Sunday, November 04, 2007

Infrastruktur oh infrastruktur

Gerak Maju Pembangunan Jalan Tol
Jurnal Nasional, 22 Oktober 2007

Oleh: Sapariah Saturi-Harsono.

“KAMI berharap infrastruktur di Sumut [Sumatera Utara] seperti pelabuhan, jalan tol Kualanamu bisa terealisasi. Ini sangat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.” Begitu harapan Nurlisa Ginting, Wakil Kepala Badan Investasi dan Promosi Sumut, di Jakarta, belum lama ini.

Nurlisa datang untuk persiapan pameran Sumut, di Jakarta. Dia sadar peran infrastruktur sangat penting bagi maju mundurnya pembangunan satu daerah. “Banyak investor datang, mereka mau investasi dalam berbagai bidang, dari energi, sampai perkebunan. Tapi mereka selalu tanya bagaimana kesiapan infrastrukturnya,” ucapnya. Bagaimana penyediaan jalan, listrik dan lainnya. Jika infrastruktur tidak memadai, investor pun berpikir dua kali menanamkan dananya di satu daerah.

Pemerintah daerah Sumut tak keberatan jika harus ambil bagian dalam pembangunan ruas tol di daerahnya. Mereka bersedia membantu pembebasan lahan yang kerap bermasalah bagi investor. “Ya, kami sudah bersedia membebaskan lahannya. Kami harapkan pembangunan tol bisa segera terealisasi,” ucap Nurlisa.

Pemerintah menyadari pentingnya pembangunan infrastruktur. Tak heran, dalam beberapa tahun ini, infrastruktur seperti jalan, baik tol maupun jalan biasa, menjadi prioritas. Menguak isolasi, melancarkan distribusi maupun transportasi, infrastruktur jawabannya.

Dalam kurun waktu 2005-2007, perkembangan infrastruktur cukup menggembirakan, terutama jalan tol. Progres pembangunan jalan bebas hambatan ini berjalan pesat. Terlebih setelah ada badan khusus yang mengurus jalan tol yakni Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Awalnya, pengurusan jalan tol dilakukan PT Jasa Marga, namun melalui PP 15/2005 tentang Jalan Tol, Jasa Marga hanya operator, sedang regulator, BPJT.

Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto mengatakan, peran penting infrastruktur untuk mendorong kesuksesan program ekonomi. Namun, membangun infrastruktur membutuhkan dana tidak sedikit. Pemerintah jelas kesulitan memenuhi sendiri. Untuk itu, andil swasta sangat diperlukan. “Swasta juga ikut membangun, seperti jalan tol,” ucapnya.

Dia menyadari, investor akan berpikir panjang untuk membangun ruas tol yang tidak layak atau tidak menguntungkan secara finansial, meskipun layak secara ekonomi. Jadi, ruas tol yang layak finansial dan ekonomis, dibangun investor, sedang yang layak ekonomi tapi tak layak finansial, pemerintah campur tangan di sana.

Kepala BPJT, Hisnu Pawenang mengatakan, dalam kurun waktu 2005-2007 ini banyak kebijakan yang dikeluarkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol. Diawali, pada Oktober 2004, UU No 38 tentang Jalan. Pepres No 67/2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Masalah pengadaan tanah, ada Perpres 36/2006 atau 65/2006. Lalu, melalui KMK 38/2006, tentang pengelolaan risiko pembangunan infrastruktur, salah satunya proyek-proyek baru pemerintah diberlakukan pembatasan harga lahan (land capping). “Investor yang punya proyek lama juga minta land capping, kita sudah usulkan tapi belum disetujui.”

Pada Desember 2006, juga dikeluarkan Badan Layanan Umum (BLU). BPJT ditunjuk untuk menjalankan fungsi BLU. Melalui BLU ini, pemerintah memberikan dana bergulir untuk pembebasan lahan. Jadi, pembebasan lahan oleh pemerintah melalui BLU, dengan modal awal Rp600 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2006.

Selama ini, salah satu masalah besar dalam pembangunan jalan tol adalah pengadaan lahan. Lahan yang dilalui jalan tol, kerap harganya melambung hingga di luar prediksi investor. Tak ada kepastian, penyelesaian dan harga pembebasan lahan. Perbankan pun enggan mendanai proyek-proyek tol.

“Setelah lahan dibebaskan melalui dana talangan pemerintah, lalu investor bisa masuk dan melanjutkan pembangunan konstruksinya. Ini baik bagi iklim investasi karena dengan BLU, risiko bisa dikelola oleh pemerintah, tak hanya ditanggung investor. Perbankan pun jadi berminat,” ucapnya.

Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) lama juga dianggap tak bersahabat dengan investor. Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum (PU) mengajukan revisi kepada Departemen Keuangan. Dengan berbagai aturan tersebut, diharapkan mampu memberikan kemudahan bagi investor. Tak sia-sia, dalam kurun 2006-2007, banyak investor menandatangani PPJT.

Setidaknya, ada 18 investor tol sudah menandatangani PPJT, 11 ruas di antaranya telah mendapatkan pendanaan dengan panjang 490, 60 km yang investasinya Rp32,587 triliun. Sisanya, tujuh ruas tol belum mendapatkan pendanaan dengan panjang 219,17 km, total investasi 59,933 triliun. Jika sudah ditandatangani, argo konsesi pun berjalan.

Berbagai hambatan dan keluhan investor dalam pengembangan infrastruktur, coba dijawab dan dicarikan solusi, tentunya tanpa merugikan masyarakat--karena pada dasarnya pembangunan ini untuk pembangunan ekonomi rakyat. Pemerintah berusaha agar iklim investasi tol menjadi lebih baik demi lancarnya pembangunan infrastruktur.

Related story:

Menanti Pemerataan Jalan Daerah
Jurnal Nasional, 22 Oktober 2007

Oleh: Sapariah Saturi-Harsono

JALAN tanah berdebu ketika kemarau dan berlubang serta becek saat musim hujan bukan pemandangan baru di daerah luar Jawa, terutama Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tuntutan pemerataan pembangunan di pulau-pulau ini pun terus bergema. Pemerintah pun mulai memperhatikan daerah tertinggal ini, meskipun belum terealisasi sepenuhnya.

“Jalan trans Kalimantan sudah diaspal di beberapa bagian. Misalnya, dari Kota Pontianak ke Lingga [daerah di Kabupaten Pontianak], itu sudah bagus aspalnya. Ya...sekitar 35 km aspalnya,” kata warga Pontianak, Stefanus Akim ketika dihubungi Jurnal Nasional.

Menurut dia, dari tahun 2006-2007 ini sudah ada progress pembangunan jalan trans Kalimantan ini. Tahun-tahun sebelumnya, jalan baru dilapisi tanah merah. “Ya, meskipun aspalnya baru sebagian-sebagian tapi sudah kelihatan ada kemajuan. Bus besar antarkabupaten juga sudah lewat rute ini. Juga kendaraan lain,” ucap Akim. Namun, lalu lintas baru bisa antarkabupaten, belum antarprovinsi. Dia berharap, jalan lintas yang membuka isolasi antarprovinsi di Kalimantan itu segera selesai.

Proyek infrastruktur jalan trans Kalimantan sepanjang 5.800 km ini dengan dana Rp 3,1 triliun dan target penyelesaian tahun 2009. Untuk poros selatan sepanjang 2.900 km, sebagian telah dikerjakan 800 km, di bagian selatan masih belum dapat ditembus yaitu perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sepanjang 300 km. Trans Kalimantan akan menghubungkan empat provinsi di Kalimantan.

Gubernur Kalimantan Tengah, A Teras Narang mengatakan, kendala utama dalam menarik investor adalah ketersediaan infrastruktur. "Akses transportasi darat, laut dan udara yang kami prioritaskan.”

Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum (PU), Hermanto Dardak mengatakan, pemerintah telah memberikan perhatian untuk pembangunan infrastruktur KTI, seperti Papua, Kalimantan dan lainnya. Seperti jalan trans Kalimantan, anggaran untuk penyelesaian jalan sudah dialokasikan juga infrastruktur daerah lainnya.

Dari tahun ke tahun, ucapnya, persentase dana yang dialokasikan untuk pembangunan jalan di daerah terus mengalami peningkatan. Anggaran jalan Bina Marga tahun 2006 sebesar Rp7,6 triliun, naik Rp9,8 triliun (Rp10 triliun) tahun 2007. Untuk tahun depan, diusulkan Rp18,5 triliun. “Tahun ini, mungkin sekitar 20-an persen untuk bangun jalan baru, tahun depan diperkirakan sekitar 33 persen,” kata Hermanto kepada Jurnal Nasional. Memang, katanya, sampai saat ini, porsi anggaran terbesar atau sekitar 50 persen, masih digunakan untuk menjaga kondisi jalan lama.

Sampai tahun ini, katanya, panjang jalan nasional di Indonesia sekitar 35.000 km yang tersebar di masing-masing pulau. Dari kondisi tadi, ucapnya, tahun 2005 sekitar 12 persen dalam kondisi rusak berat. “Yang rusak berat ini coba terus dikurangi tahun 2006 dan tinggal 11 persen. Target kami tahun ini rusak berat tinggal delapan sampai sembilan persen,” ucap Hermanto.

Thursday, October 25, 2007

Dari sebuah perusahaan percetakan

Antara Tinta, Kertas dan Percetakan
Oleh Sapariah Saturi-Harsono



BAU asap hio terasa ketika memasuki ruang kerja itu. Di sudut kiri tampak seperangkat tempat berdoa. Patung Dewi Kwan Im, delapan dewa, juga Guan Gong, ada di sana. Sebuah meja bundar berada di tengah dengan empat kursi. Di meja, ada tumpukan buku, kalender duduk, printing proof. Pada dinding terpampang lukisan Walisongo. Seorang pria masuk. Berkemeja batik coklat muda. Dia duduk dan menjawab deringan handphone Nokia 6.600 warna hitam.

Lalu dia meraih telepon di meja di belakangnya. “Tolong telepon Pak Guntur ya, tanyakan tentang kertas yang akan digunakan,” pintanya. Lalu dia mengangkat telepon lagi meminta disambungkan kepada seseorang.

“Kalau hubungan dengan pelanggan, tidak diingatkan nanti lupa, pan susah,” katanya pada saya.

“Dari ngurus kertas, complain klien, pelanggan yang tanya ini, itu...ya...inilah sehari-harinya.”

Erwin Indarto adalah Presiden Direktur PT Jayakarta Agung Offset, sebuah perusahaan cetak, di daerah Kota, satu bagian paling tua dari Batavia yang didirikan Jan Pieter Coen pada awal abad 17. Selama beberapa kali menemuinya, saya perhatikan Erwin selalu mengenakan batik sutera. “Saya suka sekali pakai batik,” katanya.

Ga tau, kenapa saya suka batik. Jadi, kalau ada pameran di mana gitu, saya dateng dan beli. Bulan ini, saya baru jahit tiga helai.”

Suatu saat dia jalan-jalan ke Tibet, menggunakan batik Mega Mendung. Seorang pedagang souvenir menyapanya. “Pak, bajunya bagus. Bisa tukar dengan souvenir saya,” pinta pedagang itu, ditirukan Erwin. “Mana bisa, saya mesti pakai baju apa?” jawab Erwin.

Di dalam hati dia bangga, baju batik khas Indonesia, disenangi di Tibet. “Pan, sekaligus membantu pengrajin batik itu.”

Erwin lahir di Jakarta, tahun 1950 dengan nama asli Sie Kek Djin. Dia anak kedua dari lima bersaudara, masing-masing, Kartono Sukardi, Erwin, Sie Siu Tin, Sie Mansur dan David. Pada 1950an, rumah keluarga Sie terletak di Jalan Jembatan Baru, samping Hotel Lusan, di sebelah Stasiun Kota. Hotel ini, yang banyak dipakai menginap orang-orang Tionghoa dari Surabaya, Banjarmasin dan sebagainya, milik kakek Erwin. Erwin kecil biasa main sekitar Kota.

Ayah mereka, Sie Coe Ha atau S. Subianto, mendirikan cikal bakal PT Jayakarta Agung Offset pada akhir 1960-an. Dia meninggal dunia tahun 2002. Setelah itu, perusahaan dipimpin anak tertua Kartono Sukardi. Akhir tahun 2006, ketika Kartono pensiun, Erwin menjabat sebagai presiden direktur.



KETIKA S. Subianto mulai bisnis percetakan, Jenderal Soeharto juga mulai berkuasa di Indonesia dengan dukungan Angkatan Darat. Dari Oktober 1965 hingga Maret 1966, mereka melakukan penumpasan terhadap golongan kiri serta pendukung Presiden Soekarno, yang imbasnya juga mengenai seluruh orang Tionghoa. Partai Komunis Indonesia dituduh berhubungan dengan Beijing dalam Gerakan 30 September di mana beberapa jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Tuduhan terhadap Beijing ini tak pernah dibuktikan. Namun tuduhan itu menimbulkan gelombang rasialisme terhadap orang Tionghoa di Indonesia.

Ketika Soeharto mulai berkuasa, orang Tionghoa harus “berasimilasi” dengan Indonesia. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan dirampas. Mereka tidak boleh menggunakan bahasa Mandarin. Agama Khong Hu Chu dinyatakan bukan “agama resmi.” Perayaan adat istiadat Tionghoa macam tarian naga dan hari Imlek juga dilarang.

Erwin Indarto dan abangnya, Kartono Sukardi, waktu itu masih remaja. Mereka sedang sekolah di Chinese school, Bandengan Utara. Kartono mulanya satu tingkat di atas Erwin. Tapi dia sempat tinggal kelas satu tahun hingga sama-sama kelas satu. Tahun 1966, sekolah mereka ditutup.

“Saya pun tak selesai sekolah. Chinese school tempat saya sekolah ditutup. Cuma sampai kelas satu,” cerita Erwin. Nama mereka sekeluarga pun diganti tanpa memakai marga Sie lagi.

Layaknya anak muda, mereka sebenarnya ingin melanjutkan sekolah. Namun, orang tuanya khawatir. Pada masa itu banyak demonstrasi di mana-mana. Ada demo Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia dan lain-lain. Ini salah satu masa paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Ada jutaan orang mati dibunuh. Jenderal Soeharto juga masih menghadapi sisa-sisa kekuatan Presiden Soekarno. Keluarga Sie memilih anak-anaknya tetap tinggal di rumah.

“Saya sebenarnya mau sekolah terus. Pan, teman-teman sekelas saya banyak yang selesai sekolahnya. Mereka melanjutkan ke luar. Saya sedih juga.”

Banyak di antara teman-temannya membeli ijazah kelulusan dan melanjutkan ke luar Indonesia. “Saya pikir, tak perlulah beli-beli ijazah, buat apa?”

Tahun 1968, ketika Soeharto sudah resmi menggantikan Soekarno, suasana politik mulai tenang. Sie senior atau Subianto menawari kedua putranya, Erwin dan Kartono, untuk membuka usaha percetakan. Dia ingin kedua anaknya membantu.

Subianto memiliki usaha jasa cetakan. NV Sukardi hanya menerima jasa cetakan dari pesanan-pesanan perusahaan negara . “Order-order yang kami dapatkan ini lalu di sub-kan lagi ke percetakan-percetakan kecil,” kata Kartono kepada saya.

Subianto juga memiliki perusahaan patungan printing kain di Bandung. Di sana dia joint bersama 10 temannya. Usahanya berjalan lancar. Sayang, pengelolaan manajemen kurang baik hingga Subianto berniat menarik kepemilikan di sana.

Dia melihat peluang bisnis percetakan menjanjikan. Apalagi, pesanan cetak yang mereka terima cukup banyak. Dia bertanya kesediaan kedua anak lelakinya, Kartono dan Erwin, untuk menjalankan bisnis percetakan itu. “Gimana kalau kita usaha percetakan sendiri? Kamu ada hobi ga di bidang itu?” tanya Subianto, ditirukan Kartono.

”Kalau memang you ada hasrat ke situ, jadi yang di Bandung, di salah satu perusahaan printing kain, mau mundurkan diri.”

“Kalau saya sih hobi-hobi aja,” jawab Kartono.

“Tapi kamu harus full time.”

Begitu juga Erwin. Dia menerima ajakan ayahnya. Subianto menarik modalnya dari Bandung dan membuka percetakan di Jakarta. Pada 12 Juni 1969, CV Pertjetakan Offset Djajakarta hadir dengan empat orang pendiri: S. Subianto, Kartono, Erwin dan seorang warga Hongkong, yang mereka panggil “Mr. Chin.” Awalnya mereka memiliki 30 karyawan.

Mr. Chin pernah bekerja di percetakan G. Kolff & Co., perusahaan modal Belanda, yang berdiri tahun 1932. G. Kolff & Co. merupakan salah satu percetakan terhalus di Batavia pada masa sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Ketika sengketa Indonesia dan Belanda meningkat sehubungan wilayah Papua, banyak perusahaan modal Belanda dijual atau diambil oleh negara Indonesia. G. Kolff & Co. perlahan-lahan tutup. Mr. Chin bergabung ke Djajakarta. Subianto dan anak-anaknya hormat pada Mr. Chin. Dia menguasai teknik, dari bagian produksi hingga listrik, dari pasang mesin dalam keadaan lepas sampai merakit mesin. “Semua bisa. Saya kerja sama-sama dia, ayah saya dan Erwin, berempat,” ungkap Kartono.

Kartono juga menimba ilmu di Pertjetakan Negara. Percetakan ini dimulai tahun 1809 dengan nama Lands Drukkerij. Tahun 1942, ketika Angkatan Darat Jepang menduduki Batavia, namanya diganti Gunseikanbu Inatsu Koja. Ketika revolusi kemerdekaan di Pulau Jawa meledak, namanya menjadi Pertjetakan Republik Indonesia. Pada 1950, beberapa saat sesudah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, namanya berganti menjadi Pertjetakan Negara Republik Indonesia.

Di percetakan itu, Kartono magang. Malam belajar teori percetakan, siang hari langsung praktik. “Saya catat semua pelajaran itu.” Gurunya bernama “Pak Hamid” yang mengepalai bagian reproduksi. Dia memberi pelajaran mengenai offset (cetak datar), cetak timbul. “Itu semua teorinya dikasih tau.”

