Monday, October 12, 2009

Lemahnya Instrumen Stabilisasi Harga

“Kayaknye harge-harge nih teros begerak. Turonnye tadak, naek jak teros,” kata ibu rumah tangga di Jakarta Utara, Ernawati. Perempuan asal Pontianak ini mengeluhkan kenaikan harga beragam kebutuhan pokok dari gula, terigu, telur, sampai minyak goreng. Hanya harga beras yang relatif stabil. Menurut dia, gejolak kenaikan harga tak hanya terjadi menjelang puasa maupun Lebaran. Namun, jauh hari sebelum itu, harga sudah naik. “Macamnye tak pernah berenti harge-harge tuh naek,” ujar dia.

Kini, harga gula pasir Rp9.500-Rp10.000 di Jakarta, di luar Jawa bahkan sampai Rp14.000 per kilogram (kg). Awal Januari 2009, harga gula masih Rp6.000 an, mulai naik Mei Rp8.000 an. Harga minyak goreng mulai bergerak naik pertengahan 2007, dari Rp6.000, naik Rp7.000, kini bertahaan Rp9.000-Rp10.000 untuk minyak curah sedang minyak kemasan sekitar Rp11.000-Rp12.000 per liter. Begitu juga harga telur ayam, dari Rp7.000-Rp8.000 per kg 2004-2005, terus bergerak naik. Tahun 2007, harga telur menyentuh Rp9.000-Rp10.000, lalu Rp11.000-12.000 tahun lalu. Kini, harga telur bertahan Rp13.000-Rp15.000 bahkan belum lama ini sempat Rp16.000 per kg. Harga-harga di luar Jawa bervariasi dan cenderung lebih tinggi. Seperti harga telur di Pontianak, ukuran sedang Rp1.300 per butir atau sekitar Rp17.000 per kg, harga gula pasir Rp11.000 dan minyak goreng curah Rp11.000 per kg.

Dulu, harga bergerak naik ada musimnya, misal kala hari besar keagamaan. Saat ini harga beragam kebutuhan pangan itu berfluktuasi setiap waktu. Bahkan seperti gula, kala masa panen, harga gula malah naik tak terkendali. Program stabilisasi harga kebutuhan pokok sudah diluncurkan pemerintah sejak 1 Februari lalu guna menahan gejolak harga. Namun, tampaknya tak berjalan maksimal. Terbukti, hingga
saat ini harga-harga kebutuhan pokok masih terus naik.

Mari mengingat medio 2007, harga minyak goreng bergerak naik dari Rp5.000 menjadi Rp8.000 per liter. Padahal, Indonesia produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Alasannya: harga di pasar dunia naik. Pasokan dalam negeri terserap ekspor. Lalu digagas kebijakan domestick public obligation/DMO dan penetapan pungutan ekspor CPO dan produk turunan. Operasi pasar di berbagai daerah. Subsidi pemerintah kucur. Tak berjalan juga. Harga minyak goreng turun tipis sebentar. Lalu, terus bergerak naik ke posisi Rp9.000 bahkan sampai Rp13.000 per liter.

Memasuki tengah 2008, permintaan dunia turun, krisis keuangan global mulai menghantam, harga CPO pun turun drastis begitu juga komoditas lainnya termasuk minyak mentah. Sayangnya, itu tak berpengaruh banyak dengan harga minyak goreng dalam negeri.

Awal 2009, harga minyak goreng kembali bergejolak, kemasan mencapai Rp12.000 per kg. Pada Mei, Mari Elka Pangestu selaku menteri Perdagangan, menargetkan harga minyak goreng curah pada posisi Rp6.000 per kg selama 2009. Target yang terlalu mengawang mungkin. Sebab, sampai hari ini, meskipun berbagai instrumen diluncurkan, dari operasi pasar, sampai merancang merek khusus Minyakita tetap belum sukses menekan harga. Pemerintah telah mengalokasikan Rp800 miliar untuk
fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah (PPNDTP)
selama 2009 dengan tujuan stabilisasi harga minyak goreng. Melalui merek Minyakita, perusahaan bisa menyalurkan minyak goreng dengan harga murah, Rp6.000-Rp7.000 per liter. Namun, lagi-lagi, berbagai upaya ini belum membuahkan hasil manis. Di pasaran, harga minyak goreng sampai sekarang masih tak sesuai target. Harga minyak goreng masih bertengger di posisi Rp11.000-Rp12.000 per liter.

