Friday, January 12, 2007

Moedjallat Indopahit

Sabtu 6 Januari ini, saya menikah dengan Andreas Harsono, seorang wartawan dari Yayasan Pantau Jakarta. Kami menikah di rumah keluarga saya di Pontianak. Belasan rekan kami membantu merayakan peristiwa ini dengan menerbitkan sebuah buku dengan format majalah ukuran 14.5 x 21 cm. Namanya, Indopahit atau “Indonesia yang pahit” --sebuah olok-olok yang mengawali hubungan kami berdua dua tahun sebelumnya. Pestanya diadakan di Pontianak (7 Januari) dan Jakarta (21 Januari).

Indopahit dicetak 500 eks. Ia dibagikan kepada segenap undangan di Pontianak maupun Jakarta. Disainnya, dikerjakan oleh Vera Rosana dari rumah disain H2O, sedang foto dikerjakan oleh Mohamad Iqbal. Vera melakukan riset “moedjallat” tahun 1920an dari koleksi Perpustakaan Nasional guna menciptakan kesan vintage pada Indopahit. Vera khusus menciptakan "bercak-bercak" pada Indopahit agar timbul kesan kertasnya tua dan lengket. Agus Sopian menulis sedikit dengan ejaan 1920an. Mereka semua pernah sama-sama bekerja untuk majalah Pantau.

Isinya, naskah-naskah tentang hubungan kami maupun masing-masing keluarga. Beberapa rekan juga menyumbang naskah tentang pernikahan. Iqbal membuat esai foto tentang Mas Andreas, Norman dan saya. Norman adalah anak kami dari perkawinan (dan perceraian) Mas Andreas sebelum ini. Agus Suwage, seorang pelukis tinggal di Jogjakarta, juga menyumbangkan karyanya Ciuman Kedua Rodin, untuk ikut memperindah undangan ini. Suwage termasuk seniman yang paling sering menyumbangkan karyanya kepada Yayasan Pantau. Inilah sebagian dari naskah dan gambar dari Indopahit:

Mengapa Kami Menikah?
Cerita Mak Isah oleh Muhlis Suhaeri
Hoakiao dari Jember oleh Andreas Harsono

Keriangan, Keragaman oleh Coen Husain Pontoh
Jomblo, Jomblo, Bahagia oleh Aseanty Widaningsih Pahlevi
Surat dari Ende oleh Esti Wahyuni
Pernikahan oleh Indarwati Aminuddin
Sebentuk Cinta yang Tak Tergantikan oleh Linda Christanty

Kami mohon doa restu dari Anda semua. Kami sadar bahwa mengarungi laut kehidupan dalam satu bahtera rumah tangga bukan sesuatu yang mudah. Ia bukan saja menuntut kesetiaan, pekerjaan mencintai namun juga banyak hal lain, dari masalah prinsip hingga remeh temeh. Kami ingin pernikahan ini langgeng hingga maut memisahkan kami. Selamat membaca. Terima kasih.

Mengapa Kami Menikah?

Sapariah Saturi dan Andreas Harsono

Kami bertemu pertama kali saat tsunami menghantam Aceh dan Pulau Nias. Waktu itu, 24 Desember 2004, kami kebetulan bertemu di ruang tamu harian Pontianak Post. Tak ada yang istimewa kecuali pertemuan antar sesama wartawan. Satunya dari Jakarta, sedang liputan ethnic cleansing Madura di Kalimantan. Satunya lagi, seorang reporter Pontianak, orang Madura, menawarkan bantuan.

Lalu kami berteman biasa. Mulanya via telepon lalu sering bertemu. Kebetulan kami lalu sama-sama tinggal di Jakarta. Sama-sama tinggal di daerah Senayan. Rumah berdekatan. Kami punya banyak teman bersama. Sering ketemu. Sering makan-makan bersama.

Saat pujangga Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia, 30 April 2006, kami sedang naik kereta api dari Jakarta ke Blitar. Sepanjang jalan bicara soal perjuangan Pram. Perjalanan itu mengesankan. Stasiun kecil. Sawah-sawah. Musik rock klasik lewat MP3 Samsung.

Sialnya, dalam kereta api kami kehilangan laptop IBM dan kamera digital Canon. Kami tertidur. Tak sadar ada pencuri masuk ke gerbong dan mengambil barang-barang itu dari dalam tas. Di Blitar, lapor polisi lalu naik becak. Kami tinggal di hotel kuno, Sri Lestari. Makan nasi pecel. Perabotan Jawa. Bahasa Jawa dialek Blitar.

Seorang teman belakangan kasih komentar, “Bahwa barang siapa pasangan yang sedang saling menjajagi hubungan dan salah satunya kehilangan barang yang cukup bernilai, mereka akan pacaran dengan cepat dan kemungkinan jadi pasangan harmonis.”

Kami pergi melihat museum dan makam Presiden Soekarno –seorang politikus Jawa yang banyak membentuk khayalan tentang “bangsa Indonesia” pada awal abad XX. Disana ada cerita mistik soal lukisan Soekarno yang "hidup" --selalu berdenyut-denyut walau tak ada angin. Atau meramal nasib dengan uang kertas rupiah bergambar Soekarno.

Petugas museum mengeluarkan koleksi langka itu. Ia mengetesnya di tangan kami. Bila uang "menggiling" diri, artinya kami akan mendapat keberuntungan. Bila tidak, kami sial. Maka kami mencoba. Ternyata uang itu, tanpa aba-aba, bergiling di tangan. Kami diramal bernasib baik.

Kami juga mengelilingi Candi Palah di desa Panataran. Indah sekali. Ceritanya, pasangan Rama dan Sinta. Bagaimana Sinta diculik oleh Rahwana dari kerajaan Alengka lalu Rama mencari isterinya itu dibantu raja kera Hanuman.

Candi Palah candi terbesar era Majapahit. Ia digunakan untuk memuja dewa Shiwa di kaki Gunung Kelud. Kami sebelumnya mengembangkan nama “Indopahit” –“Indonesia keturunan Majapahit” atau “Indonesia yang pahit.” Kami tentu tertarik melihat candi Majapahit ini. Candi Palah ternyata jauh lebih kecil dari candi Prambanan apalagi Borobudur. Kami tahu Soekarno menciptakan mitos sebuah kerajaan masa lalu, yang seakan-akan menguasai seluruh wilayah Indonesia hari ini, ketika nyatanya, Majapahit cuma memerintah sebagian Pulau Jawa. Salah satu lawan Majapahit adalah kerajaan Pajajaran di daerah Sunda. Bagaimana Majapahit menguasai ribuan pulau dari kesultanan Aceh hingga kampung-kampung di Papua ketik memerintah Sunda saja tak sanggup?

Namun mitos itu diperlukan Soekarno guna membangkitkan khayalan bahwa kepulauan ini, yang dinamai Indonesia, pernah bersatu sebelum kedatangan Belanda. Ini hanya mitos. Kenyataannya, Belanda adalah kekuatan pertama yang mampu mempersatukan, secara diplomasi maupun militer, lebih dari 400 kerajaan di kepulauan ini. Belanda pula yang membentuk kesadaran akan sesuatu yang bernama ”Indische” atau ”Hindia Belanda.”

Di Blitar kami banyak diskusi soal disain negara Republik Indonesia. Kami cerita soal perdagangan gula yang tidak fair di Kalimantan Barat akibat sentralisme Jakarta. Indopahit, tentu saja, banyak kami olok-olok. Soekarno sosok besar tapi banyak kekeliruannya ketika merancang nasionalisme Majapahit untuk Indonesia. Kebangsaan dengan dasar sempit. Tak heran hingga hari ini, lebih dari empat juta warga kepulauan disini, dengan label ”komunis” maupun ”pemberontak”, dibunuh atas nama ”bangsa Indonesia.”

Kami bergurau soal lima dasar negara Indopahit: (1) Hidupnya korupsi, kolusi dan nepotisme; (2) Kekerasan sebagai senjata ampuh; (3) Anti perbedaan; (4) Pelihara kesengsaraan rakyat; (5) Pupuk terus diskriminasi, rasialisme cs.