Kartono belajar dari pertengahan 1968 sampai akhir 1969. Selesai dari Pertjetakan Negara, Kartono membantu ayahnya di CV Pertjetakan Offset Djajakarta.

Tahun-tahun awal perusahaan beroperasi, mereka mencetak kertas bungkus kado, terutama yang bermotif batik, cover buku motif batik, sampai box atau kemasan produk. Erwin muda biasa berurusan dengan batik. Mesin cetak pertama dari Tiongkok, ada tiga unit. Satu unit satu-warna dan dua unit dua-warna.

Pada 20 April 1970, perusahaan in berganti nama, dari CV Pertjetakan Offset Djajakarta menjadi PT Pangeran Djayakarta Offset. Namun pengadilan Jakarta melarang penggunaan kata “Pangeran Djajakarta.” Alasannya, nama itu sama dengan nama Jalan Pangeran Jayakarta, di mana perusahaan ini berkantor. Maka namanya berganti lagi menjadi PT Jayakarta Agung Offset pada 11 Agustus 1979.

Ketekunan mereka mulai mendapat kepercayaan pada tahun 1977. Soedarmadji Damais, waktu itu bekerja untuk dinas pemugaran Jakarta dan belakangan jadi kepala Museum Jakarta, mengatakan pada saya bahwa tahun itu, Gubernur Jakarta Ali Sadikin akan habis masa jabatannya. Antara 1966-1977, Ali Sadikin banyak membangun pusat-pusat kebudayaan, antara lain, Taman Ismail Marzuki, Museum Tekstil, Museum Bahari dan sebagainya.

Ali Sadikin minta Wastupraganta Tjong, yang mengepalai kantor tata bangunan dan pemugaran Jakarta serta atasan Damais, untuk menerbitkan dua buku kebudayaan. Satu buku soal pemerintahan Ali Sadikin. Satunya lagi buku pemerintahan pendahulunya: Walikota Suwirjo, Walikota Sjamsurizal, Walikota Sudiro, Gubernur Soemarno dan Gubernur Henk Ngantung. Damais, tentu saja, terlibat dalam pembuatan naskah buku.

Kedua buku ini didesain S. Prinka, redaktur disain majalah Tempo, yang sahamnya ikut dimiliki Yayasan Jaya Raya pimpinan Ali Sadikin. Jayakarta dipercaya mencetak buku Karya Jaya dan Gita Jaya. Buku Karya Jaya berisi masa pemerintahan lima kepala daerah Jakarta tahun 1945-1966. Gita Jaya berisi catatan kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin antara 1966 dan 1977. “Kedua buku dicetak dengan sangat bagus oleh Djayakarta Offset. Ketika saya melapor pada Pak Ali, kedua buku diterima dengan gembira,” ucap Damais.

Soedarmadji Damais mengenal Erwin Indarto sejak tahun 1976. Saat itu, Damais ditunjuk membuat katalog pameran seni lukis Indonesia di Balai Senirupa Jakarta. Acara itu dibuka Presiden Soeharto. Joop Ave, kepala protokol istana, yang belakangan jadi Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, minta kepada salah satu kenalannya, Wardiman Djojonegoro, yang ketika itu kepala biro pemerintahan Jakarta, untuk memakai perusahaan Erwin. “Pak Joop, bilang, kalau perlu percetakan, ini ada Erwin. Di situlah saya kenal dia,” kata Damais. Pada 1977, PT Jayakarta Agung Offset juga mencetak buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Lalu buku Istana Presiden Indonesia pada 1979. Pesanan cetak buku mulai banyak.



DALAM menjalankan perusahaan, Erwin Indarto memang lebih banyak menangani urusan dengan pihak luar. Jadi, di kalangan pelanggan, sosok Erwin lebih dikenal daripada Kartono, yang mengurus internal perusahaan, terutama percetakan.

Erwin berurusan dengan klien. Erwin menjalin perkawanan dengan Joop Ave, Soedarmadji Damais, Wardiman Djojonegoro –belakangan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—serta belasan disainer macam S. Prinka, Arief Tjahjono Abdi, Markoes Djadjadiningrat, Hermawan Tanzil, Lans Brahmantyo dan sebagainya. Namun, bukan berarti dia tak ikut mengawasi percetakan, dari pracetak sampai pasca cetakan. “Pekerjaan seperti ini pan memang harus teliti, jeli. Kalau salah sedikit pan kita jelek di mata pelanggan,” ujarnya.

“Biasanya ada yang sudah siap cetak, setelah saya lihat proof-nya, ada yang warna kuranglah, ukuran kuranglah. Kalau sudah masuk cetak, pan repot,” kata Erwin.

Kerja di percetakan ini tidak mudah. Mereka harus memenuhi keinginan pelanggan dengan cetakan bermutu. Kadang, kesulitan muncul jika berhadapan dengan pelanggan yang tak mengerti grafika tapi merasa tahu soal ketidaksamaan antara hasil cetak dan gambar asli.

Masalah ini pernah dialami Kartono. Seorang konsumen membawa separasi film. “Dia kasih ke repro, terima jadi film separasi, proof-nya bagus tapi kertasnya di atas hard paper. Cuma ngorder ke kita pake kertas fancy yang daya serapnya tinggi. Itu ga akan bisa. Hasilnya ga akan ketemu.”

Hal-hal seperti ini, kata Kartono, banyak konsumen tidak mengerti. “Ya, ga paham grafika, dia salahin percetakan. Saya punya gambar bagus, kenapa ini ga bagus, belepotan gini? Ya... ga tau yang bikin filmnya salah. Sebetulnya kalau dia mau bikin fancy paper harusnya fancy-nya kasih ke tukang proof.”

Dalam percetakan, masalah seperti ini memang sering muncul. “Namanya pelanggan, kita pan harus sabar. Kepuasan klien yang paling diutamakan,” ucap Erwin.

Kejelian dan ketelitian tak hanya ketika produksi, tapi dari pra sampai pasca produksi. Dari saat menerima order, penentuan kertas, tinta sampai produk jadi.

PT Jayakarta Agung Offset punya bagian pengawasan mutu (quality control). Setiap buku selesai cetak dan dijilid, masuk ke bagian ini di mana sekelompok karyawati bertugas memeriksa buku demi buku, halaman demi halaman. Mereka melakukan sortir. Bila semua tanpa cacat, pada bagian akhir buku yang disisipkan kertas kecil bertuliskan nama si pengawas mutu.

Contohnya, saya membuka buku Rumah Bangsa, Istana-istana Presiden Republik Indonesia Koleksi dan Benda Seni. Di bagian akhir buku tebal ini ada kertas berukuran 2x5 cm. Di sana tertulis: “JAO PT, controlled by, Makmumi.” Makmumi salah seorang pengawas mutu cetakan.

“Kadang-kadang kan staf ada yang lolos, jadi di setiap buku diberi nama bagian belakangnya, siapa yang menyortir . Kalau buku itu tidak baik dia yang bertanggung jawab,” ucap Kartono.

Percetakan lain, jarang yang punya bagian kontrol mutu. “Ini sangat bermanfaat sekali. Jadi mereka kerja sangat berhati-hati. Dia tahu ini buku-buku berharga, jadi tidak boleh sembarangan. Kita ga malu cantumkan ini, berarti kita teliti.”

Kadang, orang tidak mengerti risiko mencetak buku itu. “Orang bikin murah itu banyak tapi bagus, ga banyak. Di Indonesia itu bisa dihitung jari percetakan yang bagus,” kata Kartono.

Selain mengurus pemasaran, Erwin mengepalai urusan kontrol kualitas. “Saya salut sama adek saya. Dia kalau quality control sangat ketat. Kalau hasil tidak bagus maka dia bilang ke klien dan diulang lagi. Kasih masukan. Bayangkan saja, kalau hasil jilidnya lepas, waduh.... cilaka bisa.”

Memilih kertas perlu didiskusikan dengan pelanggan terlebih dahulu. Jayakarta sebagian besar menggunakan kertas impor karena memang lebih bagus. Harga kertas lokal dan impor, kata Erwin, tak berbeda jauh. Namun kertas impor kualitasnya terjamin. “Mau bagaimana lagi, pan memang kertas lokal kurang. Mutunya tidak stabil. Mutunya belang-belang. Jadi, bilang ke konsumen. Jika klien mau kertas lokal, tidak apa-apa. Kita berikan alternatif.”

Dalam menerima order, Erwin juga berhati-hati. Dia minta setiap bagian saling berkoordinasi, dari marketing sampai produksi. Kadang, di awal tahun, order banyak dan tak jarang antri. Bisa terjadi kekurangan kertas. Jika ini terjadi, Erwin akan berterus-terang dengan klien. Biasanya, klien jauh hari sudah memberitahu percetakan, kertas apa yang digunakan hingga bisa disediakan lebih dulu.

“Namun, bisa juga order ditolak jika memang waktu dan jumlah tidak memadai. Ini juga harus jeli. Pan kita khawatir juga kalau tidak bisa memenuhi pesanan klien tepat waktu.”

Deniek G. Sukarya, seorang fotografer asal Bali, punya beberapa pengalaman dengan Erwin. “Biasanya saya tidak lihat ada kekurangan dari hasil cetakan, malah dia yang kasih tahu. Dia sangat memperhatikan mutu percetakannya,” kata Deniek.

Buku Deniek antara lain Enchanted Moments, berbahasa Inggris setebal 216 halaman dan dicetak September 1999, berupa kumpulan foto pemandangan alam. Ada juga buku Indonesia: Harmony in Diversity, yang dibuat menyambut 40 tahun perusahaan farmasi PT Kalbe Farma, selesai cetak September 2006. “Di sana, harga cetakan itu berimbang dengan kualitas yang kita dapatkan,” kata Deniek.

John H. McGlynn dari Yayasan Lontar juga kerap bekerjasama dengan percetakan Jayakarta. Yayasan Lontar didirikan sastrawan Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Umar Kayam dan McGlynn tahun 1987 guna mempromosikan Indonesia melalui penterjemahan dan penerbitan sastra Indonesia ke bahasa Inggris. “Yang kami pentingkan kualitas dan bukan sepenuhnya harga karena audiens kami biasa membeli buku luar negeri,” kata McGlynn.

“Salah satu hal yang saya senangi, kebiasaan staf Jayakarta membicarakan penampilan buku sebelum pekerjaan dimulai. Kalau mereka berpendapat penampilan buku Lontar akan lebih bagus, misalnya, dipakai kertas atau warna tinta lain, dari yang kami tentukan, mereka langsung bicarakan hal ini sama kami.”

Sebelum akhir 1990-an, semua buku Lontar dicetak Jayakarta. Sekarang memang banyak percetakan muncul, namun baru satu atau dua perusahaan, misalnya PT Indonesia Printer, yang bersaing dengan Jayakarta. “Sekarang kebanyakan buku yang kami cetak di Jayakarta adalah buku bergambar berukuran besar,” kata McGlynn.

“Jelas, they take pride in their work!”

Mark Hanusz dari perusahaan penerbitan buku Equinox Publishing mengatakan, “Jayakarta is far and away the best printer for hardcover, illustrated books in Indonesia. I wouldn’t consider using anyone else.”

Menurut Soedarmadji Damais, “Khusus keluarga saya, dia (Erwin) sampai kenal ibu saya, adek saya, semua. Tetapi juga saya tau sama keluarga lain. Contoh, kalau salah seorang keluarga akrab, buat buku tahlilan untuk memperingati anggota keluarga yang meninggal, baik tujuh hari, 40 hari sampai 1.000 hari, Erwin selalu ringan tangan mencetak buku-buku tersebut dengan baik. Dan sering kali cuma-cuma. Itu hebatnya Erwin."



SUATU siang di dalam ruang rapat PT Jayakarta Agung Offset, Erwin sedang berbincang-bincang dengan Kepala Bagian Pra Cetak, Jo “Pocu” Hintarta. Mereka membicarakan rencana wawancara soal perusahaan mereka dengan saya. Tak lama kemudian masuk stafnya, berbisik sesaat pada Erwin. “Coba bawa ke sini hasilnya,” pinta Erwin.

Staf pun membawa hasil proof satu lembar kertas katalog Balai Lelang Seni Larasati dengan kurator Amir Sidharta. Kami semua memperhatikan hasil proof. Ternyata, ada garis pinggir terlalu dekat dengan gambar. “Pan tadi udah saya bilang, lihat lagi, udah bener blom.” Erwin mengatakan pada stafnya. “Benerin lagi.”

Pra cetak adalah bagian vital dari sebuah percetakan. Dan Pocu, selain Kartono, adalah orang yang bisa cerita proses pertumbuhan divisi pra cetak Jayakarta. Pocu masuk Jayakarta diajak Subianto dan Kartono. Awalnya, dia ragu karena masih mengurusi dagang bahan makanan dan restoran. Setelah dibujuk, Pocu pun bersedia. Oktober 1969 dia masuk Jayakarta. “Awalnya, saya tidak full di sana. Setelah tiga tahun saya diminta full time,” kenang Pocu.

Pocu sempat sekolah fotografi di Gedung Chandra Naya tahun 1971. Gedung tua ini terletak di Jalan Gajah Mada No. 188. Dulu, milik Mayor Khouw Kim An, pemimpin masyarakat Tionghoa masa Hindia Belanda. Pada 1957, namanya diganti Chandra Naya. Sampai 1980-an, gedung ini menjadi tempat perkumpulan Tionghoa Sin Min Hui. Ada juga kegiatan sosial diadakan di Chandra Naya, termasuk sekolah fotografi.

Pocu cinta dengan dunia repro film. “Saya minta cuti setengah tahun untuk keperluan sekolah di Jepang di bidang repro sekitar tahun 1975-an.” Setelah kembali dari Jepang, Pocu lalu mengikuti pendidikan di Percetakan Negara, sekitar enam bulan. “Di Jayakarta, saya terus belajar dengan Mr. Chin,” kata Pocu.

Pada tahun 1960-an sampai pertengahan 1970-an, membuat satu film separasi butuh waktu sampai enam jam. Membuat film menggunakan kamera gantung, yang harus ditutup pakai kain hitam. Produksi film harus di ruang khusus untuk melihat ketajaman maupun ukuran. Gelap. Semua lampu dimatikan, yang boleh hanya lampu berwarna merah.

“Masih diputer pake tangan. Saya beli dari BUMN yang sudah tidak pake punya. Dijual. Ya..udah ga dipake. Udah di gudang. Semua pake tangan ga ada tombol listrik. Udah gitu pake kerudung punya. Kayak di studio,” tutur Kartono.

Setelah dibuat film dengan kamera gantung, baru dibikinkan layout. Bikin pola di kartun tebal (hard cartoon), dihitung ukuran kertas untuk cetak biru (blue print). Layout selesai. Lalu memasang semacam plastik yang ditempel dengan selotip. Film ditempel terbalik dan dimasukkan ke dalam mesin copier buat penyinaran. Setelah itu, baru dicuci, obatnya amoniak, yang dimasukkan ke dalam drum besar. Kertas blue print digulung dimasukkan dalam drum. Lalu ditutup beberapa menit, akan muncul teks gambar. Teks gambar ini diambil dan diberikan kepada pelanggan. Untuk dilihat, apakah teks dan posisi buku sudah sesuai atau belum. Jika sudah setuju barulah dibikin plat-nya. Buat plat disiapkan seng kosong.

Sebuah mesin besar berputar, plat seng kosong dijepit, lalu gundu (kelereng) ditabur di atas plat. “Terus digoyang-goyang, didorong ke depan, belakang, depan, belakang. Nanti tinggal ditaburin pasir. Terus gitu,” cerita Kartono. Mesinnya digerakkan motor tempel dari mobil bekas yang diambil dinamonya. Arusnya dibalik.

Pembuatan plat sekitar satu jam. “Kalau plat sudah bagus, kita bikin lagi obat untuk penyinaran. Itu bikin sendiri, oplos sendiri. Oplos macem-macem. Dicampur yang diajari guru waktu di Pertjetakan Negara.”

Mesin dalam keadaan berputar, plat kosong diletakkan di atas mesin. Lalu obat penyinaran pun dituangkan pelahan, tidak boleh terlalu tinggi. Jaraknya mesti pendek, kalau terlalu tinggi akan terjadi busa. “Busa sedikit, cacat. Sudah tidak bisa pakai. Aduh... sulit sekali dulu. Sedikit saja salah... rasanya botak,” ucap Kartono.

Setelah seng plat licin, dimasukkan ke dalam oven pengering sekitar 10 menit. Kemudian diekspose, kira-kira setengah jam. Gambar pun keluar.

“Itu eksposenya saja bukan pake lampu tapi arang. Tiga arang. Dari arangnya itu menyala api, lalu terbakar dan keluar sinar. Itu zaman kuno sekali. Sekarang kan tinggal pakai, ditembak. Cuci langsung keluar gambar.”

Kadang, di tengah pekerjaan berlangsung, obat habis. Kartono pun segera mengambil sepeda motor dan melaju ke pasar loak (barang bekas) di kawasan Manggarai, mencari ramuan obat. “Gitu deh zaman dulu, susah semua.”

Setelah gambar muncul langsung direndam dalam air keras dan dipasang terbalik. Setelah terbuka, diberi obat kemudian diberi tinta hitam. Diangkat sebentar, direndam lagi pakai air keras. Dicuci lagi sekitar satu jam lebih. Bagian yang tidak kena sinar akan rontok. Plat pun terisi. “Wah cara itu, pusing sekali deh dulu. Satu plat aja bisa dua tiga jam. Kalau sekarang cuma bicara menit. Satu plat 10 menit jadi.”

Dulu, kalau membuat plat, mesti sangat hati-hati sekali. Sebab, kalau salah, menurut Pocu, diulang dari awal. “Waduh, makan waktu lama sekali.” Satu kali bikin file separasi saja sekitar enam jam, masukin screen untuk membuat dotgen (bintik-bintik yang membentuk warna), bikin blue print, dan plat-nya.

Tahun 1975, baru semi komputer. Mulai tahun ini, teknologi proof manual sudah bisa dibuat berwarna. Sudah ada mesin proof yang menggunakan lor tinta. Mesin macam gulungan besar berjalan mengangkut tinta yang nempel ke kertas. “Ini sudah warna. Tiap kali naik, satu warna,” ucap Pocu. Proof warna ini penting agar ketika percetakan berjalan, yang jumlahnya besar, mutu warna sudah bisa diperhitungkan sebelumnya.