Untuk, harga beras pun sempat naik pada 2007. Beruntung, khusus beras ada Bulog yang berfungsi sebagai stabilisator harga. Ketika harga mulai naik, operasi pasar beras digelar. Stok beras Bulog juga dilepas ke pasar. Bahkan, sejak 2008, satu-satunya harga bahan pokok yang relatif stabil adalah beras. Instrumen ini cukup berjalan efektif. Tahun itu pula, kali pertama sejak 10 tahun terakhir, Indonesia menghentikan impor karena pasokan beras dalam negeri cukup. Padahal, saat itu, harga beras pasar internasional naik drastis.

Kini tambah lagi satu kasus kenaikan harga gula yang tak terbendung. Lagi-lagi, Departemen Perdagangan(Depdag) sebagai penjaga gawang stabilisasi harga tak bisa berbuat banyak.

Pada, tahun 2006, sempat terjadi pergerakan harga gula, kala itu mencapai Rp7.000 per kg. Melihat atas kondisi sesuai kesepakatan dari Dewan Gula Indonesia pada Oktober 2005, Indonesia perlu mengimpor 300 ribu ton gula.

Berdasarkan izin impor itu, Bulog dan PT PPI mendapatkan izin impor masing-masing 55.000 ton. Sedang, empat importir terdaftar (IT) mendapatkan izin impor total 190 ribu ton. Kebijakan ini mampu meredam harga gula turun.

Ribut-ribut harga gula sempat terjadi pada 2008. Produsen gula dalam negeri protes gula rafinasi impor–konsumsi industri—dikabarkan masuk pasar hingga membuat harga di pasaran anjlok. Meskipun di pasaran ritel harga gula tetap Rp6.900-Rp7.000 per kg. Akhirnya, bea masuk impor gula naik. Lalu, keluar lagi pengaturan distribusi gula rafinasi tertuang dalam surat Menteri Perdagangan No 111/M-DAG/2/2009, tanggal 6 Februari 2009.

Dengan aturan itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian gula rafinasi ini, antara lain distributor dan subdistributor harus ditunjuk resmi produsen. Lalu, distributor tidak boleh menjual gula rafinasi dalam kemasan kiloan. Distributor juga harus melengkapi dokumen-dokumen produk gula rafinasi hanya untuk industri. Kebijakan ini cukup efektif. Harga gula dalam negeri pun bergerak naik.

Kini, harga gula di pasaran tak terkendali. Naik-naik ke puncak gunung. Dari harga Rp8.000 per kg pada Mei 2009, naik menjadi Rp9.000 dan terus naik sampai Rp14.000 per kg. Lagi-lagi, Mendag pada Mei menargetkan Juni harga gula akan kembali pada posisi Rp7.000. Alasannya: Juni sudah memasuki musim giling tebu. Memasuki Juli ternyata harga terus naik ke Rp8.500 per kg. Dari Depdag pun bilang lagi harga akan turun Juli. Karena Juli, gula yang digiling sudah masuk pasar. Juli pun datang. Agustus datang. Sayangnya, harga gula tak kunjung mereda. Alasan pun dibuat lagi: harga produk di pasar internasional sedang naik.

Departemen garis depan stabilisasi harga ini pun tak bisa menangani sendiri. Mendag menyurati Kementerian BUMN—yang memiliki produsen gula seperti PTPN dan RNI—untuk menurunkan harga gula. Tak berjalan. Kementerian ekonomi pun rapat. Ada rencana mau merealisasikan impor gula, ada juga keinginan membangun pabrik-pabrik gula. Namun, sampai sekarang belum ada hasil kongkret. Harga gula terus berjalan semaunya.