Ketika kami pulang ke Jakarta, naik pesawat terbang dari Malang, badan capek dan kami bawa oleh-oleh tas kulit imitasi. Namun riset dapat banyak hasil. Sayang, tak ada foto-foto karena kamera dicuri. Setibanya di Jakarta, kami terhadang kemacetan besar karena demonstrasi Hari Buruh atau May Day. Namun pentingnya, kami kembali ke Jakarta dengan relasi yang jauh berbeda. Kami berjanji belajar mengenal diri kami dengan lebih baik. Kami ingin menata kehidupan ini dengan jalan bersama.

Mulanya apa yang menarik?

ANDREAS: Setelah kenalan di Pontianak, Sapariah datang ke Jakarta mengikuti kursus jurnalisme sastrawi di Yayasan Pantau. Janet Steele dari George Washington University dan saya mengajar kursus ini tiap semester. Kami rutin mengundang wartawan daerah, kelompok minoritas dan perempuan, untuk ikut kursus ini. Sapariah wartawati Madura di Pontianak. Dia memenuhi syarat kedaerahan, minoritas dan perempuan.

Sapariah mulai jadi istimewa ketika beberapa bulan kemudian ia mengirim kaos dengan pesan, "Dasar negara Indopahit.” Saya pikir orang ini kritis sekali. Isinya, lima dasar negara Indopahit itu. Secara intelektual, saya kira ia mengerti kegelisahan saya. Hubungan kami enak.

SAPARIAH: Pertama kali kenal, yang ada dalam pikiranku orangnya asik. Asik diajak ngobrol, diskusi. Terus pintar dan cerdas. Aura pintarnya tuh kelihatan. Terus selera humornya tinggi (dia sebenarnya orang serius). Jadi, seakan tiada hari tanpa bergurau, meskipun lagi ga ada duit … ha ha ha.

Aku juga suka gaya dan mimik mukanya, yang kadang dibuat aneh-aneh (apalagi kalau aku lagi sebel). Yang membuat dia berbeda dari yang lain adalah pemikirannya. ”Ini orang gila dan aneh.” Kami nyambung dalam banyak hal, dari ngerjain orang sampai ide negara Indopahit. Tak lupa saling menghina dan mentertawai diri sendiri.

Kapan jadi pacar?

ANDREAS: Ketika jalan bersama ke Blitar, saya bilang bagaimana kalau kita mencoba mengenal lebih jauh? Tapi saya ingin hubungan ini direstui keluarga Sapariah. Jadi, bulan Juli saya dikenalkan dengan Mamak dan Tursih, adiknya Sapariah, yang lagi liburan di Jakarta. Mamak merestui. Maka kami pun resmi pacaran.

SAPARIAH: Ya, jadian awalnya sih May Day itu. Lainnya … idem he he he .…

Kesan pacaran bagaimana?

SAPARIAH: Aku merasa cocok. Mas, orangnya peduli dan perhatian. Bukan hanya dengan orang-orang terdekatnya, tapi semua orang, terutama kalangan tertindas. Jadi aku merasa enak dan aman. Mas itu orang yang punya prinsip, bekerja dengan jujur dan benar. Maka tak heran kalau setiap saat aku selalu mendengar ocehan dan kekesalannya terhadap carut marut negara dan pelaksananya.

Mas, bisa memahami aku, meski dengan hinaan-hinaannya tentu. ”Hinaan” itu password bagi kami untuk saling meledek. Dalam hubungan kami, tabu dengan kata ngambek kalau dihina.

Pernah, satu kali kami sedang ngobrol dengan Mbak Uun (Nurul Hayat) dan suaminya (Muhlis Suhaeri), di Restoran Cita Rasa, Pontianak. Saat itu, kami membicarakan film produksi sineas perempuan seperti Lola Amaria dengan Betina.

Muhlis, yang kenalan Lola Amaria, tanya bagaimana tanggapan masyarakat terhadap film Betina. Aku jawab saja cukup bagus. Ia diulas media termasuk tempatku bekerja Jurnal Perempuan (halaman perempuan harian Jurnal Nasional).

Tiba-tiba, Mbak Uun, berkata,” Mbak Un langganan Jurnal Perempuan, kok ga ada?” Maksudnya, Mbak Uun mengacu pada sebuah jurnal ilmiah, suntingan pemikir feminisme Gadis Arivia, yang terbit di Jakarta. Isinya berat soal feminisme. Nama sama tapi mereka dua media berbeda.

Ternyata ada mahluk yang ga pernah menyia-nyiakan untuk ngerjai aku. Langsung Mas Andre nyeletuk, ”Jurnal perempuan yang serius atau yang tidak serius?”

Aku tanya, ”Maksudnya apa? Mana yang serius dan mana yang tidak?”

Langsung deh aku kesel. Enak aja, Jurnal Perempuan yang aku pegang (sebagai redaktur) dibilang ga serius. Aku ngambek. Kami pulang. Di dalam mobil aku masih ngambek.

Lalu Mas bilang, ”Sejak kapan kita ga boleh saling menghina?” Dia tertawa ngakak, tanpa rasa bersalah. Oh iya ya, kita kan emang suka saling hina, aku pun ikutan ngakak.

ANDREAS: Saya mengagumi Sapariah karena perjuangannya untuk selalu jalan di jalan yang benar. Suatu saat kami butuh uang guna membayar persiapan pernikahan. Ada tawaran kerja singkat sebagai private investigator untuk suatu konglomerat. Mereka minta saya menyelidiki seorang lawan bisnis mereka. Cara kerjanya sama dengan jurnalisme: riset, wawancara, analisis dan menulis. Belakangan saya ketahui jumlah uang yang hendak mereka bayarkan dalam transaksi tersebut mendekati US$1 milyar.

Namun dalam jurnalisme, seorang wartawan harus transparan tentang metode dan motivasinya dalam bekerja. Intinya, wartawan harus jujur. Padahal konglomerat ini ingin namanya dirahasiakan. Bagaimana cara reporter wawancara tanpa menyebutkan keperluan wawancara itu? Bukankah kami tak boleh bohong? Wartawan juga melayani kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan bisnis.

Sapariah minta saya menolak tawaran itu walau kami lagi butuh uang. Katanya, lebih baik kita ”kaya hati” daripada ”berkat nila setitik rusak susu sebelanga.” Saya beruntung sekali mengenal orang dengan hati nurani macam ini.

Menurut Derek Walters dan Helen Jones dalam buku The Chinese Astrology, ada pepatah Mandarin berbunyi, ”Bila si Kelinci bertemu dengan si Ular, maka kebahagiaan abadi menanti mereka.” Sapariah shio Kelinci dan saya shio Ular. Kebetulan yang menarik bukan?

Bagaimana menilai keluarga pasangan?

ANDREAS: Saya pertama kali kenal dengan dua keponakan Sapariah: Delly Ariska Virgina Jannati (Keke) dan Lusinda Aprilia Arsy Islami (Dede). Mereka liburan di Jakarta dan Keke jatuh sakit. Sapariah sibuk bekerja, baru pindah ke perusahaan baru, sehingga tak bisa menjaga Keke. Saya menawarkan diri membantu. Keke menginap di apartemen saya.

Lantas Mamak dan Tursih juga datang ke Jakarta. Mereka juga liburan. Saya dikenalkan Sapariah kepada anggota-anggota keluarganya. Kesannya, menyenangkan, keluarga sederhana, terbuka. Saya terutama terkesan dengan kepribadian Mamak. Saya kira Sapariah beruntung memiliki ibu yang mengajarkan dirinya berbuat benar. Mamak suka nonton televisi kabel Animal Planet, dari gajah hingga ular, badak hingga ikan-ikan di laut. Saya biasa membuatkan kopi untuk beliau serta setel Animal Planet. Mamak memanggil saya, ”Jadul” –singkatan dari ”jaman dulu.”

Lalu saya pergi ke Pontianak, menginap di rumah Jl. HM Suwignyo. Mamak sering mengobrol berdua dengan saya di dapur belakang, pagi hari sambil Mamak bikin teh panas. Dapur ini menghadap kebun dan tempat pembakaran sampah. Sederhana. Saleh. Enteng. Suka bergurau. She doesn’t take herself too seriously.