SEPARASI warna merupakan kendala percetakan di Jakarta sebelum era komputer pada 1990an. Dunia warna adalah dunia tanpa batas. Seorang pencetak selalu tertantang bila mencetak materi berwarna, apalagi bila materi itu datang dari pelukis jagoan, yang bisa mencampur cat dan menciptakan warna, yang cocok untuk karyanya. Bagaimana cara mengubah dunia tanpa batas itu dalam separasi tiga atau empat warna? Entah dengan model warna CMY (cyan, magenta, yellow) atau model RGB (red, green, blue)? Biasanya, suatu warna bisa dipisah dalam tiga komponen cyan, magenta dan kuning, dicetak di atas kertas putih, plus warna hitam sebagai kuncinya (key) –kombinasi ini secara matematis disebut CMYK.

Kartono dan Pocu berusaha mencari jawaban model CMYK. Pada 1970an, saat memulai usaha, percetakan Jayakarta menggunakan satu unit mesin satu-warna dan dua mesin dua-warna. Masih tertinggal dari percetakan yang ada kala itu. Bahkan mereka sempat diejek-ejek salah satu percetakan ketika menggunakan mesin buatan Shanghai.

“’Bagaimana mungkin mesin cetak yang kurang baik bisa menghasilkan produk yang baik?’ Saya ingat itu. Hingga perkataan ini cambuk yang membuat saya betul-betul mau menunjukkan dan memberikan mutu yang baik dengan mesin yang ada,” kata Kartono.

Kartono sadar mesinnya tak bisa bersaing. Namun, dia tahu, mesin yang baik tanpa didukung film yang baik, hasilnya pun tak akan sempurna. Mereka mencari jalan keluar. “Filmnya saya cari yang paling baik,” kata Kartono.

Caranya, mereka mengirim film ke Hongkong walau di Jakarta mereka sudah mempekerjakan karyawan asal Hongkong. “Tetap saya kirim ke Dai Nippon Printing, printing yang ada di Hongkong. Nah, melalui dia, kita dibantu separasi film.”

Kartono belajar lagi ke perusahaan Kodak di Singapura. Di sana dia mendalami ilmu pewarnaan. Lalu, belajar lagi ke Hongkong.

“Saya diantar teman untuk belajar finishing. Bagaimana penjilidan buku yang baik. Kembali dari Hongkong diajak lagi untuk melihat percetakan Singapura yang sudah besar dan penjilidan bagus semua. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa finishing itu penting untuk percetakan. Dan kala separasi itu sangat penting karena jantungnya offset.”

Belakangan, Kartono melihat kualitas film Dai Nippon Printing Jepang lebih bagus dari Dai Nippon Hongkong. Mengapa cetakan Jepang dengan Hongkong, berbeda? Padahal sama-sama perusahaan Jepang juga.

Katono berpikir keras. Lalu, dia memutuskan mengirim film dari Hongkong ke Jepang. Meskipun waktunya agak lama, sekitar satu bulan, ada beberapa konsumen besar yang ingin mutu cetak buku terbaik. Mereka memberikan waktu cukup.

Ternyata hasil film Jepang tak sesuai harapan. Film yang dicetak dari Jepang dengan film yang diterima, tidak sama hasilnya. “Itu ada rahasia perusahaan masing-masing. Mereka merahasiakan agar tekniknya tidak dikuasai bangsa lain. Film yang di-proof ke kita bagus tapi film yang dikirim ke kita tidak sama.”

Kartono coba mencetak, namun hasilnya tak pernah sama dengan cetakan Jepang. Tak putus asa, Kartono terus mencari penyebabnya. “Belakangan saya liat terus, hasil dan film dengan cetakannya. Baru tahu, setelah diteliti ternyata film dan cetakan tidak sama karena film dibikin lebih warnanya, sedangkan di cetak agak dikurangi.”

“Bagaimana kita bisa nguber. Kita kan ikutin cetakannya. Itu ada teknik tertentu yang akhirnya ketemu.”

Jayakarta pun mampu membuktikan kepada pelanggan, meskipun menggunakan mesin sederhana, tapi mutu cetak baik. “Kita bisa berikan film yang bagus.”

Pada 1990an, era digital masuk. Proses separasi melalui komputer tapi masih menggunakan plat seng. Teknologi ini dikenal dengan nama computer to file (CTF). Halaman per halaman data digital dikonversi menjadi lembar film, kemudian dibuat plat-nya sebagai acuan cetak. “Sistem ini pun masih dipakai sampai sekarang di Jayakarta. Kebanyakan percetakan masih pakai sistem ini.”

Pada tahun 2002, Jayakarta membeli teknologi paling mutakhir: computer to plate (CTP). Dalam sistem ini, proses pembuatan image (citra) pada plat dilakukan tanpa melewati proses pembuatan film. Citra atau gambar langsung dicetak pada plat langsung dari komputer.

“Dengan CTP, jauh lebih mudah,” kata Pocu. Bahkan, pelanggan bisa mendesain materi sendiri, dan menyerahkan ke percetakan. Di percetakan tinggal layout, buat proof. Lalu diserahkan kepada pelanggan untuk koreksi. Jika setuju, masuk proses selanjutnya. Membuat plat dan siap cetak.

Cholid, karyawan pra cetak, mengatakan pada saya bahwa CTP bikin pekerjaan jauh lebih cepat. Cholid sudah bekerja selama 14 tahun di Jayakarta. Dia mencontohkan layout buku vertikal lipatan 16. Buka master pages, pilih ukuran buku dan diformat. “Sudah selesai.” Lalu, file dibuka dan masukkan ke mounting, otomatis membentuk format semula. “Pilih warna, tinggal request. Mau cetak berapa buku, di-klik aja. Gampang,” ucapnya, seraya memperagakan di komputernya.

Sartina, rekan Cholid, mengatakan “Asyiknya, mau apa-apa tinggal klik saja.”

Dari mounting, lalu ke mesin signa metaproof, sebuah mesin untuk cetak proof. “Setelah print, kita lihatkan lagi pada pelanggan. Bagaimana? Apakah sudah sesuai? Jika ada yang kurang bisa diperbaiki sebelum masuk mesin pembuat plat,” jelas Cholid.

Setelah proof dan pelanggan setuju, mulai masuk meta to setter. Ini sebuah mesin pro face digital yang memiliki monitor. Pengaturan dilakukan melalui komputer. Setelah diatur, mesin pun bergerak. Perlahan-lahan plat kering keluar dari mesin.

Sampai di sana belum selesai. Plat harus naik meja koreksi sesaat sebelum pindah ke mesin cetak. Dicek, apakah plat sudah sesuai atau belum. Saya perhatikan Topik Hidayat, operator mesin, anak buah Pocu, meletakkan plat di atas meja dan menempelkan alat koreksi densitometer di atas plat.

“Bisa keliatan, apakah plat bersih atau ga? Kalibrasi warna sudah cocok atau belum? Ukuran, persen output apakah sudah benar? Bisa terlihat di sana jika ada yang kurang,” jelas Topik. CMYK biasa diukur dengan persentase setiap komponen. Cyan sekian persen. Magenta sekian persen.

Mesti digital, masalah dan kesulitan tetap ada. Contoh, desain datang dari klien dan percetakan tinggal menata. Jika, desain jelas dan rapi mungkin tak masalah. “Kadang, karena bukan kita yang mengerjakan dari awal, kita takut mengutak atik… eh kadang salah, jadi sasaran complain,” ucap Cholid.

Masalah mesin, kata Topik, juga bisa terjadi. Misal, mesin tiba-tiba error atau rusak. Teknisi dipanggil. “Kalau gini, kita akan liat. Jika rusaknya ringan dan bisa ditangani teknisi sendiri. Kadang, jika sulit kita panggil teknisi dari perusahaan (mesin) ini.”

Bagi Pocu dan anak buahnya, complain pelanggan merupakan bagian pekerjaan mereka. Mereka berusaha hasil kerja sesuai keinginan konsumen. Secara umum, pelanggan, seperti penerbit, desainer, fotografer bisa bekerja sama dengan baik. “Mereka ikut mengoreksi sama-sama, mudah dihubungi, jika kami perlu bertanya. Kita pun bisa beri usul. Menyenangkan,” ucap Pocu.

Pocu, Cholid, Topik dan Sartina senang jika pekerjaan bagus dan bisa diterima pelanggan.



MESIN Ryobi terus berputar mengeluarkan bunyi gemuruh. Helai demi helai kertas keluar dari mesin lima-warna asal Jepang itu. Pada, layar monitor tertera 13.500, yang menunjukkan besaran kapasitas produksi per jam. Di bagian bawah angka terus berganti… 71458… 88075….

Saya sering melihat-lihat mesin-mesin Jayakarta. “Angka itu menunjukkan banyaknya kertas yang sudah dicetak,” kata operator mesin Pocen.

Pocen berumur 52 tahun. Dia sudah bekerja di Jayakarta 1970-an. Sekarang, Pocen bisa bekerja dengan cepat. Mencetak langsung lima warna. Dulu, tahun 1970-an, mesin baru bisa hitam putih. “Menghidupkannya pun pakai tangan. Digerak-gerakkan.”

Pocen mengatakan dia banyak belajar dari percetakan ini. Nasehat dan kritik biasanya datang dari Erwin. “Ya, kalau saya salah, Pak Erwin kasih tau. Kritik saya. Tapi saya senang, karena dia omelin saya, tapi ada jalan keluarnya,” tutur Pocen.

Mesin Shanghai model satu-warna dan dua-warna milik Jayakarta, yang dipakai sejak 1969, kapasitasnya hanya 3.000 lembar per jam. Mau menyetel warna, membutuhkan waktu sampai satu jam. Sekarang, dengan mesin-mesin baru Jerman (Heidelberg dan Roland) serta Jepang (Mitsubishi dan Ryobi), setel 15-20 menit sudah selesai. Bahkan, ketika percetakan lain masih menggunakan empat warna, Jayakarta sudah memiliki mesin lima dan enam warna.

Ada kejadian awal 1980an, yang menyebabkan Jayakarta beralih dari mesin Heidelberg ke Rolland, keduanya produksi Jerman. Ketika itu, Jayakarta membeli kamera produksi Jerman dari distributor Heidelberg di Jakarta untuk separasi warna. Sampai di Jakarta, dipasang dan dipakai hanya bisa hitam putih. Gambar yang muncul berbayang ganda.

Saat klaim kepada distributor Heidelberg, yang sudah dibayar 80 persen, tak ada tindakan apa-apa. Merasa mereka tidak bertanggung jawab, timbul perselisihan. Putus hubungan.

“Barang yang sudah jadi ya udah kita beli. Cuma kita ga lanjut lagi beli mesin dia. Akhirnya kita ke Rolland,” kata Kartono.

Setelah pindah ke Rolland, perusahaan mendapatkan empat teknisi dari Hongkong. Satu menjadi kepala produksi merangkap operator, dua orang operator mesin, satu lagi bagian repro.

Kartono memutuskan membeli mesin Rolland Record (enam-warna) pada 1996 dan Ryobi (lima-warna) pada 2005. Persaingan bisnis cetak makin ketat. “Mereka [pesaing] ketawain saya, cetak empat-warna, beli enam-warna.”

Bagi Kartono, yang paling penting dari percetakan itu mutu dan biaya. Jika, menggunakan empat-warna, untuk mencetak enam-warna, kertasnya harus naik dua kali.

“Naik dua kali berarti kerusakan mungkin dua kali juga. Kalau naik satu kali kerusakan kemungkinan satu kali, jadi cost bisa lebih murah, bisa ditekan. Kecepatan dan cost murah. Itu yang mereka tidak menyadari. Jayakarta sering mendapatkan pekerjaan yang lebih (dari) empat-warna,” katanya.

Kini bagian produksi dikepalai Asianto. Jadi, sebuah pekerjaan cetak arusnya pindah dari bagian Pocu ke bagian Asianto.

Asianto masuk Jayakarta pada Desember 1977. Awalnya, dia sebagai kepala pembukuan, sekitar tiga tahun, lalu promosi ke pemasaran. Ketika di pemasaran, dia merangkap bagian kalkulasi. “Saya harus bisa kalkulasi harga dengan klien. Saya senang di bagian ini karena banyak berhubungan dengan pihak luar. Jadi, kita tau apa keinginan klien,” kata Asianto.

Ada juga sedihnya, saat menghadapi tekanan klien. “Klien minta cepat, lalu kita ke produksi, tanya apakah bisa cepat,” tuturnya. Asianto jadi tahu pekerjaan produksi. Awal 1980-an, ada karyawan produksi yang keluar, dia diminta pindah ke sana. Asianto setuju. Ketika kepala produksi, Mr. Chin, pensiun, Asianto menggantikan posisinya.

Masa-masa yang paling berat ketika menghadapi batas waktu cetak dan order banyak. Mau tak mau harus ada lembur. “Nguber deadline, kalau udah tau kerjaan bakal ga selesai maka dilemburkan. Ini harus dihitung dengan teliti. Perhitungan harus cermat.”

Bagian produksi meliputi proses dari materi masuk mesin cetak sampai finishing. “Finishing-nya semua diperhatikan. Meskipun di Jayakarta tidak ada mesin finishing otomatis namun kualitas jilid tak diragukan,” kata Kartono. Bahkan, mereka merakit sendiri. “Yang belum ada, di Jakarta, saya tembak semua dari luar. Saya beli, modifikasi sendiri. Sampai ada ini hari.”

Pekerjaan percetakan, antara satu bagian dan bagian lain, saling terkait. Hasil cetakan ditentukan dari pesanan masuk sampai barang jadi. “Jadi, koordinasi awal dari marketing.” Bagian pemasaran, jika mau menerima pesanan biasanya langsung menghubungi produksi.

Pada masing-masing bagian mempunyai agenda, berupa buku catatan pekerjaan. Di dalam buku inilah, interaksi antar bagian terlihat. Jika pekerjaan bisa selesai tepat waktu dan konsumen senang, bagi Asianto, menjadi satu kebanggaan.


TAHUN 1997, krisis ekonomi dan moneter menghantam Indonesia. Nilai rupiah terpuruk, dari Rp2.400 per dollar AS, naik drastis sekitar Rp23.000 ketika Presiden Soeharto menentukan B.J. Habibie sebagai wakilnya. Pebisnis pun kelimpungan. Pinjaman membengkak. Harga-harga naik. Begitu juga bisnis percetakan. Masa itu, banyak percetakan menjual mesin-mesin mereka.

Jayakarta juga mengalami kesulitan. Pesanan buku berkurang, harga material, seperti kertas dan tinta impor melonjak. “Kita pan masih tergantung fluktuasi dollar. Saat itu kertas naik. Sulit deh,” ucap Erwin.

Bahkan, tiga orang tenaga ahli dari Hongkong, harus pulang kampung karena gaji mahal. “Kita ga mampu, mereka dibayar pake dollar, saat itu dolar sampai Rp15.000-an,” kata Kartono.

Namun percetakan Jayakarta mampu bertahan. “Meskipun berat dan tersendat-sendat, kita masih untung. Ga sampai jual-jual mesin. Masih bisa jalan walau berat, order berkurang,” ujar Erwin.

Pada Mei 1998, kerusuhan rasial anti-Tionghoa meledak di Ende, Solo, Medan Jakarta dan beberapa daerah lain. Ribuan orang mati terbakar di beberapa mall Jakarta. Ribuan toko-toko dan perusahaan-perusahaan milik “non-pribumi” dihancurkan massa. Pengrusakan membabi-buta. Orang Tionghoa, sekali lagi, menjadi sasaran, terutama di Jakarta dan Surakarta.

Saat itu, kawasan Kota menjadi amuk massa. Mobil-mobil dibakar. Api berkobar di mana-mana. Erwin, Kartono, Pocu, Asianto dan lainnya merasakan suasana menakutkan. “Saya pulang ke rumah diantar pake motor sama staf. Lewat jalan kecil. Saya masih harus pake tutup kepala biar ga ketahuan,” cerita Erwin.

PT Jayakarta Agung Offset pun terpaksa berhenti operasi sekitar seminggu. Karyawan takut ke luar rumah.

Asianto, ketika kerusuhan pulang ke rumah di daerah Tomang, menggunakan ojek motor. “Mobil saya tinggal di depan, lalu jalan kaki cari ojek,” tuturnya.

Terjadi keterlambatan kerja, tapi pelanggan dapat memahami keadaan ini. Kondisi sulit ini, katanya, berangsur membaik dalam dua tahun. “Yah, keadaan membaik, mulai ada masup cetak buku,” kata Erwin.

Di masa yang sulit itu, Jayakarta masih mendapatkan penghargaan dari bank sebagai nasabah terbaik. Nasabah yang tidak menunggak membayar utang-utangnya. Saat krisis itu, banyak kredit macet. “Kita bayar, 40 persen bunganya kita bayar. Ga pernah nunggak,” ucap Kartono.

Beberapa tahun sesudah jatuhnya Soeharto, keadaan Jayakarta mulai tenang. Kartono memilih pensiun Oktober 2006. “Capek, saya serahin adek saja. Kan sudah ada keponakan di sini, adik di sini. Jadi sudah bisa jalan tanpa saya. Sudah bisa dilepas,” kata Kartono.

Kartono memulai bisnis baru, distributor kertas. “Ga terlalu capek. Kalau percetakan waktu sempit, kita tidak bisa tidur. Pak Erwin itu kadang pukul 5 subuh masih di kantor nungguin materi yang mau diambil besok. Rasa tanggung jawab mesti penuh.”

Pekerjaan Erwin makin bertambah. Dia mengurus luar dan dalam. Awal tahun ini, Erwin menjalani operasi mata di Singapura. “Sekarang mata saya sudah baikan. Kalau ga pan susah,” ucap Erwin. Kakak beradik ini berharap, bisnis yang mereka bangun dari kecil, sampai sebesar sekarang, dapat terjaga. “Ini usaha peninggalan orang tua.”

Note: Tulisan ini dibuat untuk profil perusahaan PT Jayakarta Agung Offset. Ia berupa majalah yang berisi beberapa artikel dan foto terkait Jayakarta.

Monday, September 24, 2007

Perjalanan ke Italy

Dari Roma ke Napoli

11 September sekitar pukul 06.00 waktu Roma, pesawat Malaysia Airlines mendarat di Bandara Internasional Roma. Sepi. Mungkin karena masih pagi.