Berbagai kondisi ini menunjukkan begitu lemahnya instrumen stabilisasi harga yang dimiliki Depdag. Padahal, kabarnya selalu memantau pasar. Konon, Depdag bersama departemen terkait juga membuat peringatan dini (early warning system/EWS) untuk kebutuhan pokok. Pasokan selalu dikatakan cukup, tapi mengapa harga naik terus? Apa hasil pantauan? Apa hasil EWS? Semoga ke depan, departemen ini lebih siap lagi dengan instrumen-instrumennya untuk stabilitasi harga.

By: Sapariah Saturi Harsono dari Harian Jurnal Nasional, 15 September 2009

Lagi-lagi Tergantung Impor

“….PANGAN merupakan soal hidup matinya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka ‘malapetaka’. Oleh karena itu, perlu usaha besar-besaran, radikal dan revolusioner.” Mengutip Presiden RI pertama, Soekarno.

Indonesia boleh tersenyum karena bisa swasembada beras. Namun, sebaiknya jangan tersenyum terlalu lama. Mengapa? Karena pekerjaan rumah masih menumpuk! Kebutuhan pangan masih banyak dipasok dari impor. Ini harus menjadi perhatian bahkan peringatan. Kini, produk pangan diperebutkan untuk dua sisi di dunia: bahan pangan dan sumber energi. Jadi, pasokan pangan harus kuat. Tak hanya memenuhi kebutuhan, stabilisasi harga juga harus terjaga.

“Ya, memang ada keberhasilan swasembada beras. Tapi produk pangan tak hanya beras bagaimana jagung, kedelai, daging sapi, susu dan lainnya. Itu masih tergantung impor,” kata Benny A Kusbini, Ketua Harian Dewan Holtikultura Nasional, belum lama ini.

Benar apa yang dikatakan Benny Kusbini. Tahun 2000, impor jagung Indonesia 1,28 juta ton, tiga tahun kemudian naik menjadi 1,39 juta ton. Pada 2004 naik lagi menjadi 2,73 juta ton dengan masing-masing sebesar US$165,3 juta, US$179,8 juta dan US$132,6 juta. Tahun 2007, impor 414 ribu ton, turun dibandingkan 2006 sebesar 1,6 juta ton.

Produksi jagung nasional hanya meningkat tipis. Pada, 2003, produksi 10,8 juta ton naik menjadi 11,2 juta ton 2004. Tiga tahun setelah itu, tahun 2007, produksi baru 13,29 juta ton. Produksi naik cukup tinggi pada 2008 menjadi 15,86 juta ton dengan kebutuhan dalam negeri hanya 13 juta ton.

Tahun 2009, Departemen Pertanian (Deptan) menargetkan produksi jagung nasional 18 juta ton pipilan kering, diperoleh dari luas tanam 4,28 juta hektare (ha) dan luas panen 4,08 juta ha dengan produktivitas 44,12 kuintal per ha.

Meskipun di atas kertas produksi nasional sudah melebihi kebutuhan, tetapi masih saja impor jagung. Contoh, sektor peternakan yang menggunakan jagung sebagai bahan baku pangan ternak merasa kesulitan memenuhi dari produksi dalam negeri jadi masih perlu impor. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan ternak mencapai 3,6-4 juta ton per tahun “Katanya produksi jagung besar. Ini 50 persen bahan baku pakan dari jagung tapi susah mau dapatnya,” kata Ketua Forum Masyarakat Perungggasan Indonesia (MPI), Don P Utoyo.

Dalam pekan ini, petani jagung di Medan protes karena harga rendah. Mereka meminta pemerintah menghentikan impor agar harga panen membaik. Kini, harga jagung di tingkat petani Sumatera Utara (Sumut), misalnya, kadar air 25-26 persen tinggal Rp1.700 per kg, sebelumnya Rp2.200, bahkan pernah Rp2.500 per kg.

Tak jauh beda nasib kedelai. Pada 1992, negara ini pernah swasembada kedelai, waktu itu produksi 1,8 juta ton. Namun dari tahun ke tahun produksi kedelai terus turun. Impor pun menjadi andalan. Pemerintah bertekad ingin swasembada kedelai. Target produksi kedelai tahun ini 1,5 juta ton dengan luas tanam 1,050 juta ha, luas panen 997,5 ha dengan produktivitas rata-rata15,04 ku/ha. Namun peningkatan produksi ini belum memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor kedelai masih dilakukan dari Brazil maupun Amerika Serikat sekitar satu juta ton.

