Oleh Sapariah Saturi
Misalnya gempa 6 skala Richter menghantam Teluk Jakarta, kira-kira apa yang akan terjadi pada Jalan Sudirman dan Thamrin? Gedung mana retak, mana roboh? Apakah ada kebakaran? Kalau ibukota rusak, sarana komunikasi rusak, pemimpin bahkan ada yang mati, bagaimana kira-kira dampaknya pada ekonomi dan politik Indonesia?
Antonius Budiono termasuk sedikit orang di Jakarta yang berpikir soal skenario ini. Ia sadar berbagai gempa yang melanda Indonesia –dari Pulau Alor hingga Nabire di Papua, dari tsunami di Aceh hingga goyangnya Yogyakarta—membuat Jakarta harus diperhitungkan.
Perhitungan yang tak mudah ketika banyak sekali parameter yang tak bisa dihitung. Jangan-jangan gempa tak pernah menerpa ibukota Indonesia ini?
Budiono seorang master manajemen konstruksi lulusan Universitas Washington, St. Louis. Ia baru-baru ini ikut menangani renovasi Istana Merdeka. “Banyak rahasianya,” katanya, tertawa. Kalau digoogle, namanya selalu terkait dengan kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Budiono kini Direktur Tata Bangunan Direktorat Jendral Cipta Karya dari Departemen Pekerjaan Umum.
Sederhananya, menurut perhitungan Budiono, Indonesia dibagi dalam enam zona gempa. Tiap zona punya kategori sendiri yang terkait dengan percepatan bergesernya batuan dasar yang terkait dengan gravitasi bumi.
Jakarta termasuk zona tiga atau kategori menengah, sama dengan Jogjakarta. Daerah rawan empat terdekat Jakarta adalah Sukabumi yang terletak di atas patahan bumi Pulau Jawa.
Aceh, Pulau Nias dan Pulau Simeulue, Ujung Kulon dan Pantai Pangandaran termasuk zona enam atau kawasan paling rawan. Daerah sekitar Aceh inilah yang dihantam gempa 9 skala Richter pada 26 Desember 2004 dengan korban tsunami 126.000 jenasah dan 70.000 hilang. Hampir separuh kota Banda Aceh rata dengan tanah. Gempa serupa melanda pantai selatan Pulau Jawa pada 18 Juli 2006 dengan skala hampir 7 Richter dan korban hanya 80 orang lebih.
Di Jakarta, Budiono memperkirakan mayoritas bangunan, terutama gedung bertingkat sepanjang Sudirman dan Thamrin, sudah didesain sesuai apa yang disebut Standar Nasional Indonesia. “Jakarta pasti dicek gedungnya ... sepanjang gempanya zona tiga atau empat itu masih aman.”
Pemerintah Jakarta juga memiliki beberapa tim untuk menilai izin pembangunan. Ada Tim Penasehat Arsitektur Kota, Tim Penasehat Konstruksi Bangunan dan Tim Ahli Utilitas Bangunan.
Agus Subardono dari Dinas Tata Kota Jakarta mengatakan, “Bayangkan saja, kalau di kantor bertingkat, gempa dan bangunan roboh, berapa kerugian? Bukan hanya material tapi sumber daya manusia yang akan hilang? Saya kira tidak ada yang mau mengambil risiko itu. Terlalu tinggi.”
Sejak zaman Hindia Belanda, negeri ini sudah memiliki aturan bangunan tahan gempa. Terakhir pada 2002, parlemen Indonesia mengeluarkan UU Bangunan dan Gedung dimana diatur bahwa kantor dan rumah harus dibangun mengikuti ketentuan tahan gempa dan kebakaran.
Ajaibnya, tak semua aturan itu ditaati pemerintah kota-kota. Antonius Budiono mengatakan pada 1995-1998, dari 320 kabupaten di Indonesia hanya 220 yang mempunyai “perda bangunan” atau hanya 70%.
Dari 70% itu, yang aturannya mengatur persyaratan teknis, hanya 25% atau 55 kabupaten. Persyaratan teknis itupun lebih pada ketinggian bangunan atau tata ruang. Sedikit sekali yang mengatur gempa dan kebakaran.
Hitung saja berapa gedung pencakar langit di Jakarta yang memiliki helipad? Berapa gedung yang rutin bikin fire drill atau latihan kebakaran? Berapa organisasi yang setiap tahun bikin latihan lari dari gempa?
Bambang Pranoto dari Lembaga Konsumen Jasa Konstruksi, sebuah organisasi nonpemerintah, mengatakan aturan memang ada namun tiada organisasi yang melakukan “sertifikasi” untuk menilai kelayakan bangunan. Disain bangunan mayoritas baik tapi pelaksanaan bangunan urusan lain lagi. Umur bangunan kebanyakan juga lebih pendek dari perkiraan disain.
“Konstruksi adalah proses produksi. Jadi tak bisa hanya dilihat dari kualitas perencanaan kekuatan terhadap beban atau pemakai … termasuk gempa,” kata Bambang.