Kesan pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, biasa saja. Belum ada sesuatu yang mencolok berbeda. Kami menunggu jemputan bus dari panitia euroseas di gate B. Meskipun masih pagi, tenggorokan terasa haus juga. Mas Andre juga haus, dia meminta aku beli minuman di café bandara. Wah, aku bingung, aku kan ga bisa bahasa Itali. Akhirnya aku pede aja, kupikir, mudah-mudahan penjualnya berbahasa Inggris.

Akupun mengambil satu coca cola botol kecil. How much? Penjualnya membalas dalam bahasa Itali. Bingung juga. Akhirnya dia menunjukkan angka di layar mesin hitung. Di sana tertera 2,5 euro. Akupun langsung membayar. Batinku...di Jakarta, minuman ini seharga di bawah Rp5.000. Di Itali....

Akupun ingat apa yang kubaca di Lonely Planet, jika Itali merupakan salah satu negara termahal di Eropa. Sampai-sampai buku petunjuk itu bilang, “Tak ada yang murah di Roma.”

Pukul 09.30 jemputan panitia datang. Kami sudah kumpul di sana dari berbagai utusan, ada dari Malaysia, Singapura, Vietnam, Fhilipina dan lainnya. Kamipun naik ke bus tingkat. He he he...aku sih nebeng aja. Namanya aja just nebenk my husband...he he he...

Eh, ternyata masa menunggu belum selesai. Panitia mengatakan masih menunggu peserta dari London. Waduh! Penantian pun sampai pukul 12.00. Bus berangkat menuju Napoli.

Di perjalanan aku melihat-lihat. Em....konstruksi jalan bagus, dari aspal padat. Jalan lenggang. “Wah, di sini ga macet ya tolnya.” Aku berceloteh. “Ga seperti Jakarta.”

Truk dan mobil yang lalu lintas juga bagus-bagus. Sepanjang perjalanan tak kulihat mobil tua atau berasap belakangnya. Semua masih gressss. Oke. Bukit dan kebun-kebun olive memperindah pemandangan di kiri kanan jalan.

Perut rasanya sudah tidak bisa kompromi. Ribut, kelaparan. Jam sudah hampir pukul 14.00. “Kok panitia belum ngomong juga ya mau berhenti makan,” pikirku.

Tak lama diumumkan akan berhenti di satu cafe, AutoGrill. Cafe ini ada di beberapa tempat yang sekaligus berdampingan dengan tempat pengisian bahan bakar kendaraan.

Peserta bergegas turun dari bus. Masuk cafe dan masing-masing memilih menu. Banyak, dari pizza, salad, pasta, roti sampai ke buah-buah. Lengkap.

Namun, di sanalah mulai kebingunganku memilih makanan. Bukan apa, aku cari mana yang kira-kira cocok dan boleh aku makan. Berbagai pikiran berkecamuk. Aduh bingung!

Mas ikutin aja menu yang aku makan. Karena, dia lebih mudah, ga cerewet. Perutnya mudah beradaptasi. Aku ga bisa. Akhirnya kami memilih makan salad mix tuna. Dasar perut kampung, kalau ga makan nasi dan banyak karbohidrat namanya bukan makan. Meskipun sudah makan roti n salad, belum terasa juga makannya. Tapi ya...mendinganlah, sudah terisi. Setelah makan dan minum perjalanan dilanjutkan.

Sekitar tiga jam perjalanan, bus kami mulai masuk kota. Mulai terlihat rumah-rumah penduduk.

Dari sini, baru terlihat sesuatu yang beda. Ketika melihat rumah penduduk, meskipun masih di pinggiran kota yang sepi, tanah yang luas, rumah terlihat rapi, bangunan vertikal, flat maupun apartemen. Jarang bahkan boleh dibilang tak ada rumah-rumah dibangun berantakan tanpa aturan.

“Ah bagus amat, tanah begitu banyak kosong tapi rumahnya sudah apartemen. Tampak rapi. Tak seperti di Jakarta ya, atau di Indonesia. Tempat padat, penataan kumuh, rumah berbentuk landed house pula. Coba saja, kota-kota di Indopahit meniru metoda ini, membangun flat atau apartemen meski di lahan luas sekalipun.” Aku terus nyeloteh tanpa peduli ada yang mendengarkan atau tidak.

Bus terus melaju memasuki kota Napoli. Bus melewati jalan layang kecil, seperti jalur busway. Nah, ketika sampai di pusat kota mulailah terlihat mobil-mobil parkir tak beraturan di pinggir jalan, macet. Wah, seperti Jakarta juga ya.....Cuma bedanya, di sini mobilnya kecil-kecil, ga banyak pedagang menutupi trotoar meskipun ada juga pedagang kali lima. Bangunan-bangunan juga tampak rapi, tertata dibangun dengan arsitektur menarik. Jalurnya jelas.

Panitia pun mengantar masing-masing peserta ke hotel. Karena peserta menginap di banyak hotel (sekitar 18 hotel), praktis jadi muter-muter Napoli. Keselnya, pas giliran hotel aku ama mas, rupanya panitia lupa, ternyata penginapan kami di bagian paling awal. Karena sudah kelewatan, terpaksa deh kami jadi diantar paling akhir, sekitar pukul 18.00 baru sampe hotel. Gila. Cape banget!!!
Hotel kami, San Georgio, tak jauh dari Piazza Garibaldi yang tak jauh dari terminal train, juga bus. Juga deket pusat perbelanjaan. (He he he..ini yang penting).

Ini dulu...yang lain nyambung......he he he....

Friday, January 12, 2007

Moedjallat Indopahit

Sabtu 6 Januari ini, saya menikah dengan Andreas Harsono, seorang wartawan dari Yayasan Pantau Jakarta. Kami menikah di rumah keluarga saya di Pontianak. Belasan rekan kami membantu merayakan peristiwa ini dengan menerbitkan sebuah buku dengan format majalah ukuran 14.5 x 21 cm. Namanya, Indopahit atau “Indonesia yang pahit” --sebuah olok-olok yang mengawali hubungan kami berdua dua tahun sebelumnya. Pestanya diadakan di Pontianak (7 Januari) dan Jakarta (21 Januari).

Indopahit dicetak 500 eks. Ia dibagikan kepada segenap undangan di Pontianak maupun Jakarta. Disainnya, dikerjakan oleh Vera Rosana dari rumah disain H2O, sedang foto dikerjakan oleh Mohamad Iqbal. Vera melakukan riset “moedjallat” tahun 1920an dari koleksi Perpustakaan Nasional guna menciptakan kesan vintage pada Indopahit. Vera khusus menciptakan "bercak-bercak" pada Indopahit agar timbul kesan kertasnya tua dan lengket. Agus Sopian menulis sedikit dengan ejaan 1920an. Mereka semua pernah sama-sama bekerja untuk majalah Pantau.

Isinya, naskah-naskah tentang hubungan kami maupun masing-masing keluarga. Beberapa rekan juga menyumbang naskah tentang pernikahan. Iqbal membuat esai foto tentang Mas Andreas, Norman dan saya. Norman adalah anak kami dari perkawinan (dan perceraian) Mas Andreas sebelum ini. Agus Suwage, seorang pelukis tinggal di Jogjakarta, juga menyumbangkan karyanya Ciuman Kedua Rodin, untuk ikut memperindah undangan ini. Suwage termasuk seniman yang paling sering menyumbangkan karyanya kepada Yayasan Pantau. Inilah sebagian dari naskah dan gambar dari Indopahit:

Mengapa Kami Menikah?
Cerita Mak Isah oleh Muhlis Suhaeri
Hoakiao dari Jember oleh Andreas Harsono

Keriangan, Keragaman oleh Coen Husain Pontoh
Jomblo, Jomblo, Bahagia oleh Aseanty Widaningsih Pahlevi
Surat dari Ende oleh Esti Wahyuni
Pernikahan oleh Indarwati Aminuddin
Sebentuk Cinta yang Tak Tergantikan oleh Linda Christanty

Kami mohon doa restu dari Anda semua. Kami sadar bahwa mengarungi laut kehidupan dalam satu bahtera rumah tangga bukan sesuatu yang mudah. Ia bukan saja menuntut kesetiaan, pekerjaan mencintai namun juga banyak hal lain, dari masalah prinsip hingga remeh temeh. Kami ingin pernikahan ini langgeng hingga maut memisahkan kami. Selamat membaca. Terima kasih.

Mengapa Kami Menikah?

Sapariah Saturi dan Andreas Harsono

Kami bertemu pertama kali saat tsunami menghantam Aceh dan Pulau Nias. Waktu itu, 24 Desember 2004, kami kebetulan bertemu di ruang tamu harian Pontianak Post. Tak ada yang istimewa kecuali pertemuan antar sesama wartawan. Satunya dari Jakarta, sedang liputan ethnic cleansing Madura di Kalimantan. Satunya lagi, seorang reporter Pontianak, orang Madura, menawarkan bantuan.

Lalu kami berteman biasa. Mulanya via telepon lalu sering bertemu. Kebetulan kami lalu sama-sama tinggal di Jakarta. Sama-sama tinggal di daerah Senayan. Rumah berdekatan. Kami punya banyak teman bersama. Sering ketemu. Sering makan-makan bersama.

Saat pujangga Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia, 30 April 2006, kami sedang naik kereta api dari Jakarta ke Blitar. Sepanjang jalan bicara soal perjuangan Pram. Perjalanan itu mengesankan. Stasiun kecil. Sawah-sawah. Musik rock klasik lewat MP3 Samsung.

Sialnya, dalam kereta api kami kehilangan laptop IBM dan kamera digital Canon. Kami tertidur. Tak sadar ada pencuri masuk ke gerbong dan mengambil barang-barang itu dari dalam tas. Di Blitar, lapor polisi lalu naik becak. Kami tinggal di hotel kuno, Sri Lestari. Makan nasi pecel. Perabotan Jawa. Bahasa Jawa dialek Blitar.

Seorang teman belakangan kasih komentar, “Bahwa barang siapa pasangan yang sedang saling menjajagi hubungan dan salah satunya kehilangan barang yang cukup bernilai, mereka akan pacaran dengan cepat dan kemungkinan jadi pasangan harmonis.”

Kami pergi melihat museum dan makam Presiden Soekarno –seorang politikus Jawa yang banyak membentuk khayalan tentang “bangsa Indonesia” pada awal abad XX. Disana ada cerita mistik soal lukisan Soekarno yang "hidup" --selalu berdenyut-denyut walau tak ada angin. Atau meramal nasib dengan uang kertas rupiah bergambar Soekarno.

Petugas museum mengeluarkan koleksi langka itu. Ia mengetesnya di tangan kami. Bila uang "menggiling" diri, artinya kami akan mendapat keberuntungan. Bila tidak, kami sial. Maka kami mencoba. Ternyata uang itu, tanpa aba-aba, bergiling di tangan. Kami diramal bernasib baik.

Kami juga mengelilingi Candi Palah di desa Panataran. Indah sekali. Ceritanya, pasangan Rama dan Sinta. Bagaimana Sinta diculik oleh Rahwana dari kerajaan Alengka lalu Rama mencari isterinya itu dibantu raja kera Hanuman.

Candi Palah candi terbesar era Majapahit. Ia digunakan untuk memuja dewa Shiwa di kaki Gunung Kelud. Kami sebelumnya mengembangkan nama “Indopahit” –“Indonesia keturunan Majapahit” atau “Indonesia yang pahit.” Kami tentu tertarik melihat candi Majapahit ini. Candi Palah ternyata jauh lebih kecil dari candi Prambanan apalagi Borobudur. Kami tahu Soekarno menciptakan mitos sebuah kerajaan masa lalu, yang seakan-akan menguasai seluruh wilayah Indonesia hari ini, ketika nyatanya, Majapahit cuma memerintah sebagian Pulau Jawa. Salah satu lawan Majapahit adalah kerajaan Pajajaran di daerah Sunda. Bagaimana Majapahit menguasai ribuan pulau dari kesultanan Aceh hingga kampung-kampung di Papua ketik memerintah Sunda saja tak sanggup?

Namun mitos itu diperlukan Soekarno guna membangkitkan khayalan bahwa kepulauan ini, yang dinamai Indonesia, pernah bersatu sebelum kedatangan Belanda. Ini hanya mitos. Kenyataannya, Belanda adalah kekuatan pertama yang mampu mempersatukan, secara diplomasi maupun militer, lebih dari 400 kerajaan di kepulauan ini. Belanda pula yang membentuk kesadaran akan sesuatu yang bernama ”Indische” atau ”Hindia Belanda.”

Di Blitar kami banyak diskusi soal disain negara Republik Indonesia. Kami cerita soal perdagangan gula yang tidak fair di Kalimantan Barat akibat sentralisme Jakarta. Indopahit, tentu saja, banyak kami olok-olok. Soekarno sosok besar tapi banyak kekeliruannya ketika merancang nasionalisme Majapahit untuk Indonesia. Kebangsaan dengan dasar sempit. Tak heran hingga hari ini, lebih dari empat juta warga kepulauan disini, dengan label ”komunis” maupun ”pemberontak”, dibunuh atas nama ”bangsa Indonesia.”

Kami bergurau soal lima dasar negara Indopahit: (1) Hidupnya korupsi, kolusi dan nepotisme; (2) Kekerasan sebagai senjata ampuh; (3) Anti perbedaan; (4) Pelihara kesengsaraan rakyat; (5) Pupuk terus diskriminasi, rasialisme cs.

Ketika kami pulang ke Jakarta, naik pesawat terbang dari Malang, badan capek dan kami bawa oleh-oleh tas kulit imitasi. Namun riset dapat banyak hasil. Sayang, tak ada foto-foto karena kamera dicuri. Setibanya di Jakarta, kami terhadang kemacetan besar karena demonstrasi Hari Buruh atau May Day. Namun pentingnya, kami kembali ke Jakarta dengan relasi yang jauh berbeda. Kami berjanji belajar mengenal diri kami dengan lebih baik. Kami ingin menata kehidupan ini dengan jalan bersama.

Mulanya apa yang menarik?

ANDREAS: Setelah kenalan di Pontianak, Sapariah datang ke Jakarta mengikuti kursus jurnalisme sastrawi di Yayasan Pantau. Janet Steele dari George Washington University dan saya mengajar kursus ini tiap semester. Kami rutin mengundang wartawan daerah, kelompok minoritas dan perempuan, untuk ikut kursus ini. Sapariah wartawati Madura di Pontianak. Dia memenuhi syarat kedaerahan, minoritas dan perempuan.

Sapariah mulai jadi istimewa ketika beberapa bulan kemudian ia mengirim kaos dengan pesan, "Dasar negara Indopahit.” Saya pikir orang ini kritis sekali. Isinya, lima dasar negara Indopahit itu. Secara intelektual, saya kira ia mengerti kegelisahan saya. Hubungan kami enak.

SAPARIAH: Pertama kali kenal, yang ada dalam pikiranku orangnya asik. Asik diajak ngobrol, diskusi. Terus pintar dan cerdas. Aura pintarnya tuh kelihatan. Terus selera humornya tinggi (dia sebenarnya orang serius). Jadi, seakan tiada hari tanpa bergurau, meskipun lagi ga ada duit … ha ha ha.

Aku juga suka gaya dan mimik mukanya, yang kadang dibuat aneh-aneh (apalagi kalau aku lagi sebel). Yang membuat dia berbeda dari yang lain adalah pemikirannya. ”Ini orang gila dan aneh.” Kami nyambung dalam banyak hal, dari ngerjain orang sampai ide negara Indopahit. Tak lupa saling menghina dan mentertawai diri sendiri.

Kapan jadi pacar?

ANDREAS: Ketika jalan bersama ke Blitar, saya bilang bagaimana kalau kita mencoba mengenal lebih jauh? Tapi saya ingin hubungan ini direstui keluarga Sapariah. Jadi, bulan Juli saya dikenalkan dengan Mamak dan Tursih, adiknya Sapariah, yang lagi liburan di Jakarta. Mamak merestui. Maka kami pun resmi pacaran.

SAPARIAH: Ya, jadian awalnya sih May Day itu. Lainnya … idem he he he .…

Kesan pacaran bagaimana?

SAPARIAH: Aku merasa cocok. Mas, orangnya peduli dan perhatian. Bukan hanya dengan orang-orang terdekatnya, tapi semua orang, terutama kalangan tertindas. Jadi aku merasa enak dan aman. Mas itu orang yang punya prinsip, bekerja dengan jujur dan benar. Maka tak heran kalau setiap saat aku selalu mendengar ocehan dan kekesalannya terhadap carut marut negara dan pelaksananya.

Mas, bisa memahami aku, meski dengan hinaan-hinaannya tentu. ”Hinaan” itu password bagi kami untuk saling meledek. Dalam hubungan kami, tabu dengan kata ngambek kalau dihina.

Pernah, satu kali kami sedang ngobrol dengan Mbak Uun (Nurul Hayat) dan suaminya (Muhlis Suhaeri), di Restoran Cita Rasa, Pontianak. Saat itu, kami membicarakan film produksi sineas perempuan seperti Lola Amaria dengan Betina.

Muhlis, yang kenalan Lola Amaria, tanya bagaimana tanggapan masyarakat terhadap film Betina. Aku jawab saja cukup bagus. Ia diulas media termasuk tempatku bekerja Jurnal Perempuan (halaman perempuan harian Jurnal Nasional).

Tiba-tiba, Mbak Uun, berkata,” Mbak Un langganan Jurnal Perempuan, kok ga ada?” Maksudnya, Mbak Uun mengacu pada sebuah jurnal ilmiah, suntingan pemikir feminisme Gadis Arivia, yang terbit di Jakarta. Isinya berat soal feminisme. Nama sama tapi mereka dua media berbeda.

Ternyata ada mahluk yang ga pernah menyia-nyiakan untuk ngerjai aku. Langsung Mas Andre nyeletuk, ”Jurnal perempuan yang serius atau yang tidak serius?”

Aku tanya, ”Maksudnya apa? Mana yang serius dan mana yang tidak?”

Langsung deh aku kesel. Enak aja, Jurnal Perempuan yang aku pegang (sebagai redaktur) dibilang ga serius. Aku ngambek. Kami pulang. Di dalam mobil aku masih ngambek.

Lalu Mas bilang, ”Sejak kapan kita ga boleh saling menghina?” Dia tertawa ngakak, tanpa rasa bersalah. Oh iya ya, kita kan emang suka saling hina, aku pun ikutan ngakak.

ANDREAS: Saya mengagumi Sapariah karena perjuangannya untuk selalu jalan di jalan yang benar. Suatu saat kami butuh uang guna membayar persiapan pernikahan. Ada tawaran kerja singkat sebagai private investigator untuk suatu konglomerat. Mereka minta saya menyelidiki seorang lawan bisnis mereka. Cara kerjanya sama dengan jurnalisme: riset, wawancara, analisis dan menulis. Belakangan saya ketahui jumlah uang yang hendak mereka bayarkan dalam transaksi tersebut mendekati US$1 milyar.

Namun dalam jurnalisme, seorang wartawan harus transparan tentang metode dan motivasinya dalam bekerja. Intinya, wartawan harus jujur. Padahal konglomerat ini ingin namanya dirahasiakan. Bagaimana cara reporter wawancara tanpa menyebutkan keperluan wawancara itu? Bukankah kami tak boleh bohong? Wartawan juga melayani kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan bisnis.

Sapariah minta saya menolak tawaran itu walau kami lagi butuh uang. Katanya, lebih baik kita ”kaya hati” daripada ”berkat nila setitik rusak susu sebelanga.” Saya beruntung sekali mengenal orang dengan hati nurani macam ini.

Menurut Derek Walters dan Helen Jones dalam buku The Chinese Astrology, ada pepatah Mandarin berbunyi, ”Bila si Kelinci bertemu dengan si Ular, maka kebahagiaan abadi menanti mereka.” Sapariah shio Kelinci dan saya shio Ular. Kebetulan yang menarik bukan?

Bagaimana menilai keluarga pasangan?

ANDREAS: Saya pertama kali kenal dengan dua keponakan Sapariah: Delly Ariska Virgina Jannati (Keke) dan Lusinda Aprilia Arsy Islami (Dede). Mereka liburan di Jakarta dan Keke jatuh sakit. Sapariah sibuk bekerja, baru pindah ke perusahaan baru, sehingga tak bisa menjaga Keke. Saya menawarkan diri membantu. Keke menginap di apartemen saya.

Lantas Mamak dan Tursih juga datang ke Jakarta. Mereka juga liburan. Saya dikenalkan Sapariah kepada anggota-anggota keluarganya. Kesannya, menyenangkan, keluarga sederhana, terbuka. Saya terutama terkesan dengan kepribadian Mamak. Saya kira Sapariah beruntung memiliki ibu yang mengajarkan dirinya berbuat benar. Mamak suka nonton televisi kabel Animal Planet, dari gajah hingga ular, badak hingga ikan-ikan di laut. Saya biasa membuatkan kopi untuk beliau serta setel Animal Planet. Mamak memanggil saya, ”Jadul” –singkatan dari ”jaman dulu.”

Lalu saya pergi ke Pontianak, menginap di rumah Jl. HM Suwignyo. Mamak sering mengobrol berdua dengan saya di dapur belakang, pagi hari sambil Mamak bikin teh panas. Dapur ini menghadap kebun dan tempat pembakaran sampah. Sederhana. Saleh. Enteng. Suka bergurau. She doesn’t take herself too seriously.

SAPARIAH: Keluarga Mas yang pertama aku kenal Mbak Rebeka. Karena kenal saat aku liputan di Balai Kota Jakarta. Saat itu aku sama Mas berteman. Mbak Rebeka ketua Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia, kala itu mengadvokasi orang Cina Benteng. Lalu kenal dengan adik Mas yang lain, Heylen, bersama anaknya, Cho Yong Gie.

Juli 2006, Mama ke Jakarta dan kebetulan saat itu keponakanku, Dede dan Keke ke Jakarta. Keke sakit campak di apartemen Mas Andre. Wah aku khawatir sekali. Bingung. Aku dan Mas ga tahu penyakit itu. Bersyukur ada Mama. Mama tahu tentang penyakit campak ini sekaligus perawatannya. Ga kepikir deh kalau saat itu Mama ga datang. Mama baik sekali. Mama datang bersama saudara kembar Mbak Rebeka, Susanna. Asik, kami ngobrol bersama, belanja bersama. Saya senang bisa diterima keluarga Mas.

Hubungan dengan Norman Harsono?

ANDREAS: Norman anak saya dari perkawinan pada 1995. Saya bercerai dengan ibunya pada 2003. Saya dekat, mencintai dan menghormati Norman. Saya melibatkan Norman dalam proses pengambilan keputusan memilih Sapariah, walau saya yang memutuskannya. Norman menganggap Sapariah temannya. Kalau kebetulan Sapariah lama tak muncul, dia tanya kenapa Sapariah tak datang? Motivasinya, Norman ingin main saja. Kalau Sapariah muncul di pintu rumah kami, pertanyaan pertama yang muncul dari Norman, ”Fighting?” Maksudnya, main kelahi pakai bantal melawan papanya. Ketika hubungan kami hendak jadi serius, saya tanya-tanya dulu pada Norman. ”What do you think about Sapariah?” Norman bilang Sapariah orang baik. Dia bahkan mengadu pada Sapariah bila ada masalah.

SAPARIAH: Pertama aku khawatir. Aku takut hubunganku dengan Mas akan membuat Norman sedih. Tentu aku ga mau. Bersyukur, Norman anak baik dan pintar lagi. Dia merestui hubungan kami. Kami sering main bareng dari buat robot, pillow war, blindfold, pushing, petak umpet sampai basket. Aku selalu jadi satu tim ama Norman yang melawan papanya. Aku senang sekali.

Kalau marahan bagaimana?

SAPARIAH: Ngaku deh, kalau masalah ini aku yang suka kesel atau ngambek duluan. Misalnya diskusi aku kalah argumen, biasanya langsung kesel. Mungkin karena Mas lebih dewasa jadi sering mengingatkan aku. Biasanya sih kalau aku lagi sebel hanya karena masalah sepele, Mas mengatasinya dengan lucu-lucuan. Jadi marah dan kesal aku jadi ilang lalu ketawa-ketawa deh walau tadinya udah mau nangis.

ANDREAS: Saya punya kebiasaan jelek. Kalau saya kesal terhadap sesuatu, saya cenderung jadi cerewet, menunjukkan kesalahan tersebut dengan detail dan diulang-ulang. Biasanya Norman, kalau sudah begitu, menutup telinganya atau menutup mulut saya. Sapariah sama saja. Saya menggantinya dengan lelucon, menjadikan kesalahan itu sebagai humor.

Bagaimana dengan anak? Jumlah? Pendidikan?

SAPARIAH: Semua kan mesti ada rencana. Kami kan sudah punya satu anak, jadi tinggal tambah satu lagi deh. Kalau bisa sih cewek, biar lengkap. Untuk sekolah, sama dengan Mas. Kami sepakat pendidikan itu penting dan nomor satu. Jadi kami akan berusaha menyekolahkan anak kami di sekolah yang berkualitas. Itu untuk masa depan mereka juga.

ANDREAS: Saya tahu negara Indopahit ini tak mau dan tak mampu menyediakan pendidikan bermutu untuk warganya. Mutu sekolah Indonesia rendah. Beda dengan Srilanka atau India dimana sekolah dan buku terjangkau serta bermutu. Akibatnya, saya mengirim Norman ke sekolah internasional di Jakarta. Bahasa pengantar bahasa Inggris. Kebetulan ketika masih kecil, Norman sekolah di Cambridge, ketika saya di Harvard. Bahasa Inggris adalah bahasa pertama Norman

Kalau Norman punya adik, tentu saja, si adik juga akan sekolah internasional. Saya ingin anak kami menggunakan bahasa Inggris. Saya ingin anak kami mengetahui budaya asal orang tuanya. Si adik harus punya kesempatan belajar bahasa Madura dan bahasa Mandarin.

Bagaimana dengan karir masing-masing?

SAPARIAH: Aku tetap bekerja sebagai wartawan. Mas juga. Jadi kami bebas meniti karir masing-masing. Aku masih ingin menempuh pendidikan lebih tinggi.

ANDREAS: Saya lagi menyelesaikan buku, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Saya harap buku ini selesai tahun 2007. Sesudahnya, saya akan terus bekerja meningkatkan mutu jurnalisme berbahasa Melayu lewat Yayasan Pantau serta memberi kuliah. Kini saya pengajar tak tetap di Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia dan Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Mungkin sekali dua, perlu sabbatical break, belajar dan mengajar di kampus luar negeri.

Kelak bila sudah tua, saya ingin belajar jadi guru, tempat orang muda bertanya. Ini untuk membalas kebaikan para mentor saya. Dulu saya beruntung punya mentor-mentor macam Arief Budiman dan George Junus Aditjondro dari Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga, Jawa), Goenawan Mohamad dari Institut Studi Arus Informasi (Jakarta) dan Bill Kovach dari Universitas Harvard (Cambridge, Amerika Serikat). Mereka melatih saya berpikir kritis, menggunakan kata-kata untuk meningkatkan mutu masyarakat dalam mengambil keputusan. Mereka mengajari saya mencintai jurnalisme. Saya ingin bisa hidup lurus, jujur dan setia pada jurnalisme.

Pembagian kerja secara seksual?

ANDREAS: Arief Budiman menulis dalam buku Pembagian Kerja Secara Seksual bahwa pekerjaan nature (alamiah) perempuan adalah melahirkan dan menyusui anak. Laki-laki khan tak bisa beranak dan meneteki? Namun secara nurture (buatan), dalam masyarakat muncul kebiasaan bahwa perempuan pula yang harus mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, bahkan juga suami dan orang tua. Laki-laki lalu dibuat bekerja di sektor publik. Perempuan di sektor domestik. Ini tak adil. Saya terbiasa memasak, membersihkan rumah, merawat anak, membantu pekerjaan rumah anak, mencuci piring dan seterusnya.

SAPARIAH: Bagi kami, sudah lewat anggapan-anggapan usang yang bias gender itu. Mas itu orangnya asik banget. Dia suka masak, beres-beres rumah. Channel televisi favoritnya aja Travel & Living. Katanya sih buat meningkatkan kemampuan memasak. Asik kan? Sampe-sampe biasa aku panggil dia,” Bu Andreas …”

Bagaimana dengan perbedaan?

SAPARIAH: Aku rasa ga masalah beda etnik. Di keluargaku sering terjadi perkawinan beda etnik. Kakak-kakakku menikah dengan Melayu, Bugis. Ponakan mendapat jodoh orang Cina juga. Kuncinya kan saling menghargai, toleransi. Memang tidak akan semudah mengucapkan. Tapi kami berdua berusaha keras untuk menghidupkan toleransi itu.

ANDREAS: Ini suatu kekayaan. Manusia berkembang bila ia memanfaatkan keragaman budaya demi peningkatan kemanusiaan. Saya biasa memandang orang sebagai individu, bukan identitas sosial, kecuali bila identitas itu dimanipulasikannya sebagai alat untuk menindas orang lain –saya justru akan melawannya. Saya ingin belajar budaya imigran Madura di Borneo.

Kapan memutuskan menikah?

ANDREAS: Ketika Mamak setuju hubungan kami, Mamak mengatakan, ”Makin cepat makin baik.” Saya kira kepercayaan dan restu dari orang tua harus dilaksanakan dengan baik. Saya segera memberitahu Papa dan Mama di Jawa. Papa mengundang Sapariah datang ke Jember. Mama tanya sana-sini lalu memutuskan membuatkan baju pengantin untuk calon menantunya. Mama menjahit sendiri, memasang payet dan sebagainya.

SAPARIAH: Ya, setelah Mamak merestui kami, aku menjadi yakin Mas pilihanku. Kedua keluarga merestui, kami sudah cocok. Lanjut deh menikah.

Siapa yang mengatur uang?

SAPARIAH: Mas kan orangnya boros tuh. Aku juga ha ha ha. Gini, masalah keuangan ini akan kami bicarakan mana baiknya bagi keluarga kami. Kompromi dulu.

ANDREAS: Kami berdua wartawan yang mencoba bekerja dengan jujur. Penghasilannya, ya pas-pasan. Indopahit khan termasuk negara yang menggaji wartawan paling rendah di Asia? Di sisi lain, biaya pendidikan anak sangat mahal. Jadinya, memang serba repot.

Bantuan untuk keluarga?

SAPARIAH: Namanya juga keluarga ya. Kalau kami memang ada uang dan mampu untuk membantu tentu kami akan membantu. Jangankan keluarga kan, orang lain saja kita harus saling bantu.

ANDREAS: Prinsipnya, kami harus adil dalam membantu keluarga besar kami berdua. Keadilan memang sulit diukur. Praktisnya, kami bisa mengukur waktu dan uang yang disediakan kepada keluarga besar. Dua elemen itu bisa diukur. Dalam perkawinan tentu tak semua bisa berjalan fifty-fifty (separuh-separuh). Terkadang kita memberi, terkadang kita menerima.

Apa sikap yang membuat kesal?

SAPARIAH: Ngupil ama garuk-garuk, nyabutin alis dan bulu ketek. Terus, rencananya yang sering banyak sekali. Kan kesel kalau akhirnya ditunda atau ga jadi.

ANDREAS: Sapariah bila kesal, ia lantas menganggap saya manusia setengah dewa yang bisa meramal sumber kekesalannya. Tapi baiknya, Sapariah orang yang menjaga kata-katanya bila sedang marah. Ia memilih diam daripada mengeluarkan kata-kata.

Harapan setelah menjadi pasangan?

SAPARIAH: Tentu langgeng selamanya ya. Saling sayang, cinta, setia dan memahami. Aku mau, kami berdua tidak berubah. Ya, tetap bergurau, saling ledek, saling ’hina’.

ANDREAS: Suatu saat, saya akan meninggal, mungkin sakit-sakitan dulu, mungkin juga mendadak mati. Namun bila saatnya tiba, saya ingin dikenang oleh anak kami, keluarga dan teman-teman kami sebagai suami yang setia mendampingi dan mencintai isterinya. Saya ingin kami berdua –meminjam syair The Alan Parsons Project—bersama-sama menjadi, ”old and wise.” Bersama-sama menjadi tua, bersama-sama menjadi bijak. Alan Parsons cerita tentang bagaimana sepasang cinta menghadapi terpaan hidup bersama-sama.


Foto-foto diciptakan oleh Mohamad Iqbal

Hoakiao dari Jember

Andreas Harsono

Namanya Ong Tjie Liang. Dia satu Hoakiao dari Jember, sebuah kota tembakau di sebelah timur Pulau Jawa. November lalu, menjelang pemilihan gubernur Aceh, saya bertemu lagi dengannya di Hotel Sultan di daerah Peunayong, Banda Aceh.

Saya memanggilnya “Liang.” Dia seorang travel writer. Saya pernah membaca laporannya soal Pulau Weh. Ketika bertemu di Aceh, dia bilang baru kembali dari Merauke di Papua. “Merauke datar, nggak ada pohon tua, semua bangunan baru, abu-abu, nggak ada sejarah.”

“Sabang jauh lebih punya sejarah,” katanya, mengacu pada kota di Pulau Weh.

“Mungkin zaman van Heutsz, Merauke tak sebesar dan seburuk sekarang. Transmigrasi besar-besaran dari Jawa (sejak 1980an) bikin Merauke berkembang tanpa kendali. Welek kabeh.”

Van Heutsz adalah Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz, perwira Belanda yang mengklaim bahwa Belanda menang dalam Prang Atjeh pada 1904 dan lantas memperkenalkan slogan “vom Sabang tot Merauke” atau “dari Sabang sampai Merauke.” Slogan ini belakangan dipakai Presiden Soekarno ketika hendak menduduki Irian Barat pada 1960an. Maka lagu terkenal ciptaan R. Surarjo “Dari Barat Sampai ke Timur” diubah jadi “Dari Sabang Sampai Merauke.”

Liang suka pindah-pindah isi pembicaraan. “Pernah coba makan bubur sapi depan Hotel Katulistiwa di Singkawang?” tanya Liang, ketika tahu saya sering ke Pontianak, tiga jam dari Singkawang. Ketika kenalan kami, Voja Miladinovic dari Sipa Press, butuh alamat di Manado, Liang mengeluarkan telepon seluler dan memberikan beberapa nama orang Minahasa, Sangir maupun Talaud.

Liang pernah menulis soal Hotel Turismo di Teluk Dili. Ini hotel indah, bersejarah, dibangun zaman Portugis. Pada November 1996, militer Indonesia curiga kehadirannya. Di hotel itu ada sekelompok aktivis hak asasi manusia dari Australia dan Irlandia, hendak memperingati penjagalan orang Timor oleh tentara Indonesia di kuburan Santa Cruz, November 1991. “George Toisuta memerintahkan kami semua meninggalkan Dili,” katanya. “Aku satu pesawat dengan orang Irlandia itu.” Toisuta kini panglima Kodam Siliwangi di Bandung. Dulu Toisuta malang melintang di Timor Leste, Aceh dan Papua.

Liang juga bolak-balik ke Ambon dan Ternate ketika apa yang disebut “perang agama” antara Islam dan Kristen bergejolak. Pendek kata, dia sering berada di tempat di mana ada pergolakan. Dia masuk ke basis Gerakan Acheh Merdeka di Pidie tapi juga blusak-blusuk di Biak, Wamena atau Timika. Dia mewawancarai Aung San Suu Kyi di Rangoon tapi juga Jose Ramos-Horta di Vancouver.

Orang yang kenal dia sering bingung dengan perjalanannya. Voja Miladinovic menyebut Tjie Liang, “A good writer who could sense the pulse of Indonesia and put it into words.” Marrissa Haque, seorang artis-cum-politikus, pernah bertanya kepadanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?” Liang tersenyum kecut ketika menunjukkan SMS Marissa kepada saya. “Masak aku dianggep CIA?” katanya.

Saya tertarik mengenal Liang karena ia berbeda dari stereotype Hoakiao di Indonesia. Mereka biasanya dianggap tak suka politik, lebih banyak kerja di bidang bisnis atau kerja sebagai dokter, arsitek, manajer atau pemain badminton. Mereka juga sering dianggap kaya. Licik. Egois. Tidak membaur. Kalau ada masalah melarikan diri. Mereka sering jadi kambing hitam bila terjadi krisis di kepulauan ini.

Saya lebih suka memakai kata “Hoakiao” atau overseas Chinese daripada kata “Cina” maupun “Tionghoa.” Baik “Cina” maupun “Tionghoa” secara linguistik tak membuat pembedaan antara orang macam Liang dengan orang-orang yang ada di daratan Tiongkok.

“Tionghoa” atau “Zhonghoa” artinya “orang (kerajaan) Tengah.” Zhongguo adalah nama Republik Rakyat Tiongkok dalam bahasa Mandarin. Nama “Cina” berasal dari kata dinasti Cin. Nama “Cina” resmi dimaksudkan untuk menghina pada zaman Presiden Soeharto. “Hoakiao” (padanannya “Huaren” maupun “Huayin”) lebih cocok untuk orang macam Liang. Charles Coppel, yang menulis disertasi The Indonesian Chinese in the Sixties: A Study of an Ethnic Minority in a Period of Turbulent Political Change, belakangan memilih menyebut mereka dalam bahasa Inggris “Chinese Indonesian” (bukan Indonesian Chinese). Artinya, mereka lebih “Indonesia” daripada “Chinese.” Novelis Pramoedya Ananta Toer memakai kata “Hoakiao” dalam bukunya Hoakiao di Indonesia. Saya kira panggilan “Hoakiao” lebih cocok walau saya juga tak kaku pada pemakaian “Cina” maupun “Tionghoa.”

Liang menarik sebagai bahan studi kasus karena dia lahir pada 1965 ketika Soeharto mulai naik kuasa dan melarang semua yang berbau Cina maupun Hoakiao. Soeharto membunuh lebih dari tiga juta warga Indonesia. Mereka dianggap komunis. Sekolah-sekolah mereka ditutup. Bahasa Mandarin tak boleh muncul. Ada larangan membawa buku atau cetakan dengan karakter Mandarin. Mereka dipaksa mengganti nama mereka. Mereka tak boleh merayakan Imlek. Mereka harus minta surat kewarganegaraan Indonesia walau mereka lahir di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan sebagainya. Walau mereka lancar bahasa Jawa, Melayu, Madura dan lain-lain, mereka dianggap “keturunan asing.”

Kini sesudah Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya, diskusi soal orang-orang macam Tjie Liang bisa dibicarakan lebih terbuka. Presiden Abdurraman Wahid mengizinkan kebudayaan Hoakiao dipertunjukkan kembali: bahasa Mandarin, tahun baru Imlek, agama Khong Hu Chu dan sebagainya. Saya ingin tahu bagaimana generasi Hoakiao ini memandang dirinya sendiri? Bagaimana generasi yang hilang ini memandang diskriminasi terhadap diri mereka?



Bila Anda naik mobil dari Surabaya menuju Jember, Anda akan menelusuri Sungai Bondoyudo di daerah perkebunan tebu Jatiroto. Sepanjang jalan ada rel dan lori tebu. Ada sawah-sawah. Ini mengingatkan saya pada gambaran perkebunan gula dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya.

Pusat kota Jember biasa disebut “Jalan Raya.” Disana ada macam-macam toko dengan sebuah alun-alun serta dua masjid besar. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, kabupaten Jember punya 2.2 juta penduduk di mana 98.6 persen Muslim. Orang Hoakiao Jember kebanyakan beragama Kristen atau Buddha. Ada sedikit yang beragama Islam. Mereka tinggal di daerah perdagangan, baik di Jember atau kota-kota kecil semacam Kalisat, Ambulu atau Balung. Mereka golongan minoritas. Jumlahnya, saya perkirakan kurang dari 10,000 orang atau kurang dari 0.5 persen.

Penduduk kota Jember kebanyakan bicara bahasa Jawa atau Madura. Bahasa Jawa dialek Jember agak beda dengan Jogjakarta atau Solo. Orang Jember memakai kata “koen” atau “kowe” untuk panggilan orang kedua. Oleh-oleh khas Jember adalah tape (singkong yang diragikan) atau suwar-suwir (manisan dari tape, rasanya empuk-empuk manis).

Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850an ketika George Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Menurut seorang buyutnya, novelis Alfred Birney, George Birnie menikah dengan Rabina, perempuan Jawa, dan mengirim anak-anaknya ke negeri Belanda untuk studi. Salah satu di antaranya adalah Willem Birnie, kakek Alfred Birney.

“Keluarga Birnie dulu keluarga kaya di Jember,” kata Jacoba Jasina Maria Vink, seorang pensiunan guru Jember. Bapaknya, Gerardus Hermanus Vink, tiba di Jember dari Belanda pada 1910 untuk bekerja di Landbouw Maatschapij Oud Djember milik keluarga Birnie. Vink senior menikah dengan perempuan Jawa. Jacoba kelahiran 1918. Dia kenal betul perubahan Jember dari zaman Belanda, Jepang dan Indonesia.

George Birnie juga menanam kopi, coklat, kelapa dan sebagainya. Kehadiran Birnie memancing pengusaha lain ikut membuka perkebunan. Pada 1950an, perkebunan-perkebunan ini disita pemerintah Indonesia dan dijadikan perkebunan negara.

Salah satu toko di Jalan Raya bernama Toko Sinar, milik keluarga besar Ong Tjie Liang. Di sampingnya, ada Toko Juli, milik Ong Seng Hwie, empeknya Tjie Liang (empek dalam bahasa Hokkian artinya “paman tua”). Di kedua toko inilah saya mendapat cerita tentang asal-usul keluarga Liang. Toko-tokonya sangat sederhana. Meja dan almari dari kayu tua. Penerangan redup. Toko Sinar menjual alat listrik. Toko Juli menjual radio dan tape recorder.

Hwie mengatakan orang tuanya bernama Ong Kong Swie dan Yauw Siauw Tja. Swie berasal dari desa bernama Kang Tauw, distrik Bo Chan, daerah Hen Hwa di Hokkian, selatan Tiongkok. “Itu daerah miskin, nggak ada industri,” katanya. Kebanyakan orang Hokkian jadi petani atau nelayan. Kakeknya Hwie bernama Ong Kie Soen. Kuburannya ada di Kang Tauw. Siauw Tja sendiri berasal dari desa Hwi Aua, distrik Bo Chan.

Pada 1925, pasangan ini naik kapal via Xiamen menuju Surabaya. Tujuannya, rumah kakak Swie, bernama Ong Kong Siang, yang membuka bengkel sepeda di Mojokerto, selatan Surabaya.

Swie pun ikut mengelola bengkel. Dia sempat pindah ke Banyuwangi, di mana Hwie lahir pada 1928. Namun pada 1930 mereka kembali ke Mojokerto ketika Siang memutuskan kembali ke Tiongkok. Swie mengambil alih bengkel kakaknya di Mojokerto. Pada 1930, Siauw Tja melahirkan anak laki-laki lagi, diberi nama Ong Seng Hwa.

Pada 1932, Swie memutuskan pindah ke Jember dari Mojokerto. Hwa mengatakan pada saya bahwa empek dan papanya mulanya punya kongsi di Jember. Namun kongsi ini pecah dengan rekan dagang mereka. Swie pun pergi ke Jember guna mengurus bengkel dan toko sepeda bernama “Han Gwan Hin.”

Waktu itu, Jember berkembang pesat berkat perkebunan dan pertanian tembakau. Keluarga Birnie membuka jalur lelang tembakau langsung di Amsterdam. Toko “Han Gwan Hin” ikut berkembang dalam pertumbuhan ekonomi ini. Belakangan saudara misan Swie, bernama Ong Kong Ling, ikut menyusul ke Jember dan membuka home industry kembang tahu. Kelak kedua keluarga Ong ini memiliki ratusan keturunan di Jember. Namanya manusia, mereka kawin campur, dengan orang Hakka, Jawa, Madura dan sebagainya. Agamanya juga macam-macam, dari Khong Hu Chu sampai Islam.

Bagaimana menerangkan keluarga pendatang ini di Pulau Jawa? Leo Suryadinata dalam buku The Culture of the Chinese Minority in Indonesia membuat dua kategori orang Hoakiao: peranakan dan totok. Dua kategori ini mulai muncul pada awal abad XX ketika migrasi orang Cina ke Jawa meningkat.

Menurut Suryadinata, kaum peranakan atau babah kebanyakan tak menguasai bahasa etnik mereka, entah Hokkian, Hakka atau Teochiu. Ada sedikit yang bisa bahasa Mandarin, satu dari lima bahasa resmi Perserikatan Bangsa-bangsa. Mereka relatif tinggal lebih lama di Pulau Jawa. Mereka mengirim anak-anaknya ke sekolah dengan kurikulum Belanda. Orientasi kewarganegaraan mereka adalah Belanda. Mereka bekerja sebagai profesional, dokter, arsitek, penulis dan sebagainya.

Misalnya, anak George Birnie, Willem, sesudah berpisah dari isteri Belandanya, kawin tanpa ikatan pernikahan resmi, dengan seorang perempuan peranakan bernama Sie Swan Nio. Mereka punya lima anak, semuanya lahir di Surabaya, antara 1912 dan 1925. Ayah novelis Alfred diberi nama Adolf Sie. Dia seorang peranakan Indo-Tionghoa.

Beda dengan peranakan, kaum totok orientasinya ke Tiongkok. Anak-anak totok sekolah bahasa Mandarin. Mereka juga menguasai bahasa Mandarin atau bahasa etnik. Agamanya kebanyakan Khong Hu Chu. Ini berbeda dengan kaum peranakan yang cukup banyak beragama Katholik atau Protestan. Pekerjaan totok kebanyakan berdagang. Keluarga Ong adalah keluarga totok. Mereka memelihara rumah abu moyang mereka. Mereka memakai dua bahasa: Hokkien dan Melayu. Di Jember, Siauw Tja melahirkan lima anak lagi sehingga total ia memiliki lima putra dan tiga putri. Anak-anak ini bisa bahasa Madura dan Jawa.

Menurut Hwie, papanya berwatak sedikit keras. “Kerja apa saja mau dia. Seperti becak, itu khan kerjaan nggak enak. Dia bisa berhasil kerja,” kata Hwie. Belakangan Swie menjadi juragan becak.

Pada 1936, Siang meninggal dunia di Tiongkok. Pada awal 1941, Swie pergi ke Tiongkok untuk urusan keluarga kakaknya. Ketika suaminya pergi, Siauw Tja hamil anak bungsu mereka. Anak ini lahir pada 18 November 1941 dan dinamai Ong Seng Kiat. Dialah yang kelak menjadi ayah Ong Tjie Liang.

Beberapa bulan sesudah kelahiran Seng Kiat, Jepang menyatakan ikut Perang Dunia II dengan menyerang pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Jepang segera menduduki Asia Tenggara. Kehidupan ekonomi dan sosial di Hindia Belanda porak-poranda. Di Jember, bahan makanan dan pakaian sulit sekali didapat. Perkebunan banyak tak berjalan karena banyak pegawai administrasi ditangkap Jepang.

Jacoba Jasina Maria Vink mengatakan bahwa bapaknya meninggal dalam tahanan (intern) Jepang di Ambarawa, dekat Jogjakarta. Rumah mereka dirampas “pemuda” –maksudnya milisi Indonesia. Jacoba Vink dan saudara-saudaranya ditahan bersama sekitar 300 orang Belanda di Kotok, sebuah perkebunan dekat Jember. “Besar sekali sentimen terhadap orang Indo,” kata Jacoba.

“Kalau sini jalan, nggak punya sepatu dimakan rayap. Mau jalan ke gereja dibilang, ‘Oh iku senuk Jepang,’” kata Vink, artinya, “Oh itu pelacur Jepang.”

Yauw Siauw Tja bekerja keras menghidupi ketujuh anaknya. Putri sulungnya kebetulan sudah menikah dan tinggal di Banyuwangi. Menurut Ong Seck Nio, adiknya Hwa, mama mereka membuat kue keranjang dan telor bebek asin. Remaja Hwie berjualan ikan asin di daerah Puger, sebuah perkampungan nelayan. Hwa dan Seck Nio berjalan kaki menjajakan telor asin dan kue keranjang. “Jalan sampai Patrang,” kata Seck Nio kepada saya. Patrang waktu itu daerah pinggiran kota Jember.

Hwa dan Seck Nio juga harus membantu mengasuh adik-adik mereka, yang masing-masing hanya terpaut satu tahun. Pada 1945, ketika Seck Nio berumur 13 tahun, dia diminta ikut kakaknya, Ong Seck Eng, pindah ke Banyuwangi, mengasuh anak-anak Seck Eng.

Perang Dunia II membuat hubungan kapal laut antara Tiongkok dan Jawa terputus. Pada Agustus 1945, Soekarno dan Mohamad Hatta, dua tokoh nasionalisme Indonesia, menyatakan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Belanda tidak terima. Belanda dan Indonesia berunding, diwarnai perselisihan militer, hingga 1949, ketika Hatta menerima penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat di Den Haag.

Ong Kong Swie tak bisa keluar dari Tiongkok untuk kembali ke Jember. Dia menikahi janda kakaknya di Tiongkok. Baru pada 1948, ketika suasana perang pelan-pelan mereda, Swie naik kapal ke Medan lalu kereta api ke Jakarta dan Surabaya. Seng Kiat pertama kali menjemput papanya pada umur tujuh tahun. “Dia takut pulang ke Jember, punya salah,” kata Seng Kiat.



Ong Seng Kiat tumbuh dewasa di Jember. Dia pandai bergaul, suka bergurau, suaranya besar dan punya banyak sekali kenalan –Hoakiao, Hakka, Madura, Jawa, Osing dan sebagainya. Dia bisa bahasa Melayu, Jawa, Madura, Mandarin, Hakka dan Hokkian. Nama “Seng Kiat” –banyak orang susah mengeja nama-nama Hoakiao— secara alamiah disederhanakan dalam pergaulan menjadi “Sengkek.”

Sengkek sempat mengecap bangku sekolah menengah di Surabaya namun kelas dua sudah keluar. “Ngerpek (mencontek) ketemu diusir,” kata Sengkek. Sengkek dikeluarkan dari sekolah bersama kakaknya, Seng Hay, yang lebih tua setahun. Kakak sulungnya, Hwie, menyayangkan adik-adiknya tak sekolah dengan benar. Dia mengatakan pada saya bahwa wajar bila anak-anak tertua --macam dirinya, Hwa dan Nio-- sekolahnya kacau karena zaman perang. “Mama terlalu memanjakan anak-anaknya,” kata Hwie, mengeluh soal adik-adiknya.

Pada 5 Maret 1963, Ong Kong Swie, setelah 15 tahun kembali hidup di Jember, meninggal dunia. Sengkek menikahi tunangannya, Tjen Ie Lan, seorang perempuan Hakka, di depan peti jenasah papanya. Sengkek percaya lebih baik menikah depan jenasah orang tua daripada menunda pernikahan. Swie dimakamkan di kuburan orang Hoakiao di Kaliwates, Jember. Sengkek memutuskan berdagang alat-alat listrik, mengubah nama “Han Gwan Hin” menjadi Toko Sinar. “Modal cuma Rp 137,500,” kata Sengkek.

Tjen Ie Lan, isteri Sengkek, seorang perempuan kelahiran Kalisat tahun 1943. Orang tuanya, Tjen Tek Jong dan Tan Bing Lien, berasal dari distrik Ta Bu, provinsi Hakka di Guang Dong, selatan Tiongkok. “Kebanyakan disana soro (sengsara), ke Jawa cari kehidupan baru,” kata Tjen Ie Ing, kakak perempuan Ie Lan, kepada saya.

Alasan klasik. Para imigran di seluruh dunia, dari Amerika hingga Afrika, mencari penghidupan lebih baik ketika suasana di kampung halamannya susah. Ketika masih berumur belasan tahun, Tek Jong berangkat dari Guang Dong menuju Hongkong. “Agak lama di Hongkong, terus Singapore lalu Jakarta,” kata Ie Ing.

Pada 1924, ketika baru berumur 17 tahun, Tek Jong tiba di Surabaya dan memutuskan berdagang di daerah perkebunan tembakau di Kalisat, dekat Jember. Dia juga mengundang ayahnya datang ke Kalisat namun si ayah tidak kerasan dan kembali ke daratan Tiongkok.

Sepuluh tahun di Kalisat, Tek Jong “mengimpor” calon isteri dari Tiongkok lewat bantuan seorang mak comblang. Tan Bing Lien baru berumur 19 tahun ketika tiba di Kalisat. Dia juga baru pertama kali bertemu calon suaminya. Perempuan ini mungil, biasa kerja keras, anak yatim. Mereka menikah dan dikarunia dua putra dan dua putri.

Ada seseorang yang membuat perubahan besar dalam keluarga Tjen dan kelak pada kehidupan Tjie Liang. Pada 1939, sebuah gereja Pantekosta di Surabaya mengundang seorang penginjil dari Tiongkok. Namanya, Dr. John Sung, yang terkenal di daratan Tiongkok dan Asia Tenggara.

John Sung sebelumnya kuliah di Wesleyan University di Ohio, Amerika Serikat, lalu meraih Ph.D. di bidang kimia di Ohio State University. Dia mahasiswa cerdas. Gelar master dan doktor dicapainya hanya dalam 30 bulan. Namun kehidupan John Sung makin hari makin kristen. Dr. John Sung lalu memutuskan kuliah theologi di Union Theological Seminary di New York. Namun dia tak suka dengan pendekatan ilmiah di sekolahnya. Agama kok dilihat dengan nalar? Pada 1927, dia pulang ke Tiongkok. Di kapal, dia terus-menerus berdoa, akhirnya memutuskan membuang semua ijasah, sertifikat dan medali penghargaannya ke laut. Walau bisa membangun karir dan menjadi kaya raya sebagai pejabat dalam birokrasi Kekaisaran Tiongkok, John Sung memutuskan jadi pengkhotbah miskin.

Caranya berkhotbah tergolong spektakuler. Dia menyanyi, berkhotbah, menangis, berkhotbah, menyanyi, biasanya selama dua jam, tiga kali sehari! John Sung pernah membawa peti mati ke dalam gereja, lalu berteriak, “Cari uang, cari uang, angkat peti mati ini.” John Sung pun lantas masuk ke dalam peti. Maksudnya, dia mengkritik orang Cina yang cuma cari uang, lupa urusan agama dan kematian. Cara-caranya berkhotbah menimbulkan sensasi. Di Surabaya, dia mempengaruhi banyak orang Hoakiao, termasuk suami-isteri Tek Jong dan Bing Lien, masuk agama Kristen.

Ie Lan lahir ketika orang tuanya sudah Kristen. Dua tahun sesudah menikah, Ie Lan melahirkan putra sulungnya, Ong Tjie Liang. Mereka tinggal di sebuah rumah dalam sebuah gang sempit. Sengkek sibuk mengelola Toko Sinar. Ie Lan jadi ibu rumah tangga sekaligus membantu suaminya di toko.

Tiga minggu sesudah kelahiran Liang, pada 1 Oktober 1965, sekelompok tentara dari Divisi Diponegoro dan Tjakrabirawa, menculik dan membunuh beberapa jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Para penculik diduga perwira-perwira binaan Partai Komunis Indonesia. Maka Jenderal Soeharto memimpin suatu penumpasan golongan kiri, yang termasuk paling berdarah di dunia. Pulau Jawa banjir darah! Antara dua hingga tiga juta orang dibunuh tanpa lewat proses pengadilan. Di Jember, belasan orang mengatakan pada saya bahwa mereka sering melihat mayat mengapung di sungai. Banyak mayat tanpa kepala.

Suasana chaos. Ie Lan mengungsi sementara ke Surabaya. Sengkek sering meninggalkan Ie Lan sendirian di rumah. Sengkek ternyata juga sering memukul Ie Lan bila bertengkar. Ie Lan mengatakan pada saya bahwa dia merasa “lahir baru dan percaya Yesus” pada periode ini. Dia berubah dari orang Kristen formal menjadi Kristen Lahir Baru. Ie Lan lantas rajin pergi ke gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tjong Hwee cabang Jember. Ini sebuah gereja Hoakiao, didirikan sejak zaman Belanda, dengan nama Bond Kristen Tionghoa. Ie Lan rajin membantu pekerjaan gereja.

Pada awal 1970an, Soeharto sudah membungkam semua lawan politiknya. Ratusan ribu aktivis kiri diasingkan di Pulau Buru. Amerika Serikat dan Inggris diam saja melihat pelanggaran demi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Mereka menganggap Soeharto sekutu penting mereka dalam menghadapi komunisme. Soeharto membuka pasar Indonesia terhadap modal Barat. Freeport McMoran membuka tambang raksasa di Papua. Ekonomi tumbuh. Geliat ekonomi ini juga membuat perkebunan-perkebunan Jember bergerak lagi. Lelang tembakau pindah dari Amsterdam ke Bremen, Jerman. Sengkek dan Ie Lan membeli sebuah rumah besar kolonial Belanda. Kehidupan mereka pun mulai makmur. Ada mobil, liburan ke pantai, punya villa di gunung, makan-makan dan sebagainya.

Namun Soeharto memperkenalkan pendekatan baru terhadap apa yang disebutnya “masalah Cina.” Dia hendak menciptakan berbagai macam aturan. Intinya, tiga buah pilar kebudayaan Hoakiao akan dipangkas: media berbahasa Mandarin, sekolah-sekolah Hoakiao serta organisasi sosial dan politik kaum Hoakaio.

Mulanya, sesudah Indonesia berdaulat, ada dua aliran pemikiran di kalangan tokoh Hoakiao tentang posisi Hoakiao. Indonesia sudah jadi negara merdeka. Belanda sudah tak kuasa di Batavia lagi. Tiongkok adalah tanah leluhur tapi bukan tanah air mereka.

Aliran pertama, mempromosikan kebijakan “integrasi” dimana orang Hoakiao tetap bebas memiliki kebudayaan mereka. Nama Hoakiao macam Ong Tjie Liang bisa tetap dipakai. Agama Khong Hu Chu, sekolah bahasa Mandarin dan sebagainya sah dipertahankan. Aliran ini didukung oleh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dengan tokoh Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien. Baperki gencar mengkritik berbagai kebijakan politik “asli” yang tumbuh subur di Pulau Jawa dan Sumatra sejak awal 1950an. Baperki berpendapat, dalam kebangsaan sejati, setiap warga punya hak dan kewajiban sama, tanpa pandang bulu etnik atau agamanya.

Aliran kedua bicara soal “asimilasi” atau “pembauran” dimana orang Hoakiau dianjurkan ganti nama. Mereka ingin kebudayaan Hoakiao membaur dengan apa yang disebut “penduduk asli.” Tujuannya, kaum minoritas Hoakiao kelak tak lagi akan menjadi suatu kelompok 
tersendiri. Organisasinya bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Tokoh-tokohnya, K. Sindhunata, Junus Jahja, P.K. Ojong, Onghokham, Harry Tjan Silalahi dan Soe Hok Gie.

Debat ini lalu campur baur dengan politik. Baperki mendekat ke Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Yap Thiam Hien tak setuju dengan kebijakan ini. Dia keluar dari Baperki. LPKB mendekat ke golongan kanan dan militer. Ketika Soeharto menghancurkan golongan kiri dan Soekarnois, tak ayal lagi, Soeharto juga menumpas Siauw dan kawan-kawannya. Ratusan sekolah Hoakiao ditutup. Kebudayaan Hoakiao dilarang. Mereka disuruh untuk ganti nama. Bahasa Mandarin dilarang. Anak Hoakiao dibatasi untuk masuk ke birokrasi, militer dan universitas. Kelenteng-kelenteng Khong Hu Chu diganti jadi vihara Buddha. Soeharto juga minta semua orang Hoakiao memiliki surat kewarganegaraan Indonesia. Surat-surat ini, dari surat ganti nama hingga kewarganegaraan, kelak jadi ajang pemerasan.

Namun Soeharto menekankan kebijakannya pada pembangunan ekonomi. Selama Soeharto berkuasa, muncul beberapa ratus konglomerat. Kebanyakan pengusaha Hoakiao. Kesannya, Hoakiao adalah sekutu Soeharto. Media membantu menciptakan kesan bahwa semua orang Hoakiao kaya dan segelintir konglomerat itu –termasuk Sudono Salim Prajogo Pangestu, Bob Hasan-- adalah "wakil" masyarakat Hoakiao. Kebencian terhadap Hoakiao terkadang muncul dari pembantu-pembantu Soeharto lewat media dan militer. Ada menterinya bilang bahwa jumlah orang Hoakiao hanya tiga persen di Indonesia, namun menguasai 90 persen ekonomi Indonesia. Kemiskinan pun disalahkan pada golongan Hoakiao.

Debat “integrasi” versus “asimilasi” itu, tentu saja, tak melibatkan Hoakiao Jember. Kebanyakan Hoakiao Jember tak terlibat politik. Mereka super minoritas. Namun dampaknya terkena juga. Antara 1965 dan 1966, rezim Soeharto merampas sekolah-sekolah Mandarin di Jember. Toko-toko Hoakiao ada yang diambil. Pada 1971, Sengkek mengambil keputusan mengganti namanya. Dia menemui seorang guru Jawa, kenalannya di Jember, untuk dicarikan nama Jawa. Ratusan Hoakiao lain juga mengganti nama mereka.

Sekolah Mandarin sudah ditutup ketika Liang kecil mulai sekolah. Sengkek dan Ie Lan mengirim Liang ke sekolah Katholik. Ie Lan sebenarnya kurang suka pada ajaran Katholik. Dia menganggap orang Katholik “menyembah patung” –ini tuduhan khas orang Protestan terhadap patung Bunda Maria. Tapi SD Katholik Maria Fatima termasuk sekolah terbaik di Jember. Sengkek suka karena sekolah ini disiplin.

Suatu pagi, kelasnya Liang pergi main sepak bola di alun-alun. Liang ternyata tidak ada. “Aku lihat dia duduk di bawah pohon, baca buku,” kata Ie Lan, mengenang masa kecil anak sulungnya. Salah seorang guru Liang, tak lain tak bukan adalah Jacoba Maria Vink, orang Indo-Belanda, yang kebetulan juga tetangga Sengkek. “Aku bangga ketika ujian, murid-muridku dapat nilai 10 semua,” kata Vink.

Saya beruntung Liang mengizinkan saya membaca semua buku harian miliknya. Liang rutin menulis kegiatannya, hampir setiap hari, sejak berumur 12 tahun ketika dia melanjutkan di SMP Katholik Maria Fatima. Buku harian ini menggambarkannya sebagai anak biasa, suka main basket (Rabu-Jumat) dan badminton (Selasa-Kamis). Suka nonton bioskop, entah di gedung Jaya, Kusuma atau Sampurna. Dia mencatat judul-judul film tontonannya: Special Magnum, Jalal Kawin Lagi, Savage Weekend, Midnight Express, Killer Dogs, Inem Pelayan Sexy, Game of Death. Buku-buku bacaannya mulai serius. Dia membaca biografi Soekarno, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, John Sung, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie.

Setiap pagi dia sekolah, siang menjaga toko, sore main basket, malam nonton bioskop. Dia terkesan ketika nonton final World Cup di televisi hitam-putih antara kesebelasan Argentina dan Belanda di Buenos Aires pada 1978. Ini siaran langsung pertama World Cup di Pulau Jawa. Argentina, dengan jagoannya Mario Kempes, menang 3-1.

Liang sering menyebut nama keempat adiknya: Jinjin, si kembar Tantan dan Chenchen serta Bingbing. Mereka sering main bersama: kejar-kejaran, petak umpet, debukan dan lain-lain. Debukan< adalah permainan tradisional anak-anak Jember. Intinya, sebuah bola kasti dipakai untuk melempar pemain. Pemain yang kena lempar harus mendebuk pemain lainnya. Kegemaran Liang adalah memelihara ikan, burung berkicau dan merpati. Dia mencatat kapan beli uget-uget (makanan ikan) atau kroto (makanan burung). Dia punya lebih dari dua lusin burung.

Ketika umur 13 tahun, dia mencatat bahwa dia mulai les bahasa Inggris setiap sore (Senin-Rabu-Jumat) di Hur’s English Course. “22 Mei 1979: pakai celana panjang pertama kali,” tulisnya. Dia bangga. Maklum bila sekolah, murid-murid masih pakai celana pendek. Namun suatu saat, dia terlalu cepat menutup ritssluiting celana sehingga “burungnya” terjepit. Sakitnya minta ampun. Butuh waktu sekian menit untuk pelan-pelan membuka kembali ritssluiting itu. Untung “burung khusus” itu tidak berdarah.

Ada juga kisah sedih. Pada 1979, hubungan Ie Lan dan Sengkek makin jelek. Sengkek terlibat affair dengan Winarti, seorang guru Jawa Protestan, yang mengajar di sekolah milik Kie Tok Kauw Tjong Hwee. Ie Lan memutuskan pergi sementara ke Lawang, dekat Malang, untuk menenangkan diri dan belajar theologi di Institut Theologi Alkitab.

Sengkek menikahi Winarti. Ie Lan tak berani menggugat cerai mengingat lima anaknya. Ironisnya, Ie Lan dan Winarti hamil bersamaan. Ie Lan melahirkan anak bungsunya, Ie-ie, pada 1979 dan Winarti melahirkan Deasy pada 1980. Liang menemani mamanya ketika melahirkan adik bungsu. Sengkek tak menengok bayinya. Winarti tinggal di villa mereka di Rembangan, daerah peristirahatan dekat Jember. Liang dan adik-adiknya tinggal di Jember.

“Mama pergi dengan Bingbing. Saya menangis jika memikirkan ini. Untuk melupakan, saya bermain debukan,” catat Liang.

Sengkek juga pernah memukul anak-anaknya. “Saya dipukul Papa sebab salah beli cat tembok. Teguh ganti Rp 1,150,” tulisnya. Teguh adalah Teguh Sugianto, seorang pegawai Toko Sinar. Namun Liang juga memukul adik-adiknya.

Dalam buku hariannya, Liang sering mencatat keakrabannya dengan beberapa karyawan papanya termasuk Teguh, seorang yatim piatu, lelaki Hoakiao asal Pekalongan, kulitnya gelap sekali. Ada juga Sapek atau Man Tuka, seorang tukang listrik Madura. Ada juga Mbek Wi, perempuan Madura kelahiran Kalisat. Bek Wi, seorang janda, merawat Liang dan adik-adiknya, dari bayi hingga dewasa. Man Tuka dan Bek Wi bekerja sejak Liang belum lahir hingga pensiun. Mereka sering tak tega melihat anak majikannya dipukul hanya karena salah kecil. Ada juga Pak Ti, orang Jawa, pendiam, khusus menangani burung dan ayam peliharaan. Liang mencatat bahwa Bek Wi selalu mengerokinya bila ia sakit. Liang terbaca suka sekali pada Man Tuka dan Bek Wi.

Pada 7 Maret 1981, Liang mengisi buku hariannya: “Waktu selesai ujian teori seni suara, saya mau mengambil sepeda di tempat sepeda. Ada sebuah kaleng bekas tempat susu (kental). Kaleng saya tendang, tanpa saya ketahui bahwa ada Pak Moel (guru sejarah Aloysius Moeljoto).”

“Saya kemudian dipanggil. Ditanya: Tahu aturan atau tidak?”

“Saya jawab, ‘Tahu.’ Tiba-tiba saya ditempeleng dan hilanglah kacamata saya hancur berkeping-keping.”

“Kemudian dia menarik saya masuk dalam kelas. Kemudian dia berkata, “Pecah atau tidak naik kelas?”

“Saya menangis, saya tentu menjawab pecah. Tapi pulangnya, hati saya berontak.” Moeljoto mengancam Liang tidak naik kelas bila melaporkan kejadian itu.

Dua hari kemudian, Suster Maria Anneti, kepala sekolah SMP Maria Fatima, memanggil Liang ke ruangnya. Liang menulis, “Di kantor, suster bertanya soal kemarin dulu. Dia mengatakan bahwa menurut Pak Mul, anjing itu, ia hanya akan menyentuh kepala saya untuk menjorokkan saya. Tapi bersamaan dengan itu saya bergerak.”

“Saya bantah dengan mengatakan bahwa kacamata saya jatuh kurang lebih tiga meter dari tempat berdiri. Suster tetap mengatakan bahwa saya tetap bersalah karena menendang kaleng.”

Inilah pertama kali Liang merasakan ketidakadilan. Seorang guru memukul murid lalu berbohong. Ada lebih dari 40 murid melihat namun tak ada satu saksi pun ditanyai. Suster Anneti membela Moeljoto. Liang pun memutuskan membalas dengan caranya sendiri. Hari itu, dia memecahkan kaca toilet sekolah dengan tangannya sendiri!

Saya sedih membaca buku-buku harian Liang periode 1979-1982, sesudah pernikahan kedua Sengkek. Dia jadi anak yang sering merasa tertekan. Dipukul papanya sendiri, dipukul gurunya sendiri. Buku-bukunya penuh dengan detail. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa buku harian inilah tempat latihan Liang berlatih menulis pertama kali. Dia memaki Moeljoto dan Sengkek dengan kata-kata yang kasar. Namun dia juga menulis puisi dalam bahasa Melayu maupun Inggris. Ketika pergi ke Jember, saya hendak menemui Moeljoto, ternyata dia meninggal terkena stroke Juni 2004.

Pada 1982, ketika Liang lulus sekolah, Ie Lan mengambil keputusan penting. Dia membujuk suaminya mengirim Liang ke sekolah Katholik di Malang. Namanya, SMA Katholik Sint Albertus. Ie Lan menitipkan Liang kepada teman dekatnya, sebuah keluarga Hoakiao asal Samarinda, yang punya rumah di Malang dan Lawang.



Sint Albertus sebuah sekolah Katholik milik Ordo Carmel. Ia didirikan 1936 oleh pastor-pastor Belanda. Bangunannya jauh lebih besar, lebih tua dan lebih elegan dari sekolah-sekolah di Jember. Waktu Liang masuk, sekolah ini dipimpin E. Siswanto, seorang pastor Jawa, biasa dipanggil "Romo Sis" –seorang legenda dalam dunia pendidikan. Sekolah ini juga dikenal dengan nama SMA Dempo karena terletak di Jalan Dempo. Alumni sekolah ini cukup beragam. Ada novelis Y.B. Mangunwijaya, tapi juga Jenderal Rudini, mantan kepala staf Angkatan Darat Indonesia.

Ie Lan mengantar Liang mondok di rumah keluarga Joseph Kumala: Jl. Argopuro 25, Lawang. Liang sedih meninggalkan orang tua, adik-adik dan teman-temannya di Jember. Ketika Ie Lan pulang ke Jember, Liang mengantar ke pintu gerbang. Lalu Liang masuk ke kamar dan menangis sendirian.

Usia Liang baru 16 tahun. Dia belum pernah sekali pun tinggal jauh dari keluarga. Dia merasa sedih meninggalkan mamanya, yang sering bertengkar dengan papanya. Keluarga Kumala menyediakan sebuah kamar kecil, 1.5x2 meter, mungkin bekas gudang. Kamar bersih. Ada ranjang besi dan lemari pakaian mungil. Halaman rumah luas. Ada sekitar dua lusin pohon buah. Tante Kumala suka menanam bunga.

Namun perlahan-lahan Liang mulai menyukai sekolah baru ini. Jalan Dempo sebuah kawasan peninggalan Belanda. Banyak pohon-pohon dan jalan, yang aman untuk anak-anak sekolah berjalan setiap pagi dan siang.

Setiap pagi, sekitar pukul 6:00, Liang diantar mobil ke Malang. Mobil Colt Mitsubishi itu juga dipakai untuk antar jemput anak sekolah. Keluarga Kumala punya rumah di Malang. Liang lebih sering tinggal sendirian di rumah Lawang.

Beberapa bulan kemudian, satu keluarga missionaris dari Pusan, Korea, Han Soong In, ikut tinggal di rumah besar ini. Han dosen Institut Theologi Aletheia, tempat mamanya pernah kuliah, yang terletak hanya lima rumah lagi dari rumah Kumala. Keluarga Han punya dua anak kecil.

Aneh juga, Liang menumpang di rumah orang, lalu ada keluarga Korea menempati rumah utama. Kikuk juga. Liang tak tahu banyak soal pergaulan. Pengalaman itu membuat Liang belajar banyak. Bagaimana harus membawa diri? Bagaimana berhadapan dengan orang yang latar belakangnya berbeda? Bagaimana belajar toleran?

Di Lawang, Ie Lan mengantar Liang ke Gereja Kristus Tuhan, nama baru gereja Kie Tok Kauw Tjong Hwee, yang tentu saja, juga harus ganti nama. Gereja ini hanya terletak empat rumah dari pondokannya. Liang bahkan pernah jadi ketua perkumpulan pemuda gereja ini.

Liang jatuh cinta pada perpustakaan sekolah. Liang mulai meminjam buku-buku yang kelak ternyata mempengaruhi caranya memandang dunia. Novel kesukaannya, karya Albert Camus, Pearl S. Buck dan Somerset Maugham. Semua karya-karya klasik dibaca. Dia juga tertarik pada Perang Vietnam. Foto-foto perang tersebut sangat mengesankannya. Namun juga ada roman picisan. Dia menguasai bahasa Inggris, cukup guna membaca novel-novel itu.

Suatu hari, Romo Sis mengumumkan di loud speaker bahwa mulai bulan lalu dipilih murid, yang paling banyak meminjam buku perpustakaan. Murid tersebut akan diberi penghargaan. Dia menyebut nama Liang sebagai peminjam buku terbanyak. Liang terkejut. Pengumuman itu sangat mengesankan dirinya. Guru-guru, wali kelas dan teman-temannya memberi ucapan selamat.

Minat Liang sebenarnya pada ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Namun awal 1982, Liang hanya seorang remaja yang tak tahu banyak tentang luasnya dunia. Liang kesepian dan tak banyak yang dikerjakan di luar sekolah dan gereja. Liang hanya berpikir menurut kebanyakan temannya. Murid pandai harus masuk ilmu alam.

Maka Liang pun masuk jurusan ilmu alam. Ini keputusan yang tak tepat. “Aku tidak menyesal masuk jurusan ilmu alam tapi terkadang aku pikir bagaimana hari ini bila sejak sekolah menengah memilih ilmu sosial?” katanya.

Liang suka ikut kegiatan olah raga. Buku hariannya mencatat dia bermain basket dan saat kelas dua jadi pengurus klub olah raga sekolah. Tanggungjawab ini dipegangnya hingga lulus. Setiap minggu, minimal dua sore, Liang berurusan dengan lapangan basket. Namun kadang-kadang, diajak ikut acara aneh-aneh. Liang pernah ikut lomba topeng, didandani macam make up kelompok musik Kiss. Pada Hari Kartini, dia ikut lomba “Parade Bencong” –didandani jadi perempuan. Teman-temannya tak sadar kalau “perempuan” di pentas itu adalah Liang. Ingrid Dwiyani bercanda menyebutnya, “Anggun dan cantik.”

Liang juga suka menyanyi. Dia membentuk sebuah kelompok musik. Mereka membawakan lagu-lagu Rod Steward, Kiss, Deep Purple, Queen dan sebagainya. Andy Purwadi, seorang teman kelas, jagoan gitar. Ada juga Tjandra Anggono jadi motor kelompok. Christian Johan main gitar dan Agustinus Simply Satu main piano. Liang jadi penyanyinya.

Liang mengatakan pada saya bahwa dia suka sekali dengan SMA Dempo. Dari semua sekolah yang pernah diikutinya, dari taman kanak-kanak Tjahaja di Jember pada 1970 hingga Universitas Harvard di Cambridge pada 1999, Liang merasa periode Dempo adalah saat yang meninggalkan banyak kenangan manis.

“Tak ada satu pun guru yang menyakiti kami,” katanya. Terkadang murid dihukum karena tidak kerja pekerjaan rumah atau bolos. Hukumannya, disuruh menulis banyak sekali sesudah jam sekolah selesai. Misalnya, "Saya berjanji tidak akan bolos lagi." Romo Sis sendiri yang menghukum murid. Romo Sis sering memanggil orang tua murid. Ini kebijakan baik sehingga tak semua guru berhak memberikan hukuman.

Romo Sis tak pernah memakai pemaksaan. Dia mengajak murid atau guru bicara. Itupun orang sudah merasa nervous. Liang merasa jadi murid yang agak diperhatikan karena keluarganya pecah. Ada guru bimbingan psikologi yang sering jadi tempatnya konsultasi.

Pelajaran yang paling disukai adalah Sejarah. Liang pernah menulis makalah soal Soekarno, nasionalisme dan masa mudanya. Makalah itu dipuji guru dan sempat dipamerkan sekolah. Liang tak suka Fisika, Kimia dan Matematika. Tapi bahasa Inggris selalu bagus. Liang masih mengambil les bahasa Jerman. Pelajaran mengarang atau menulis buat majalah sekolah juga disukai. Tapi Liang belum banyak menulis. Lebih sibuk dengan basket, menyanyi dan belajar.

Liang belakangan diberi sepeda motor Suzuki oleh Sengkek. Liang lebih leluasa bergerak. Beberapa kawan menganggapnya sebagai anak yang bandel, pendiam tapi berani menentang arus. Liang pernah menaiki sebuah tumpukan loud speaker, ketika menyanyi dalam sebuah konser sekolah. Norak sekali. Tapi ya masa remaja. Masih mencari kepribadian. Masih mencari perhatian orang. Dia pernah membuat puisi dan menamakan rekan-rekan dan dirinya “sekerumun anjing liar.”

Kami adalah sekerumun anjing liar yang paling perkasa
Berpacu dari armagedon hingga kelam
Kami berlari tanpa menjadi letih
Kami berjalan tanpa menjadi lesuh

Kami pahlawan tanpa nama
Bertaruh dengan kehampaan nyata hingga keping-keping kami yang terakhir
Menangis untuk kemenangan dan tertawa untuk sebutir kekalahan


Pendek kata, Liang senang sekali dengan sekolah ini. Entah kenapa. Mungkin Liang masih remaja. Cinta pertamanya terjadi di Lawang. Liang jatuh cinta pada teman gereja, lebih muda dua tahun. Namanya Phoa Hwie Eng. Liang memanggilnya Fe En.

Tapi cinta monyet. Pegangan tangan saja tidak pernah. Liang sering pergi ke rumah Fe En, cerita aneh-aneh dan membual. Liang tak punya uang banyak. Keuangan keluarganya mulai sulit sesudah Sengkek menikah lagi. Dia sering bertengkar, minat bekerja menurun. Kemana-mana Liang naik kendaraan umum. Liang menderita sekali dengan asap rokok. Sementara Fe En sudah mengendarai mobil sendiri.

Ketika kelas dua, Liang pindah ke Malang, kost di sebuah rumah di Jalan Widodaren. Hubungan itu pun merenggang. Fe En memutuskan hubungan mereka. Fe En mengirim kartu Natal dan bilang, "Maafkan aku." Liang merasakan sakit hati pertama kali. Saya agak geli membaca catatan-catatannya, konyol, remaja jatuh cinta. “Aku nggak tahu dimana dia sekarang. Pasti sudah lain,” kata Liang, tersenyum.

Maka Liang lebih sering bermain dengan teman-teman sekelas. Belajar bersama, makan bakso, diskusi dan sebagainya. Setiap kali ada waktu libur, Liang kembali ke Jember dan bermain-main dengan adik-adik dan saudara-saudara jauh.

Menariknya, Malang juga membuatnya mulai menjauh dari kehidupan gereja --sebuah praktek yang belakangan jadi kebiasaannya, kurang suka berdekatan dengan institusi agama apapun. “Aku lihat bagaimana satu pendeta tua, gendut, main perempuan. Aku juga kenal isteri missionaris yang culas. Aku kenal dekat dengan satu perempuan, ketika remaja, diperkosa seorang pastor. Dan aku banyak mengetahui kyai, juga main perempuan,” katanya.

Pada pertengahan 1984, Liang lulus dari Dempo dengan nilai lumayan. Sengkek menanyainya ingin kuliah dimana? Liang menjawab, “Boston College of Music.” Dia ingin jadi pemusik. Sengkek keberatan. Liang satu-satunya anak lelaki. Pergi ke Amerika juga butuh uang besar sekali. Sengkek kini harus bertanggungjawab terhadap tujuh anak. Liang memilih mendengarkan masukan papanya. Dia kuliah teknik elektro di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dia pikir bila lulus, bisa meneruskan bisnis keluarga.

Di Salatiga, Liang berkenalan dengan dosen-dosen radikal macam Arief Budiman, Ariel Heryanto, Broto Semedi, George Aditjondro, Liek Wilardjo, Nico L. Kana, Supriyadi dan sebagainya. Liang mahasiswa teknik tapi tidak tertarik pada matakuliah teknik. Liang ikut kelompok diskusi Arief Budiman, seorang doktor dari Harvard, salah satu cendekiawan beneran di Indonesia. Broto Semedi mengajar filsafat. Aditjondro mengajar Neo Marxisme. Liang makin sering membaca. Apa yang dipelajari di SMA Dempo, mendapat dorongan yang lebih besar lagi di Satya Wacana. Di Salatiga, kesadaran politiknya makin luas.

Dia sadar bahwa penindasan juga terjadi pada banyak golongan minoritas lain. Baik di Timor Leste, Papua, Minahasa, Aceh, Lampung, Borneo dan lainnya. Dia belajar analisis kelas. Orang miskin ditindas golongan penguasa, tanpa peduli etnik atau agamanya. Dia belajar tentang ketidakadilan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Satya Wacana memberi kesempatan kepada Liang untuk belajar, lepas dari lingkaran primordial, membela yang benar.

Liang mulai ikut upaya melawan penindasan negara Indonesia. Dia ikut demonstrasi. Dia ikut pers mahasiswa. Liang merasakan pengalaman pahit dengan aktivisme. Dia takut dikejar tentara. Intrik-intrik dalam gerakan membuatnya lelah. Dia memakai banyak waktunya membantu organisasi sais dokar, melawan rencana penggusuran dokar. Achmadi dan Sukardi, dua sais dokar, banyak membuatnya belajar tentang kehidupan orang kecil. Bila merasa lelah, dia pergi ke sebuah pesantren kecil, pinggiran kota, istirahat selama dua atau tiga hari.

Belakangan bahkan manajemen universitas ini memecat dosen-dosen yang kritis, termasuk Arief Budiman. Liang tak merasa memiliki kampus Satya Wacana lagi. Pada 1993, dia pindah ke Phnom Penh dan mulai bekerja sebagai reporter. Karirnya sebagai travel writer pun dimulai. Dia mulai malang melintang di Asia Tenggara.



Yuri Slezkine mungkin bisa membantu menerangkan fenomena Hoakiao. Slezkine seorang cendekiawan Rusia, dosen University California at Berkeley di Amerika. Dia menulis buku The Jewish Century, tentang etnik Yahudi, yang diganyang di Eropa sejak akhir abad XIX, lalu melakukan migrasi besar-besaran ke negara lain.

Analisisnya, bisa diterapkan pada minoritas lain di segala pelosok dunia. “Sangat provokatif tetapi kena betul analisanya,” kata Liem Sioe Liong, seorang aktivis hak asasi manusia dari Tapol di London. Liem seorang Hoakiao, warga negara Belanda. Dia menulis buku West Papua: The Obliteration of a People bersama Carmel Budiardjo.

Slezkine menulis bahwa orang Yahudi hidup dalam suatu masyarakat dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, dengan cara hidup tertentu pula, yang menimbulkan sentimen dari masyarakat sekitarnya. Namun orang Yahudi tak sendirian. Di dunia ini, di berbagai tempat dan waktu berbeda, selalu ada suku atau etnik, yang secara eksklusif menyediakan jasa untuk masyarakat di sekitarnya. Mereka termasuk Roma-Gypsi di Eropa, orang Fuga di Ethiopia, Sheik Mohammadi di Afghanistan, etnik Armenia, orang India di Afrika Timur, etnik Lebanon di Afrika Barat dan Amerika Latin serta orang Hoakian di Asia Tenggara.

Slezkine menyebut mereka, kaum "Mercurian," sebagai lawan kata dari putra daerah, yang disebutnya, "Apollonian.” Dalam mitologi Yunani, Apollo adalah dewa pertanian dan peternakan. Masyarakat Apollonian utamanya petani dan peternak, plus ksatria dan ulama, yang hidup dengan cara mengatur akses para petani tadi ke tanah dan keselamatan surgawi.

Mercuri adalah dewa para pengembara, pedagang, penterjemah, tukang, penunjuk jalan, pengobat dan semua pelintas batas. Kaum Mercurian adalah kelompok etnik yang tak terlibat produksi makanan. Mereka hidup dengan cara menyediakan jasa kepada kaum Apollonian.

Zaman dulu, masyarakat Apollonian menganggap ada pekerjaan yang berbahaya atau kotor, untuk dikerjakan warga mereka sendiri. Contohnya, berhubungan dengan negeri asing atau suku lain; mengatur uang; mengobati orang sakit; bekerja dengan api dalam penempaan logam misalnya. Semua ini adalah kemahirannya kaum Mercurian. Para pengembara kebanyakan mulai sebagai tukang. Kakek buyut Slezkine adalah tukang besi Yahudi. Ong Kong Swie mengelola bengkel sepeda dan becak.

Kaum Mercurian sering pindah tempat. Mereka memahami pentingnya menguasai bahasa-bahasa. Sengkek menguasai enam bahasa. Ketika rezim Soeharto melarang bahasa Mandarin, Sengkek dan Ie Lan mendorong anak-anaknya belajar Inggris. Kaum Mercurian secara alamiah terlibat dalam kerja penterjemahan, tukang cerita, penunjuk jalan dan perantara.

Kaum Apollonian memandang Mercurian berbahaya, kotor dan asing. Kaum lelakinya bukan ksatria, jarang ikut perang. Kaum perempuannya dianggap cantik namun juga genit, menggoda. Makanan mereka berbeda. Mereka hanya membeli, menjual dan kemungkinan mencuri, barang maupun ide. Mereka dibenci dan puncak kebencian terhadap kaum Mercurian adalah Holocaust –pembunuhan lebih dari enam juta orang Yahudi di Jerman oleh rezim Adolf Hitler. Ini penjagalan manusia terbesar dalam dunia modern. Ia juga mendorong Perang Dunia II.

Holocaust bikin jutaan orang Yahudi lari dari Eropa. Slezkine menyebut tiga tujuan: Palestina dimana mereka mendirikan negara Israel; Amerika Serikat dimana ada ide kenegaraan liberal non-etnik; dan Uni Soviet dimana ada komunisme –sebuah dunia tanpa kapitalisme dan nasionalisme. Semua berhasil dengan variasi masing-masing. Kaum Yahudi lantas jadi lambang dari penganyangan massal sekaligus kesuksesan.

Slezkine menyebut mereka berhasil karena sudah lama sekali jadi kaum urban, melek sastra, artikulatif dan secara pekerjaan fleksibel. Mereka mementingkan akal sehat, keuletan, kebersihan, melintasi batas serta memilih “memelihara” hubungan dengan orang daripada ternak. Inilah tuntutan abad XX. Maka mereka berhasil mengatasi penganyangan rezim macam Hitler.

“Hari ini kita semua diharapkan jadi orang Mercurian,” kata Yuri Slezkine. Nilai-nilai Apollonian, tentu saja, sangat perlu dipertahankan seraya mempelajari bahasa internasional, berhubungan dengan bangsa lain, mempertahankan hutan dan sebagainya. Saya kira, barisan Mercurian ini bertambah di Indonesia dengan orang Madura di Kalimantan, orang Jawa di Sumatra, orang Bugis, Buton, Makassar di Maluku atau orang Rote di Pulau Timor.

Liang mewakili stereotype kaum Mercurian di Indonesia. Liang sebenarnya tak beda dengan kebanyakan Hoakiao. Kalau dia sedikit beda, ini hanya karena dia seorang penulis, namun sebenarnya banyak Hoakiao jadi penulis. Dia juga “berkelahi” –sebuah kegiatan khas Apollonian-- ketika memutuskan membela kelompok-kelompok tertindas, namun dia melawan dengan penanya, bukan ototnya.

Dari Ong Kong Swie, lalu Sengkek, lalu Liang, keluarga ini mengalami perubahan cukup jauh secara kultural. Swie seorang Hoakiao totok, namun Sengkek bisa bahasa Jawa, Madura, Melayu. Liang secara kultural lebih global. Tek Jong memutuskan masuk Kristen. Ie Lan bahkan Kristen keras. Sengkek memutuskan mengganti namanya jadi Jawa.

Namun perubahan itu, dipaksa maupun tidak, tak membuat mereka tak dianggap sebagai “non-pribumi.” Mereka tetap tinggal di Jember, turun-temurun, namun akan tetap dianggap “asing.” Saya kira rasa curiga terhadap orang Hoakiao takkan mudah hilang di Pulau Jawa dan Sumatra. Kecurigaan serupa juga takkan cepat pergi dari Aceh terhadap orang Jawa, orang Madura di Kalimantan atau dari Papua terhadap “pendatang rambut lurus.” Setidaknya, negara ini bisa belajar dari Yuri Slezkine bahwa menciptakan diskriminasi formal justru membuatnya lebih buruk. Diskriminasi senantiasa ada dalam masyarakat. Namun diskriminasi oleh negara membahayakan keberadaan negara itu sendiri.

Kini Ie Lan sudah pisah dari suaminya dan hidup di Jogjakarta bersama tiga anak perempuannya. Sengkek hidup dengan Winarti di Jember. Mereka punya anak satu lagi. Sengkek membiayai sekolah anak-anaknya hingga selesai kuliah. Dua orang adik Liang tinggal di Jakarta.

Saya tanya kepada Sengkek, siapa guru Jawa, yang memberikan nama Jawa kepadanya. “Pak Dasar,” katanya. Guru itu mengatakan, ‘Engkone koen Hartono, koen Harsono ae.’” Artinya, “Kakakmu (Seng Hin) bernama Hartono, kamu Harsono saja.” Sengkek juga menjawakan nama Liang. Ie Lan usul nama “Harsono” dijadikan nama marga. Ini sebuah kebiasaan orang Tionghoa. Suku pertama nama marga, suku kedua nama pangkat. Maka anak-anak Sengkek pun diberi nama belakang Harsono semua. Liang diberi nama “Andreas Harsono.” Ong Tjie Liang adalah Andreas Harsono. Mereka adalah saya.