Guna mewujudkan swasembada, Deptan melakukan beberapa program, antara lain SL PTT (sekolah lapangan pengelolaan tanaman terpadu) kedelai kurang lebih 100 ribu ha secara nasional tahun ini dan 250 ribu ha tahun 2010. Lalu bantuan langsung benih unggul, cadangan benih nasional dan lainnya.


Bidang perkebunan seperti karet, kakao, sawit memang tampak sukses. Namun, perlu ditilik lagi, siapa pemilik dari produksi itu? “Sebagian besar milik asing. Ini artinya, jangan sampai pertanian itu didominasi asing,” ucap Benny.

Lalu, bagaimana nasib pasokan daging dan susu? Lagi-lagi sama: masih mengandalkan impor. Impor sapi rata-rata per tahun 650 ribu ekor. Berdasarkan penelitian Indonesia Research Stategic Analysis (IRSA), 2009, sekitar 273.700 ton atau 70 persen kebutuhan daging dipasok sapi potong rakyat, 17 persen atau 66.470 ton setara 332.350 ekor sapi dari industri penggemukan modern—ini sapi bakalannya dari impor. Lalu, 13 persen atau 50.830 ton impor daging dan jeroan.

Sejak beberapa tahun lalu, Indonesia menargetkan swasembada daging sapi. Namun, target tinggal target alias tak mampu terealisasi. Seperti tahun 2005, pemerintah sudah menargetkan swasembada. Gagal. Lalu, tahun ini target swasembada juga tak tercapai. Artinya, masih perlu impor, terbesar dari Australia dan Selandia Baru. Belum lama ini, Deptan menyetujui impor daging sapi dari Brazil, satu negara yang belum terbebas penyakit berbahaya sapi. Banyak penolakan. Teranyar, sedang dalam pengkajian impor daging dari Polandia.

Mei lalu, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan UU PKH) disahkan. Kini, Indonesia memiliki UU PKH no.18 /2009. Semoga, ini menjadi angin segar peluang pengembangan peternakan lokal.

Indonesia juga surga bagi pasar impor susu. Sekitar 70 persen susu sapi masih impor. Tahun 2006, sapi perah 369 000 ekor dengan produksi susu 616.500 ton. Naik tipis pada 2007, sebanyak 378 000 ekor sapi perah dan produksi susu 636.900 ton. Produksi ini hanya mampu memenuhi kebutuhan sekitar 25-30 persen. Akibatnya, sebagian besar kebutuhan atau konsumsi nasional susu dan produk olahan dipasok impor dari Selandia Baru, Australia, dan Philipina. Jelas, ketergantungan tinggi terhadap impor yang membuat rentan terjadi gejolak harga. Tak hanya produksi rendah, kualitas susu dalam negeri juga rendah.

Kondisi ini disebabkan beberapa hal, antara lain, pengelolaan peternakan sapi perah belum maksimal. Lokasi peternakan berada di lahan marginal, bukan lahan khusus peternakan. Skala peternakan kecil, rata-rata mempunyai dua atau tiga ekor sapi. Padahal, untuk mencapai untung minimal memiliki 10 ekor sapi. Masalah lain, pakan ternak. Sapi-sapi perah di Indonesia diberi pakan seadanya. Padahal, untuk menghasilkan susu berkualitas, perlu pakan berkualitas. Belum lagi cara memeras susu masih tradisional hingga tak maksimal.

Dari begitu besarnya ketergantungan impor ini, menunjukkan Deptan masih memiliki setumpuk pekerjaan. Harus terus bekerja keras. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri jelas tak bisa dikerjakan sendiri. Perlu kerja sama dengan instansi lain, termasuk kalangan pelaku usaha bahkan petani/peternak itu sendiri.

By: Sapariah Saturi Harsono dari Jurnal Nasional, 12 Oktober 2009