SAPARIAH: Keluarga Mas yang pertama aku kenal Mbak Rebeka. Karena kenal saat aku liputan di Balai Kota Jakarta. Saat itu aku sama Mas berteman. Mbak Rebeka ketua Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia, kala itu mengadvokasi orang Cina Benteng. Lalu kenal dengan adik Mas yang lain, Heylen, bersama anaknya, Cho Yong Gie.

Juli 2006, Mama ke Jakarta dan kebetulan saat itu keponakanku, Dede dan Keke ke Jakarta. Keke sakit campak di apartemen Mas Andre. Wah aku khawatir sekali. Bingung. Aku dan Mas ga tahu penyakit itu. Bersyukur ada Mama. Mama tahu tentang penyakit campak ini sekaligus perawatannya. Ga kepikir deh kalau saat itu Mama ga datang. Mama baik sekali. Mama datang bersama saudara kembar Mbak Rebeka, Susanna. Asik, kami ngobrol bersama, belanja bersama. Saya senang bisa diterima keluarga Mas.

Hubungan dengan Norman Harsono?

ANDREAS: Norman anak saya dari perkawinan pada 1995. Saya bercerai dengan ibunya pada 2003. Saya dekat, mencintai dan menghormati Norman. Saya melibatkan Norman dalam proses pengambilan keputusan memilih Sapariah, walau saya yang memutuskannya. Norman menganggap Sapariah temannya. Kalau kebetulan Sapariah lama tak muncul, dia tanya kenapa Sapariah tak datang? Motivasinya, Norman ingin main saja. Kalau Sapariah muncul di pintu rumah kami, pertanyaan pertama yang muncul dari Norman, ”Fighting?” Maksudnya, main kelahi pakai bantal melawan papanya. Ketika hubungan kami hendak jadi serius, saya tanya-tanya dulu pada Norman. ”What do you think about Sapariah?” Norman bilang Sapariah orang baik. Dia bahkan mengadu pada Sapariah bila ada masalah.

SAPARIAH: Pertama aku khawatir. Aku takut hubunganku dengan Mas akan membuat Norman sedih. Tentu aku ga mau. Bersyukur, Norman anak baik dan pintar lagi. Dia merestui hubungan kami. Kami sering main bareng dari buat robot, pillow war, blindfold, pushing, petak umpet sampai basket. Aku selalu jadi satu tim ama Norman yang melawan papanya. Aku senang sekali.

Kalau marahan bagaimana?

SAPARIAH: Ngaku deh, kalau masalah ini aku yang suka kesel atau ngambek duluan. Misalnya diskusi aku kalah argumen, biasanya langsung kesel. Mungkin karena Mas lebih dewasa jadi sering mengingatkan aku. Biasanya sih kalau aku lagi sebel hanya karena masalah sepele, Mas mengatasinya dengan lucu-lucuan. Jadi marah dan kesal aku jadi ilang lalu ketawa-ketawa deh walau tadinya udah mau nangis.

ANDREAS: Saya punya kebiasaan jelek. Kalau saya kesal terhadap sesuatu, saya cenderung jadi cerewet, menunjukkan kesalahan tersebut dengan detail dan diulang-ulang. Biasanya Norman, kalau sudah begitu, menutup telinganya atau menutup mulut saya. Sapariah sama saja. Saya menggantinya dengan lelucon, menjadikan kesalahan itu sebagai humor.

Bagaimana dengan anak? Jumlah? Pendidikan?

SAPARIAH: Semua kan mesti ada rencana. Kami kan sudah punya satu anak, jadi tinggal tambah satu lagi deh. Kalau bisa sih cewek, biar lengkap. Untuk sekolah, sama dengan Mas. Kami sepakat pendidikan itu penting dan nomor satu. Jadi kami akan berusaha menyekolahkan anak kami di sekolah yang berkualitas. Itu untuk masa depan mereka juga.

ANDREAS: Saya tahu negara Indopahit ini tak mau dan tak mampu menyediakan pendidikan bermutu untuk warganya. Mutu sekolah Indonesia rendah. Beda dengan Srilanka atau India dimana sekolah dan buku terjangkau serta bermutu. Akibatnya, saya mengirim Norman ke sekolah internasional di Jakarta. Bahasa pengantar bahasa Inggris. Kebetulan ketika masih kecil, Norman sekolah di Cambridge, ketika saya di Harvard. Bahasa Inggris adalah bahasa pertama Norman

Kalau Norman punya adik, tentu saja, si adik juga akan sekolah internasional. Saya ingin anak kami menggunakan bahasa Inggris. Saya ingin anak kami mengetahui budaya asal orang tuanya. Si adik harus punya kesempatan belajar bahasa Madura dan bahasa Mandarin.

Bagaimana dengan karir masing-masing?

SAPARIAH: Aku tetap bekerja sebagai wartawan. Mas juga. Jadi kami bebas meniti karir masing-masing. Aku masih ingin menempuh pendidikan lebih tinggi.

ANDREAS: Saya lagi menyelesaikan buku, From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Saya harap buku ini selesai tahun 2007. Sesudahnya, saya akan terus bekerja meningkatkan mutu jurnalisme berbahasa Melayu lewat Yayasan Pantau serta memberi kuliah. Kini saya pengajar tak tetap di Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia dan Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Mungkin sekali dua, perlu sabbatical break, belajar dan mengajar di kampus luar negeri.

Kelak bila sudah tua, saya ingin belajar jadi guru, tempat orang muda bertanya. Ini untuk membalas kebaikan para mentor saya. Dulu saya beruntung punya mentor-mentor macam Arief Budiman dan George Junus Aditjondro dari Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga, Jawa), Goenawan Mohamad dari Institut Studi Arus Informasi (Jakarta) dan Bill Kovach dari Universitas Harvard (Cambridge, Amerika Serikat). Mereka melatih saya berpikir kritis, menggunakan kata-kata untuk meningkatkan mutu masyarakat dalam mengambil keputusan. Mereka mengajari saya mencintai jurnalisme. Saya ingin bisa hidup lurus, jujur dan setia pada jurnalisme.

Pembagian kerja secara seksual?

ANDREAS: Arief Budiman menulis dalam buku Pembagian Kerja Secara Seksual bahwa pekerjaan nature (alamiah) perempuan adalah melahirkan dan menyusui anak. Laki-laki khan tak bisa beranak dan meneteki? Namun secara nurture (buatan), dalam masyarakat muncul kebiasaan bahwa perempuan pula yang harus mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, bahkan juga suami dan orang tua. Laki-laki lalu dibuat bekerja di sektor publik. Perempuan di sektor domestik. Ini tak adil. Saya terbiasa memasak, membersihkan rumah, merawat anak, membantu pekerjaan rumah anak, mencuci piring dan seterusnya.

SAPARIAH: Bagi kami, sudah lewat anggapan-anggapan usang yang bias gender itu. Mas itu orangnya asik banget. Dia suka masak, beres-beres rumah. Channel televisi favoritnya aja Travel & Living. Katanya sih buat meningkatkan kemampuan memasak. Asik kan? Sampe-sampe biasa aku panggil dia,” Bu Andreas …”

Bagaimana dengan perbedaan?

SAPARIAH: Aku rasa ga masalah beda etnik. Di keluargaku sering terjadi perkawinan beda etnik. Kakak-kakakku menikah dengan Melayu, Bugis. Ponakan mendapat jodoh orang Cina juga. Kuncinya kan saling menghargai, toleransi. Memang tidak akan semudah mengucapkan. Tapi kami berdua berusaha keras untuk menghidupkan toleransi itu.

ANDREAS: Ini suatu kekayaan. Manusia berkembang bila ia memanfaatkan keragaman budaya demi peningkatan kemanusiaan. Saya biasa memandang orang sebagai individu, bukan identitas sosial, kecuali bila identitas itu dimanipulasikannya sebagai alat untuk menindas orang lain –saya justru akan melawannya. Saya ingin belajar budaya imigran Madura di Borneo.

Kapan memutuskan menikah?

ANDREAS: Ketika Mamak setuju hubungan kami, Mamak mengatakan, ”Makin cepat makin baik.” Saya kira kepercayaan dan restu dari orang tua harus dilaksanakan dengan baik. Saya segera memberitahu Papa dan Mama di Jawa. Papa mengundang Sapariah datang ke Jember. Mama tanya sana-sini lalu memutuskan membuatkan baju pengantin untuk calon menantunya. Mama menjahit sendiri, memasang payet dan sebagainya.

SAPARIAH: Ya, setelah Mamak merestui kami, aku menjadi yakin Mas pilihanku. Kedua keluarga merestui, kami sudah cocok. Lanjut deh menikah.

Siapa yang mengatur uang?

SAPARIAH: Mas kan orangnya boros tuh. Aku juga ha ha ha. Gini, masalah keuangan ini akan kami bicarakan mana baiknya bagi keluarga kami. Kompromi dulu.

ANDREAS: Kami berdua wartawan yang mencoba bekerja dengan jujur. Penghasilannya, ya pas-pasan. Indopahit khan termasuk negara yang menggaji wartawan paling rendah di Asia? Di sisi lain, biaya pendidikan anak sangat mahal. Jadinya, memang serba repot.

Bantuan untuk keluarga?

SAPARIAH: Namanya juga keluarga ya. Kalau kami memang ada uang dan mampu untuk membantu tentu kami akan membantu. Jangankan keluarga kan, orang lain saja kita harus saling bantu.

ANDREAS: Prinsipnya, kami harus adil dalam membantu keluarga besar kami berdua. Keadilan memang sulit diukur. Praktisnya, kami bisa mengukur waktu dan uang yang disediakan kepada keluarga besar. Dua elemen itu bisa diukur. Dalam perkawinan tentu tak semua bisa berjalan fifty-fifty (separuh-separuh). Terkadang kita memberi, terkadang kita menerima.

Apa sikap yang membuat kesal?

SAPARIAH: Ngupil ama garuk-garuk, nyabutin alis dan bulu ketek. Terus, rencananya yang sering banyak sekali. Kan kesel kalau akhirnya ditunda atau ga jadi.

ANDREAS: Sapariah bila kesal, ia lantas menganggap saya manusia setengah dewa yang bisa meramal sumber kekesalannya. Tapi baiknya, Sapariah orang yang menjaga kata-katanya bila sedang marah. Ia memilih diam daripada mengeluarkan kata-kata.

Harapan setelah menjadi pasangan?

SAPARIAH: Tentu langgeng selamanya ya. Saling sayang, cinta, setia dan memahami. Aku mau, kami berdua tidak berubah. Ya, tetap bergurau, saling ledek, saling ’hina’.

ANDREAS: Suatu saat, saya akan meninggal, mungkin sakit-sakitan dulu, mungkin juga mendadak mati. Namun bila saatnya tiba, saya ingin dikenang oleh anak kami, keluarga dan teman-teman kami sebagai suami yang setia mendampingi dan mencintai isterinya. Saya ingin kami berdua –meminjam syair The Alan Parsons Project—bersama-sama menjadi, ”old and wise.” Bersama-sama menjadi tua, bersama-sama menjadi bijak. Alan Parsons cerita tentang bagaimana sepasang cinta menghadapi terpaan hidup bersama-sama.


Foto-foto diciptakan oleh Mohamad Iqbal

Hoakiao dari Jember

Andreas Harsono

Namanya Ong Tjie Liang. Dia satu Hoakiao dari Jember, sebuah kota tembakau di sebelah timur Pulau Jawa. November lalu, menjelang pemilihan gubernur Aceh, saya bertemu lagi dengannya di Hotel Sultan di daerah Peunayong, Banda Aceh.

Saya memanggilnya “Liang.” Dia seorang travel writer. Saya pernah membaca laporannya soal Pulau Weh. Ketika bertemu di Aceh, dia bilang baru kembali dari Merauke di Papua. “Merauke datar, nggak ada pohon tua, semua bangunan baru, abu-abu, nggak ada sejarah.”

“Sabang jauh lebih punya sejarah,” katanya, mengacu pada kota di Pulau Weh.

“Mungkin zaman van Heutsz, Merauke tak sebesar dan seburuk sekarang. Transmigrasi besar-besaran dari Jawa (sejak 1980an) bikin Merauke berkembang tanpa kendali. Welek kabeh.”

Van Heutsz adalah Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz, perwira Belanda yang mengklaim bahwa Belanda menang dalam Prang Atjeh pada 1904 dan lantas memperkenalkan slogan “vom Sabang tot Merauke” atau “dari Sabang sampai Merauke.” Slogan ini belakangan dipakai Presiden Soekarno ketika hendak menduduki Irian Barat pada 1960an. Maka lagu terkenal ciptaan R. Surarjo “Dari Barat Sampai ke Timur” diubah jadi “Dari Sabang Sampai Merauke.”

Liang suka pindah-pindah isi pembicaraan. “Pernah coba makan bubur sapi depan Hotel Katulistiwa di Singkawang?” tanya Liang, ketika tahu saya sering ke Pontianak, tiga jam dari Singkawang. Ketika kenalan kami, Voja Miladinovic dari Sipa Press, butuh alamat di Manado, Liang mengeluarkan telepon seluler dan memberikan beberapa nama orang Minahasa, Sangir maupun Talaud.

Liang pernah menulis soal Hotel Turismo di Teluk Dili. Ini hotel indah, bersejarah, dibangun zaman Portugis. Pada November 1996, militer Indonesia curiga kehadirannya. Di hotel itu ada sekelompok aktivis hak asasi manusia dari Australia dan Irlandia, hendak memperingati penjagalan orang Timor oleh tentara Indonesia di kuburan Santa Cruz, November 1991. “George Toisuta memerintahkan kami semua meninggalkan Dili,” katanya. “Aku satu pesawat dengan orang Irlandia itu.” Toisuta kini panglima Kodam Siliwangi di Bandung. Dulu Toisuta malang melintang di Timor Leste, Aceh dan Papua.

Liang juga bolak-balik ke Ambon dan Ternate ketika apa yang disebut “perang agama” antara Islam dan Kristen bergejolak. Pendek kata, dia sering berada di tempat di mana ada pergolakan. Dia masuk ke basis Gerakan Acheh Merdeka di Pidie tapi juga blusak-blusuk di Biak, Wamena atau Timika. Dia mewawancarai Aung San Suu Kyi di Rangoon tapi juga Jose Ramos-Horta di Vancouver.

Orang yang kenal dia sering bingung dengan perjalanannya. Voja Miladinovic menyebut Tjie Liang, “A good writer who could sense the pulse of Indonesia and put it into words.” Marrissa Haque, seorang artis-cum-politikus, pernah bertanya kepadanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?” Liang tersenyum kecut ketika menunjukkan SMS Marissa kepada saya. “Masak aku dianggep CIA?” katanya.

Saya tertarik mengenal Liang karena ia berbeda dari stereotype Hoakiao di Indonesia. Mereka biasanya dianggap tak suka politik, lebih banyak kerja di bidang bisnis atau kerja sebagai dokter, arsitek, manajer atau pemain badminton. Mereka juga sering dianggap kaya. Licik. Egois. Tidak membaur. Kalau ada masalah melarikan diri. Mereka sering jadi kambing hitam bila terjadi krisis di kepulauan ini.

Saya lebih suka memakai kata “Hoakiao” atau overseas Chinese daripada kata “Cina” maupun “Tionghoa.” Baik “Cina” maupun “Tionghoa” secara linguistik tak membuat pembedaan antara orang macam Liang dengan orang-orang yang ada di daratan Tiongkok.

“Tionghoa” atau “Zhonghoa” artinya “orang (kerajaan) Tengah.” Zhongguo adalah nama Republik Rakyat Tiongkok dalam bahasa Mandarin. Nama “Cina” berasal dari kata dinasti Cin. Nama “Cina” resmi dimaksudkan untuk menghina pada zaman Presiden Soeharto. “Hoakiao” (padanannya “Huaren” maupun “Huayin”) lebih cocok untuk orang macam Liang. Charles Coppel, yang menulis disertasi The Indonesian Chinese in the Sixties: A Study of an Ethnic Minority in a Period of Turbulent Political Change, belakangan memilih menyebut mereka dalam bahasa Inggris “Chinese Indonesian” (bukan Indonesian Chinese). Artinya, mereka lebih “Indonesia” daripada “Chinese.” Novelis Pramoedya Ananta Toer memakai kata “Hoakiao” dalam bukunya Hoakiao di Indonesia. Saya kira panggilan “Hoakiao” lebih cocok walau saya juga tak kaku pada pemakaian “Cina” maupun “Tionghoa.”

Liang menarik sebagai bahan studi kasus karena dia lahir pada 1965 ketika Soeharto mulai naik kuasa dan melarang semua yang berbau Cina maupun Hoakiao. Soeharto membunuh lebih dari tiga juta warga Indonesia. Mereka dianggap komunis. Sekolah-sekolah mereka ditutup. Bahasa Mandarin tak boleh muncul. Ada larangan membawa buku atau cetakan dengan karakter Mandarin. Mereka dipaksa mengganti nama mereka. Mereka tak boleh merayakan Imlek. Mereka harus minta surat kewarganegaraan Indonesia walau mereka lahir di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan sebagainya. Walau mereka lancar bahasa Jawa, Melayu, Madura dan lain-lain, mereka dianggap “keturunan asing.”

Kini sesudah Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya, diskusi soal orang-orang macam Tjie Liang bisa dibicarakan lebih terbuka. Presiden Abdurraman Wahid mengizinkan kebudayaan Hoakiao dipertunjukkan kembali: bahasa Mandarin, tahun baru Imlek, agama Khong Hu Chu dan sebagainya. Saya ingin tahu bagaimana generasi Hoakiao ini memandang dirinya sendiri? Bagaimana generasi yang hilang ini memandang diskriminasi terhadap diri mereka?



Bila Anda naik mobil dari Surabaya menuju Jember, Anda akan menelusuri Sungai Bondoyudo di daerah perkebunan tebu Jatiroto. Sepanjang jalan ada rel dan lori tebu. Ada sawah-sawah. Ini mengingatkan saya pada gambaran perkebunan gula dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya.

Pusat kota Jember biasa disebut “Jalan Raya.” Disana ada macam-macam toko dengan sebuah alun-alun serta dua masjid besar. Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, kabupaten Jember punya 2.2 juta penduduk di mana 98.6 persen Muslim. Orang Hoakiao Jember kebanyakan beragama Kristen atau Buddha. Ada sedikit yang beragama Islam. Mereka tinggal di daerah perdagangan, baik di Jember atau kota-kota kecil semacam Kalisat, Ambulu atau Balung. Mereka golongan minoritas. Jumlahnya, saya perkirakan kurang dari 10,000 orang atau kurang dari 0.5 persen.

Penduduk kota Jember kebanyakan bicara bahasa Jawa atau Madura. Bahasa Jawa dialek Jember agak beda dengan Jogjakarta atau Solo. Orang Jember memakai kata “koen” atau “kowe” untuk panggilan orang kedua. Oleh-oleh khas Jember adalah tape (singkong yang diragikan) atau suwar-suwir (manisan dari tape, rasanya empuk-empuk manis).

Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850an ketika George Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Menurut seorang buyutnya, novelis Alfred Birney, George Birnie menikah dengan Rabina, perempuan Jawa, dan mengirim anak-anaknya ke negeri Belanda untuk studi. Salah satu di antaranya adalah Willem Birnie, kakek Alfred Birney.

“Keluarga Birnie dulu keluarga kaya di Jember,” kata Jacoba Jasina Maria Vink, seorang pensiunan guru Jember. Bapaknya, Gerardus Hermanus Vink, tiba di Jember dari Belanda pada 1910 untuk bekerja di Landbouw Maatschapij Oud Djember milik keluarga Birnie. Vink senior menikah dengan perempuan Jawa. Jacoba kelahiran 1918. Dia kenal betul perubahan Jember dari zaman Belanda, Jepang dan Indonesia.

George Birnie juga menanam kopi, coklat, kelapa dan sebagainya. Kehadiran Birnie memancing pengusaha lain ikut membuka perkebunan. Pada 1950an, perkebunan-perkebunan ini disita pemerintah Indonesia dan dijadikan perkebunan negara.

Salah satu toko di Jalan Raya bernama Toko Sinar, milik keluarga besar Ong Tjie Liang. Di sampingnya, ada Toko Juli, milik Ong Seng Hwie, empeknya Tjie Liang (empek dalam bahasa Hokkian artinya “paman tua”). Di kedua toko inilah saya mendapat cerita tentang asal-usul keluarga Liang. Toko-tokonya sangat sederhana. Meja dan almari dari kayu tua. Penerangan redup. Toko Sinar menjual alat listrik. Toko Juli menjual radio dan tape recorder.

Hwie mengatakan orang tuanya bernama Ong Kong Swie dan Yauw Siauw Tja. Swie berasal dari desa bernama Kang Tauw, distrik Bo Chan, daerah Hen Hwa di Hokkian, selatan Tiongkok. “Itu daerah miskin, nggak ada industri,” katanya. Kebanyakan orang Hokkian jadi petani atau nelayan. Kakeknya Hwie bernama Ong Kie Soen. Kuburannya ada di Kang Tauw. Siauw Tja sendiri berasal dari desa Hwi Aua, distrik Bo Chan.

Pada 1925, pasangan ini naik kapal via Xiamen menuju Surabaya. Tujuannya, rumah kakak Swie, bernama Ong Kong Siang, yang membuka bengkel sepeda di Mojokerto, selatan Surabaya.

Swie pun ikut mengelola bengkel. Dia sempat pindah ke Banyuwangi, di mana Hwie lahir pada 1928. Namun pada 1930 mereka kembali ke Mojokerto ketika Siang memutuskan kembali ke Tiongkok. Swie mengambil alih bengkel kakaknya di Mojokerto. Pada 1930, Siauw Tja melahirkan anak laki-laki lagi, diberi nama Ong Seng Hwa.

Pada 1932, Swie memutuskan pindah ke Jember dari Mojokerto. Hwa mengatakan pada saya bahwa empek dan papanya mulanya punya kongsi di Jember. Namun kongsi ini pecah dengan rekan dagang mereka. Swie pun pergi ke Jember guna mengurus bengkel dan toko sepeda bernama “Han Gwan Hin.”

Waktu itu, Jember berkembang pesat berkat perkebunan dan pertanian tembakau. Keluarga Birnie membuka jalur lelang tembakau langsung di Amsterdam. Toko “Han Gwan Hin” ikut berkembang dalam pertumbuhan ekonomi ini. Belakangan saudara misan Swie, bernama Ong Kong Ling, ikut menyusul ke Jember dan membuka home industry kembang tahu. Kelak kedua keluarga Ong ini memiliki ratusan keturunan di Jember. Namanya manusia, mereka kawin campur, dengan orang Hakka, Jawa, Madura dan sebagainya. Agamanya juga macam-macam, dari Khong Hu Chu sampai Islam.

Bagaimana menerangkan keluarga pendatang ini di Pulau Jawa? Leo Suryadinata dalam buku The Culture of the Chinese Minority in Indonesia membuat dua kategori orang Hoakiao: peranakan dan totok. Dua kategori ini mulai muncul pada awal abad XX ketika migrasi orang Cina ke Jawa meningkat.

Menurut Suryadinata, kaum peranakan atau babah kebanyakan tak menguasai bahasa etnik mereka, entah Hokkian, Hakka atau Teochiu. Ada sedikit yang bisa bahasa Mandarin, satu dari lima bahasa resmi Perserikatan Bangsa-bangsa. Mereka relatif tinggal lebih lama di Pulau Jawa. Mereka mengirim anak-anaknya ke sekolah dengan kurikulum Belanda. Orientasi kewarganegaraan mereka adalah Belanda. Mereka bekerja sebagai profesional, dokter, arsitek, penulis dan sebagainya.

Misalnya, anak George Birnie, Willem, sesudah berpisah dari isteri Belandanya, kawin tanpa ikatan pernikahan resmi, dengan seorang perempuan peranakan bernama Sie Swan Nio. Mereka punya lima anak, semuanya lahir di Surabaya, antara 1912 dan 1925. Ayah novelis Alfred diberi nama Adolf Sie. Dia seorang peranakan Indo-Tionghoa.

Beda dengan peranakan, kaum totok orientasinya ke Tiongkok. Anak-anak totok sekolah bahasa Mandarin. Mereka juga menguasai bahasa Mandarin atau bahasa etnik. Agamanya kebanyakan Khong Hu Chu. Ini berbeda dengan kaum peranakan yang cukup banyak beragama Katholik atau Protestan. Pekerjaan totok kebanyakan berdagang. Keluarga Ong adalah keluarga totok. Mereka memelihara rumah abu moyang mereka. Mereka memakai dua bahasa: Hokkien dan Melayu. Di Jember, Siauw Tja melahirkan lima anak lagi sehingga total ia memiliki lima putra dan tiga putri. Anak-anak ini bisa bahasa Madura dan Jawa.

Menurut Hwie, papanya berwatak sedikit keras. “Kerja apa saja mau dia. Seperti becak, itu khan kerjaan nggak enak. Dia bisa berhasil kerja,” kata Hwie. Belakangan Swie menjadi juragan becak.

Pada 1936, Siang meninggal dunia di Tiongkok. Pada awal 1941, Swie pergi ke Tiongkok untuk urusan keluarga kakaknya. Ketika suaminya pergi, Siauw Tja hamil anak bungsu mereka. Anak ini lahir pada 18 November 1941 dan dinamai Ong Seng Kiat. Dialah yang kelak menjadi ayah Ong Tjie Liang.

Beberapa bulan sesudah kelahiran Seng Kiat, Jepang menyatakan ikut Perang Dunia II dengan menyerang pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Jepang segera menduduki Asia Tenggara. Kehidupan ekonomi dan sosial di Hindia Belanda porak-poranda. Di Jember, bahan makanan dan pakaian sulit sekali didapat. Perkebunan banyak tak berjalan karena banyak pegawai administrasi ditangkap Jepang.

Jacoba Jasina Maria Vink mengatakan bahwa bapaknya meninggal dalam tahanan (intern) Jepang di Ambarawa, dekat Jogjakarta. Rumah mereka dirampas “pemuda” –maksudnya milisi Indonesia. Jacoba Vink dan saudara-saudaranya ditahan bersama sekitar 300 orang Belanda di Kotok, sebuah perkebunan dekat Jember. “Besar sekali sentimen terhadap orang Indo,” kata Jacoba.

“Kalau sini jalan, nggak punya sepatu dimakan rayap. Mau jalan ke gereja dibilang, ‘Oh iku senuk Jepang,’” kata Vink, artinya, “Oh itu pelacur Jepang.”

Yauw Siauw Tja bekerja keras menghidupi ketujuh anaknya. Putri sulungnya kebetulan sudah menikah dan tinggal di Banyuwangi. Menurut Ong Seck Nio, adiknya Hwa, mama mereka membuat kue keranjang dan telor bebek asin. Remaja Hwie berjualan ikan asin di daerah Puger, sebuah perkampungan nelayan. Hwa dan Seck Nio berjalan kaki menjajakan telor asin dan kue keranjang. “Jalan sampai Patrang,” kata Seck Nio kepada saya. Patrang waktu itu daerah pinggiran kota Jember.

Hwa dan Seck Nio juga harus membantu mengasuh adik-adik mereka, yang masing-masing hanya terpaut satu tahun. Pada 1945, ketika Seck Nio berumur 13 tahun, dia diminta ikut kakaknya, Ong Seck Eng, pindah ke Banyuwangi, mengasuh anak-anak Seck Eng.

Perang Dunia II membuat hubungan kapal laut antara Tiongkok dan Jawa terputus. Pada Agustus 1945, Soekarno dan Mohamad Hatta, dua tokoh nasionalisme Indonesia, menyatakan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Belanda tidak terima. Belanda dan Indonesia berunding, diwarnai perselisihan militer, hingga 1949, ketika Hatta menerima penyerahan kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat di Den Haag.

Ong Kong Swie tak bisa keluar dari Tiongkok untuk kembali ke Jember. Dia menikahi janda kakaknya di Tiongkok. Baru pada 1948, ketika suasana perang pelan-pelan mereda, Swie naik kapal ke Medan lalu kereta api ke Jakarta dan Surabaya. Seng Kiat pertama kali menjemput papanya pada umur tujuh tahun. “Dia takut pulang ke Jember, punya salah,” kata Seng Kiat.



Ong Seng Kiat tumbuh dewasa di Jember. Dia pandai bergaul, suka bergurau, suaranya besar dan punya banyak sekali kenalan –Hoakiao, Hakka, Madura, Jawa, Osing dan sebagainya. Dia bisa bahasa Melayu, Jawa, Madura, Mandarin, Hakka dan Hokkian. Nama “Seng Kiat” –banyak orang susah mengeja nama-nama Hoakiao— secara alamiah disederhanakan dalam pergaulan menjadi “Sengkek.”

Sengkek sempat mengecap bangku sekolah menengah di Surabaya namun kelas dua sudah keluar. “Ngerpek (mencontek) ketemu diusir,” kata Sengkek. Sengkek dikeluarkan dari sekolah bersama kakaknya, Seng Hay, yang lebih tua setahun. Kakak sulungnya, Hwie, menyayangkan adik-adiknya tak sekolah dengan benar. Dia mengatakan pada saya bahwa wajar bila anak-anak tertua --macam dirinya, Hwa dan Nio-- sekolahnya kacau karena zaman perang. “Mama terlalu memanjakan anak-anaknya,” kata Hwie, mengeluh soal adik-adiknya.

Pada 5 Maret 1963, Ong Kong Swie, setelah 15 tahun kembali hidup di Jember, meninggal dunia. Sengkek menikahi tunangannya, Tjen Ie Lan, seorang perempuan Hakka, di depan peti jenasah papanya. Sengkek percaya lebih baik menikah depan jenasah orang tua daripada menunda pernikahan. Swie dimakamkan di kuburan orang Hoakiao di Kaliwates, Jember. Sengkek memutuskan berdagang alat-alat listrik, mengubah nama “Han Gwan Hin” menjadi Toko Sinar. “Modal cuma Rp 137,500,” kata Sengkek.

Tjen Ie Lan, isteri Sengkek, seorang perempuan kelahiran Kalisat tahun 1943. Orang tuanya, Tjen Tek Jong dan Tan Bing Lien, berasal dari distrik Ta Bu, provinsi Hakka di Guang Dong, selatan Tiongkok. “Kebanyakan disana soro (sengsara), ke Jawa cari kehidupan baru,” kata Tjen Ie Ing, kakak perempuan Ie Lan, kepada saya.

Alasan klasik. Para imigran di seluruh dunia, dari Amerika hingga Afrika, mencari penghidupan lebih baik ketika suasana di kampung halamannya susah. Ketika masih berumur belasan tahun, Tek Jong berangkat dari Guang Dong menuju Hongkong. “Agak lama di Hongkong, terus Singapore lalu Jakarta,” kata Ie Ing.

Pada 1924, ketika baru berumur 17 tahun, Tek Jong tiba di Surabaya dan memutuskan berdagang di daerah perkebunan tembakau di Kalisat, dekat Jember. Dia juga mengundang ayahnya datang ke Kalisat namun si ayah tidak kerasan dan kembali ke daratan Tiongkok.

Sepuluh tahun di Kalisat, Tek Jong “mengimpor” calon isteri dari Tiongkok lewat bantuan seorang mak comblang. Tan Bing Lien baru berumur 19 tahun ketika tiba di Kalisat. Dia juga baru pertama kali bertemu calon suaminya. Perempuan ini mungil, biasa kerja keras, anak yatim. Mereka menikah dan dikarunia dua putra dan dua putri.

Ada seseorang yang membuat perubahan besar dalam keluarga Tjen dan kelak pada kehidupan Tjie Liang. Pada 1939, sebuah gereja Pantekosta di Surabaya mengundang seorang penginjil dari Tiongkok. Namanya, Dr. John Sung, yang terkenal di daratan Tiongkok dan Asia Tenggara.

John Sung sebelumnya kuliah di Wesleyan University di Ohio, Amerika Serikat, lalu meraih Ph.D. di bidang kimia di Ohio State University. Dia mahasiswa cerdas. Gelar master dan doktor dicapainya hanya dalam 30 bulan. Namun kehidupan John Sung makin hari makin kristen. Dr. John Sung lalu memutuskan kuliah theologi di Union Theological Seminary di New York. Namun dia tak suka dengan pendekatan ilmiah di sekolahnya. Agama kok dilihat dengan nalar? Pada 1927, dia pulang ke Tiongkok. Di kapal, dia terus-menerus berdoa, akhirnya memutuskan membuang semua ijasah, sertifikat dan medali penghargaannya ke laut. Walau bisa membangun karir dan menjadi kaya raya sebagai pejabat dalam birokrasi Kekaisaran Tiongkok, John Sung memutuskan jadi pengkhotbah miskin.

Caranya berkhotbah tergolong spektakuler. Dia menyanyi, berkhotbah, menangis, berkhotbah, menyanyi, biasanya selama dua jam, tiga kali sehari! John Sung pernah membawa peti mati ke dalam gereja, lalu berteriak, “Cari uang, cari uang, angkat peti mati ini.” John Sung pun lantas masuk ke dalam peti. Maksudnya, dia mengkritik orang Cina yang cuma cari uang, lupa urusan agama dan kematian. Cara-caranya berkhotbah menimbulkan sensasi. Di Surabaya, dia mempengaruhi banyak orang Hoakiao, termasuk suami-isteri Tek Jong dan Bing Lien, masuk agama Kristen.

Ie Lan lahir ketika orang tuanya sudah Kristen. Dua tahun sesudah menikah, Ie Lan melahirkan putra sulungnya, Ong Tjie Liang. Mereka tinggal di sebuah rumah dalam sebuah gang sempit. Sengkek sibuk mengelola Toko Sinar. Ie Lan jadi ibu rumah tangga sekaligus membantu suaminya di toko.

Tiga minggu sesudah kelahiran Liang, pada 1 Oktober 1965, sekelompok tentara dari Divisi Diponegoro dan Tjakrabirawa, menculik dan membunuh beberapa jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Para penculik diduga perwira-perwira binaan Partai Komunis Indonesia. Maka Jenderal Soeharto memimpin suatu penumpasan golongan kiri, yang termasuk paling berdarah di dunia. Pulau Jawa banjir darah! Antara dua hingga tiga juta orang dibunuh tanpa lewat proses pengadilan. Di Jember, belasan orang mengatakan pada saya bahwa mereka sering melihat mayat mengapung di sungai. Banyak mayat tanpa kepala.

Suasana chaos. Ie Lan mengungsi sementara ke Surabaya. Sengkek sering meninggalkan Ie Lan sendirian di rumah. Sengkek ternyata juga sering memukul Ie Lan bila bertengkar. Ie Lan mengatakan pada saya bahwa dia merasa “lahir baru dan percaya Yesus” pada periode ini. Dia berubah dari orang Kristen formal menjadi Kristen Lahir Baru. Ie Lan lantas rajin pergi ke gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tjong Hwee cabang Jember. Ini sebuah gereja Hoakiao, didirikan sejak zaman Belanda, dengan nama Bond Kristen Tionghoa. Ie Lan rajin membantu pekerjaan gereja.

Pada awal 1970an, Soeharto sudah membungkam semua lawan politiknya. Ratusan ribu aktivis kiri diasingkan di Pulau Buru. Amerika Serikat dan Inggris diam saja melihat pelanggaran demi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Mereka menganggap Soeharto sekutu penting mereka dalam menghadapi komunisme. Soeharto membuka pasar Indonesia terhadap modal Barat. Freeport McMoran membuka tambang raksasa di Papua. Ekonomi tumbuh. Geliat ekonomi ini juga membuat perkebunan-perkebunan Jember bergerak lagi. Lelang tembakau pindah dari Amsterdam ke Bremen, Jerman. Sengkek dan Ie Lan membeli sebuah rumah besar kolonial Belanda. Kehidupan mereka pun mulai makmur. Ada mobil, liburan ke pantai, punya villa di gunung, makan-makan dan sebagainya.

Namun Soeharto memperkenalkan pendekatan baru terhadap apa yang disebutnya “masalah Cina.” Dia hendak menciptakan berbagai macam aturan. Intinya, tiga buah pilar kebudayaan Hoakiao akan dipangkas: media berbahasa Mandarin, sekolah-sekolah Hoakiao serta organisasi sosial dan politik kaum Hoakaio.

Mulanya, sesudah Indonesia berdaulat, ada dua aliran pemikiran di kalangan tokoh Hoakiao tentang posisi Hoakiao. Indonesia sudah jadi negara merdeka. Belanda sudah tak kuasa di Batavia lagi. Tiongkok adalah tanah leluhur tapi bukan tanah air mereka.

Aliran pertama, mempromosikan kebijakan “integrasi” dimana orang Hoakiao tetap bebas memiliki kebudayaan mereka. Nama Hoakiao macam Ong Tjie Liang bisa tetap dipakai. Agama Khong Hu Chu, sekolah bahasa Mandarin dan sebagainya sah dipertahankan. Aliran ini didukung oleh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dengan tokoh Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien. Baperki gencar mengkritik berbagai kebijakan politik “asli” yang tumbuh subur di Pulau Jawa dan Sumatra sejak awal 1950an. Baperki berpendapat, dalam kebangsaan sejati, setiap warga punya hak dan kewajiban sama, tanpa pandang bulu etnik atau agamanya.

Aliran kedua bicara soal “asimilasi” atau “pembauran” dimana orang Hoakiau dianjurkan ganti nama. Mereka ingin kebudayaan Hoakiao membaur dengan apa yang disebut “penduduk asli.” Tujuannya, kaum minoritas Hoakiao kelak tak lagi akan menjadi suatu kelompok 
tersendiri. Organisasinya bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Tokoh-tokohnya, K. Sindhunata, Junus Jahja, P.K. Ojong, Onghokham, Harry Tjan Silalahi dan Soe Hok Gie.

Debat ini lalu campur baur dengan politik. Baperki mendekat ke Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Yap Thiam Hien tak setuju dengan kebijakan ini. Dia keluar dari Baperki. LPKB mendekat ke golongan kanan dan militer. Ketika Soeharto menghancurkan golongan kiri dan Soekarnois, tak ayal lagi, Soeharto juga menumpas Siauw dan kawan-kawannya. Ratusan sekolah Hoakiao ditutup. Kebudayaan Hoakiao dilarang. Mereka disuruh untuk ganti nama. Bahasa Mandarin dilarang. Anak Hoakiao dibatasi untuk masuk ke birokrasi, militer dan universitas. Kelenteng-kelenteng Khong Hu Chu diganti jadi vihara Buddha. Soeharto juga minta semua orang Hoakiao memiliki surat kewarganegaraan Indonesia. Surat-surat ini, dari surat ganti nama hingga kewarganegaraan, kelak jadi ajang pemerasan.

Namun Soeharto menekankan kebijakannya pada pembangunan ekonomi. Selama Soeharto berkuasa, muncul beberapa ratus konglomerat. Kebanyakan pengusaha Hoakiao. Kesannya, Hoakiao adalah sekutu Soeharto. Media membantu menciptakan kesan bahwa semua orang Hoakiao kaya dan segelintir konglomerat itu –termasuk Sudono Salim Prajogo Pangestu, Bob Hasan-- adalah "wakil" masyarakat Hoakiao. Kebencian terhadap Hoakiao terkadang muncul dari pembantu-pembantu Soeharto lewat media dan militer. Ada menterinya bilang bahwa jumlah orang Hoakiao hanya tiga persen di Indonesia, namun menguasai 90 persen ekonomi Indonesia. Kemiskinan pun disalahkan pada golongan Hoakiao.

Debat “integrasi” versus “asimilasi” itu, tentu saja, tak melibatkan Hoakiao Jember. Kebanyakan Hoakiao Jember tak terlibat politik. Mereka super minoritas. Namun dampaknya terkena juga. Antara 1965 dan 1966, rezim Soeharto merampas sekolah-sekolah Mandarin di Jember. Toko-toko Hoakiao ada yang diambil. Pada 1971, Sengkek mengambil keputusan mengganti namanya. Dia menemui seorang guru Jawa, kenalannya di Jember, untuk dicarikan nama Jawa. Ratusan Hoakiao lain juga mengganti nama mereka.

Sekolah Mandarin sudah ditutup ketika Liang kecil mulai sekolah. Sengkek dan Ie Lan mengirim Liang ke sekolah Katholik. Ie Lan sebenarnya kurang suka pada ajaran Katholik. Dia menganggap orang Katholik “menyembah patung” –ini tuduhan khas orang Protestan terhadap patung Bunda Maria. Tapi SD Katholik Maria Fatima termasuk sekolah terbaik di Jember. Sengkek suka karena sekolah ini disiplin.

Suatu pagi, kelasnya Liang pergi main sepak bola di alun-alun. Liang ternyata tidak ada. “Aku lihat dia duduk di bawah pohon, baca buku,” kata Ie Lan, mengenang masa kecil anak sulungnya. Salah seorang guru Liang, tak lain tak bukan adalah Jacoba Maria Vink, orang Indo-Belanda, yang kebetulan juga tetangga Sengkek. “Aku bangga ketika ujian, murid-muridku dapat nilai 10 semua,” kata Vink.

Saya beruntung Liang mengizinkan saya membaca semua buku harian miliknya. Liang rutin menulis kegiatannya, hampir setiap hari, sejak berumur 12 tahun ketika dia melanjutkan di SMP Katholik Maria Fatima. Buku harian ini menggambarkannya sebagai anak biasa, suka main basket (Rabu-Jumat) dan badminton (Selasa-Kamis). Suka nonton bioskop, entah di gedung Jaya, Kusuma atau Sampurna. Dia mencatat judul-judul film tontonannya: Special Magnum, Jalal Kawin Lagi, Savage Weekend, Midnight Express, Killer Dogs, Inem Pelayan Sexy, Game of Death. Buku-buku bacaannya mulai serius. Dia membaca biografi Soekarno, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, John Sung, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie.

Setiap pagi dia sekolah, siang menjaga toko, sore main basket, malam nonton bioskop. Dia terkesan ketika nonton final World Cup di televisi hitam-putih antara kesebelasan Argentina dan Belanda di Buenos Aires pada 1978. Ini siaran langsung pertama World Cup di Pulau Jawa. Argentina, dengan jagoannya Mario Kempes, menang 3-1.

Liang sering menyebut nama keempat adiknya: Jinjin, si kembar Tantan dan Chenchen serta Bingbing. Mereka sering main bersama: kejar-kejaran, petak umpet, debukan dan lain-lain. Debukan< adalah permainan tradisional anak-anak Jember. Intinya, sebuah bola kasti dipakai untuk melempar pemain. Pemain yang kena lempar harus mendebuk pemain lainnya. Kegemaran Liang adalah memelihara ikan, burung berkicau dan merpati. Dia mencatat kapan beli uget-uget (makanan ikan) atau kroto (makanan burung). Dia punya lebih dari dua lusin burung.

Ketika umur 13 tahun, dia mencatat bahwa dia mulai les bahasa Inggris setiap sore (Senin-Rabu-Jumat) di Hur’s English Course. “22 Mei 1979: pakai celana panjang pertama kali,” tulisnya. Dia bangga. Maklum bila sekolah, murid-murid masih pakai celana pendek. Namun suatu saat, dia terlalu cepat menutup ritssluiting celana sehingga “burungnya” terjepit. Sakitnya minta ampun. Butuh waktu sekian menit untuk pelan-pelan membuka kembali ritssluiting itu. Untung “burung khusus” itu tidak berdarah.

Ada juga kisah sedih. Pada 1979, hubungan Ie Lan dan Sengkek makin jelek. Sengkek terlibat affair dengan Winarti, seorang guru Jawa Protestan, yang mengajar di sekolah milik Kie Tok Kauw Tjong Hwee. Ie Lan memutuskan pergi sementara ke Lawang, dekat Malang, untuk menenangkan diri dan belajar theologi di Institut Theologi Alkitab.

Sengkek menikahi Winarti. Ie Lan tak berani menggugat cerai mengingat lima anaknya. Ironisnya, Ie Lan dan Winarti hamil bersamaan. Ie Lan melahirkan anak bungsunya, Ie-ie, pada 1979 dan Winarti melahirkan Deasy pada 1980. Liang menemani mamanya ketika melahirkan adik bungsu. Sengkek tak menengok bayinya. Winarti tinggal di villa mereka di Rembangan, daerah peristirahatan dekat Jember. Liang dan adik-adiknya tinggal di Jember.

“Mama pergi dengan Bingbing. Saya menangis jika memikirkan ini. Untuk melupakan, saya bermain debukan,” catat Liang.

Sengkek juga pernah memukul anak-anaknya. “Saya dipukul Papa sebab salah beli cat tembok. Teguh ganti Rp 1,150,” tulisnya. Teguh adalah Teguh Sugianto, seorang pegawai Toko Sinar. Namun Liang juga memukul adik-adiknya.

Dalam buku hariannya, Liang sering mencatat keakrabannya dengan beberapa karyawan papanya termasuk Teguh, seorang yatim piatu, lelaki Hoakiao asal Pekalongan, kulitnya gelap sekali. Ada juga Sapek atau Man Tuka, seorang tukang listrik Madura. Ada juga Mbek Wi, perempuan Madura kelahiran Kalisat. Bek Wi, seorang janda, merawat Liang dan adik-adiknya, dari bayi hingga dewasa. Man Tuka dan Bek Wi bekerja sejak Liang belum lahir hingga pensiun. Mereka sering tak tega melihat anak majikannya dipukul hanya karena salah kecil. Ada juga Pak Ti, orang Jawa, pendiam, khusus menangani burung dan ayam peliharaan. Liang mencatat bahwa Bek Wi selalu mengerokinya bila ia sakit. Liang terbaca suka sekali pada Man Tuka dan Bek Wi.

Pada 7 Maret 1981, Liang mengisi buku hariannya: “Waktu selesai ujian teori seni suara, saya mau mengambil sepeda di tempat sepeda. Ada sebuah kaleng bekas tempat susu (kental). Kaleng saya tendang, tanpa saya ketahui bahwa ada Pak Moel (guru sejarah Aloysius Moeljoto).”

“Saya kemudian dipanggil. Ditanya: Tahu aturan atau tidak?”

“Saya jawab, ‘Tahu.’ Tiba-tiba saya ditempeleng dan hilanglah kacamata saya hancur berkeping-keping.”

“Kemudian dia menarik saya masuk dalam kelas. Kemudian dia berkata, “Pecah atau tidak naik kelas?”

“Saya menangis, saya tentu menjawab pecah. Tapi pulangnya, hati saya berontak.” Moeljoto mengancam Liang tidak naik kelas bila melaporkan kejadian itu.

Dua hari kemudian, Suster Maria Anneti, kepala sekolah SMP Maria Fatima, memanggil Liang ke ruangnya. Liang menulis, “Di kantor, suster bertanya soal kemarin dulu. Dia mengatakan bahwa menurut Pak Mul, anjing itu, ia hanya akan menyentuh kepala saya untuk menjorokkan saya. Tapi bersamaan dengan itu saya bergerak.”

“Saya bantah dengan mengatakan bahwa kacamata saya jatuh kurang lebih tiga meter dari tempat berdiri. Suster tetap mengatakan bahwa saya tetap bersalah karena menendang kaleng.”

Inilah pertama kali Liang merasakan ketidakadilan. Seorang guru memukul murid lalu berbohong. Ada lebih dari 40 murid melihat namun tak ada satu saksi pun ditanyai. Suster Anneti membela Moeljoto. Liang pun memutuskan membalas dengan caranya sendiri. Hari itu, dia memecahkan kaca toilet sekolah dengan tangannya sendiri!

Saya sedih membaca buku-buku harian Liang periode 1979-1982, sesudah pernikahan kedua Sengkek. Dia jadi anak yang sering merasa tertekan. Dipukul papanya sendiri, dipukul gurunya sendiri. Buku-bukunya penuh dengan detail. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa buku harian inilah tempat latihan Liang berlatih menulis pertama kali. Dia memaki Moeljoto dan Sengkek dengan kata-kata yang kasar. Namun dia juga menulis puisi dalam bahasa Melayu maupun Inggris. Ketika pergi ke Jember, saya hendak menemui Moeljoto, ternyata dia meninggal terkena stroke Juni 2004.

Pada 1982, ketika Liang lulus sekolah, Ie Lan mengambil keputusan penting. Dia membujuk suaminya mengirim Liang ke sekolah Katholik di Malang. