan, dengan suku bunga bank saat ini sulit sekali industri tekstil bersaing. Di tengah, permintaan pasar dalam negeri dan luar negeri menurun, ditambah suku bunga bank tinggi, begitu memberatkan industri. Faktanya, meskipun Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sampai tujuh persen, tetapi tak diikuti bunga bank. BI rate seakan tak berarti apa-apa. “BI tidak bisa mengatur bank, seharusnya bank kan patuh dengan BI. BI rate turun, suku bunga bank mestinya ikut turun. Tapi ini kan tidak. Seolah BI dicuekkin,” katanya di Jakarta, Selasa( 30/6).

Mestinya dalam kondisi saat ini, bank bisa membantu sektor riil agar mampu bersaing salah satunya penurunan suku bunga. Bunga bank, idealnya satu digit. “Kalau sekarang, bunga bank tinggi, bank lebih senang menyimpan uang dalam SBI. Fungsi intermediasi perbankan tak jalan. Jika ga mau berfungsi sebagai bank, mestinya ganti nama aja, misal jadi lembaga simpan pinjam. Lebih jelas” ujar dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi), Fuad Zakaria malah melihat lambannya perbankan merespons BI rate sebagai indikasi bank kesulitan likuiditas. Begitu juga, bank tak serta-merta memuluskan permintaan KPR. “Saat ini, perbankan cenderung membatasi pemberian kredit karena mengalami kesulitan likuiditas. Sebaliknya, malah membujuk konsumen berlomba-lomba meningkatkan tabungan dan deposito berbunga tinggi.”

Bila memiliki kecukupan uang, perbankan akan mematok bunga rendah agar penyaluran kredit lebih mudah. Singkatnya, meski BI rate dipatok pada level tujuh persen, perbankan belum berani menurunkan bunga KPR di bawah 14-16 persen. "Itu tandanya bank masih kesulitan uang," katanya.

Pengembang berharap BUMN perbankan memulai kebijakan menurunkan bunga KPR agar permintaan properti tetap stabil. Namun harapan itu tak kunjung tiba hingga permintaan properti kelas menengah merosot 30 persen pada triwulan I 2009. Fuad tak yakin bila lambatnya penurunan bunga kredit karena perbankan mengalami cost of money. Pasalnya, kondisi itu dapat diatasi dengan menurunkan bunga kredit menjadi kisaran 11 persen.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia (GAPMMI), Franky Sibarani mengungkapkan, perbankan di Indonesia sulit dikontrol BI karena sebagian bank dimiliki asing. Hingga kebijakan mengacu kepada manajemen mereka. Jadi, tak heran, BI sudah menurunkan bunga acuan tapi tak diikuti perbankan. Semestinya, harus ada kemampuan politik dari pemerintah. “Pemerintah harus berani memberi direksi yang jelas ke mana peran perbankan ke depan.”

Bagaimana jika bank BUMN memelopori penurunan suku bunga? Menurut Franky, jangan sampai kebijakan bank BUMN menurunkan suku bunga malah mengebiri mereka sendiri. Bagi dia, jumlah bank BUMN relatif kecil dibandingkan bank umum lainnya. “Misal, mereka menurunkan suku bunga. Otomatis bunga deposito juga turun. Nasabahnya bisa pindah ke bank lain. Kan, mereka bisa kesulitan. Berbeda, jika kebijakan bank BUMN diikuti bank lainnya, itu bagus,” ujar dia.

Saat ini, sektor makanan dan minuman lebih berhati-hati untuk ekspansi usaha. Sebab, tahun ini permintaan hanya mengalami peningkatan sedikit. “Ya, itu karena situasi ekonomi belum pasti. Kalaupun ekspansi sangat hati-hati. Jadi, yang mau utang ke bank juga minim.” Sapariah Saturi H/Luther Kembaren

“Yang Penting Harga Obat Terjangkau”

Dari Profit, 8 Juli 2009

HARI itu Dian tampak khawatir. Anaknya, M Rifki sakit. Dia membawa anak usia 3,5 tahun ini ke dokter. “Nafasnya sesak.......Tampaknya dia gejala asma,” kata pria 31 tahun ini. Beberapa menit dokter memeriksa, lalu memberi resep. Dian pun menebus resep tadi. Warga Bekasi yang sehari-hari sebagai tukang parkir ini tercekat. “Ah, obatnya mahal sekali....saya bayar Rp200 an ribu,” katanya belum lama ini.

Bagi Dian, ke dokter atau ke rumah sakit itu identik dengan mengeluarkan banyak uang. Obat begitu mahal. Jika sakit tidak terlalu parah, dia enggan berurusan dengan dokter atau rumah sakit. Padahal, pemerintah telah menyediakan obat generik, tetapi Dian tidak tahu. Jika mengambil obat resep dokter, dia tetap membeli dengan harga mahal. “ Saya ga pernah denger ada obat generik, yang murah dan bagus,” ujar dia.

Dia berharap, masyarakat terutama kalangan bawah bisa menikmati pelayanan kesehatan yang baik. Salah satunya, mendapatkan obat berkualitas dengan harga terjangkau.

Ada jutaan warga seperti Dian. Mereka mengharapkan, harga obat, layanan kesehatan tak terlalu mahal. Dengan rencana merger BUMN farmasi---yang juga produsen obat-obat generik di Indonesia—mereka ingin harga obat bisa menjadi lebih murah. Tujuan merger salah satunya agar perusahaan meningkatkan kinerja dan beroperasi lebih efisien. “Apapun bentuknya, bagi kami yang penting harga obat terjangkau,” ucap Dian.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana merger BUMN farmasi ini hanya sebatas urusan bisnis. Mengenai harga obat ke konsumen akhir yang tinggi tak akan terjawab karena begitu kompleknya masalah. “Kalau merger itu kan di hulu, hanya urusan bisnis. Di atas kertas saja kalau dikatakan bisa menurunkan harga obat. Di hilirnya, distribusi obat dari produsen ke konsumen akhir, itu paling banyak masalah,” kata Ketua YLKI, Tulus Abadi, Selasa(7/7) di Jakarta.

Dia mengatakan, selama ini masyarakat mendapatkan harga obat begitu tinggi. Mengapa? Karena dalam distribusi obat bermain mafia besar. Jadi, selama pemerintah tak dapat memotong rantai distribusi obat dari produsen ke konsumen akhir, harga obat akan tetap tinggi. Belum lagi, adanya tudingan kerja sama antara produsen obat dan dokter. “Hal semacam ini juga menjadikan harga obat di masyarakat mahal.” Untuk itu, YLKI meminta, Departemen Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan(BPOM) dapat menindaklanjuti kasus ini. Sapariah S Harsono

Indonesia’s Milky Dilemma

Dari Indonesia Rising, 1 Juni 2009

Indonesian government increased import duties five percent in a bid to protect dairy farmers.

AUSTRALIA and New Zealand supply about 70 percent of milk consumption in Indonesia. Annually Indonesia consumes around 2.3 tones of milk. The global economic crisis, however, put pressures on dairy farms in Down Under, resulting in lower milk prices. In Java, it affected local dairy farmers. Milk processing industries demanded the local dairy farmers to reduce their prices. It created difficulties for the local farmers as they mostly have two until four cows. Economically a dairy farmer should have at least 10 until 12 cows.

Chairul Rachman, the Director for Farm Product Marketing at the Ministry of Agriculture, said that most of the dairy farmers are based on Java Island with 382,300 cows, or around 96.7 percent of Indonesia’s total cow population. These farmers annually supply only 26.5 percent of the milk consumption or around 636,800 tones of milk. The rest, 1.42 tones or 73.5 percent is imported from Down Under.

Dairy regulations contribute to Indonesia’s low milk production. Farmers have difficulties to buy young calves, to get quality feed as well as to standardize and to market their products. Dairy farmers are discouraged to develop their farms. The government rarely produces incentives to the farmers. Milk cooperatives turn to buy milk at low price. “Cooperatives are under pressures to find new marketing,” said Rachman.

Prior to the global economic crisis, Indonesia did not tax milk import. In early May, milk processing industries asked Java’s dairy farmers to reduce their milk price from Rp3,650-Rp3,750 to Rp3,350. It was a significant reduction of around Rp300-Rp500 per liter. The farmers declined the request.

The Ministry of Trade mediated a meeting between the Indonesian Union of Dairy Cooperatives and milk processing industries. They agreed to set the price reduction at Rp100-Rp150 per liter.

Later the Union also reported their difficulties to the House of Representatives’ Commission IV. Union leader Dedi Setiadi suggested three options. The first option includes price subsidy, cow feed subsidy and land stimulus. The second option is to allow dairy farmers and milk industries to organize school milk program. It is basically a program to encourage school children drinking milk at their schools. The third option is to ask the government revising Finance Minister regulation No. 19.2009 on import duties.

The regulation says that importing milk, sweetened milk and condensed milk were not taxed. Dedi Setiadi asked the government to tax the milk import at around five percent.

The Union didn’t wait long. In late May, the Finance Ministry agreed to impose the import duty. It was established at five percent. Dairy farmers welcomed that decision.

One problem was fixed. But Indonesia’s dependency on milk import is not solved yet.

-- Sapariah Saturi/Luther Kembaren