Ingat beberapa bulan lalu ketika tiang antena TV7 di daerah Kebon Jeruk roboh terkena hujan angin dan menewaskan tiga orang? Ternyata tower itu dibangun tanpa izin. Di Jakarta ada ribuan tower dibangun tanpa izin. Rancangan konstruksi tower TV7 terlalu kecil dan dekat pemukiman.
Atau ingat ketika jalan tol Cipularang amblas? Jalan tol sepanjang 40 km itu baru dioperasikan dalam hitungan bulan. Ia ambruk dan rusak berat pada 28 dan 29 November 2005 di beberapa tempat. Pada 29 Januari 2006, ia juga longsor dalam di daerah Lebak Ater. Padahal nilai investasi jalan itu Rp1,7 triliun.
“Itu belum ada gempa lho sudah runtuh!” kata Bambang Pranoto.
Banyak alasan diutarakan, dari menyalahkan “tanah tidak stabil”-- sampai desain khusus yang belum dimiliki Departemen Pekerjaan Umum.
Kepala Balitbang Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan, “Ini muncul karena tidak ada konsistensi dalam melaksanakan pekerjaan.”
Di Jakarta, memang sulit mengukur dampak dari gempa akibat “inkonsistensi” pelaksanaan bangunan. Ini seharusnya jadi semacam wake up call sesudah gempa Jogjakarta dan tsunami Pangandaran.
Pada 27 Mei lalu, terjadi gempa 5,9 skala Richter di Samudera Hindia dengan jarak epicentrum 37 km dari Yogyakarta. Dalam hitungan menit, ia meratakan 140.000 bangunan dan rumah di sekitar Yogyakarta. Korban jiwa 6.234 serta luka 46.148 orang. Bangunan rusak mencapai 94.000. Padahal Yogyakarta sudah punya “perda bangunan.”
Kalau epicentrum serupa muncul di Teluk Jakarta, ia mempengaruhi seluruh bangunan dari Ancol hingga Ciputat. Daerah-daerah padat, dan hampir seluruh Jakarta adalah daerah padat, bisa diperkirakan mengalami dampak terbesar bila konstruksi bangunan tidak punya atau tidak sesuai izin.
Bangunan-bangunan pencakar langit yang bertumpuk di Jakarta bisa runtuh. Kawasan sibuk macam Sudirman dan Thamrin akan jadi kacau bila gempa terjadi pada jam kerja. Begitu juga infrastruktur lain, seperti jalan layang juga jalan tol. Masih untung bila gempa terjadi pada hari Sabtu atau Minggu –korban manusia lebih sedikit.
Bencana alam raksasa juga senantiasa membawa perubahan sosial. Di Aceh, tanpa tsunami takkan ada perjanjian damai Helsinki. Perang akan terus berjalan. Tanpa tsunami, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kelompok Bugisnya takkan menemukan batu pijakan untuk berunding dengan Gerakan Acheh Merdeka. Tanpa tsunami, European Union tak punya alasan untuk menekan Jakarta agar berunding demi lancarnya bantuan kemanusiaan untuk Aceh.
Aceh adalah contoh yang sangat jelas. Sejarah juga menunjukkan bahwa gempa bumi senantiasa membawa perubahan sosial di berbagai kepulauan di Asia Tenggara ini.
Simon Winchester, geolog dari Universitas Oxford, menerangkan dalam bukunya, “Krakatoa: The Day the World Exploded August 27, 1883,” bahwa letusan Gunung Krakatau itu menciptakan kerusakan dahsyat pada kedua sisi Selat Sunda: Sumatra dan Jawa. Mayat ditemukan hingga di Zanzibar. Suara ledakan terdengar hingga India dan Australia.
Tapi yang paling penting –dalam jargon dunia politik hari ini—letusan gunung itu memicu sentimen anti-Barat di Pulau Jawa. Penderitaan para petani Jawa serta ketidakbecusan administrasi Hindia Belanda, dalam menangani bencana, menciptakan dendam di kalangan orang kecil.
Generasi Krakatau itulah yang menciptakan orang tua dari anak-anak yang memulai timbulnya “nasionalisme” di kalangan warga “pribumi” di Hindia Belanda. Pemimpin mereka termasuk Tan Malaka, Soekarno, Semaoen, Moh. Hatta dan sebagainya.
Bila ada gempa macam Krakatau, Jakarta sebagai pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia praktis akan lumpuh. Terjadi kevakuman pemerintahan dan berbagai aktivitas lain yang selama ini terpusat di Jakarta.
Bambang Pranoto maupun Antonius Budiono tidak bisa menghitung secara rinci apa dampak sosial, politik atau ekonomi dari sebuah gempa besar di Jakarta. Tak seorang pun bisa. Tapi mereka merasa kuatir –sesuatu yang wajar—mengingat kualitas bangunan di metropolitan ini sangat rentan untuk menopang besarnya kekuasaan yang ada.
Tuesday, July 18, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Apakah alasan Yogyakarta termasuk dalam zona 3 gempa Indonesia?
Bagaimana dengan Aceh dan Nias?
Post a Comment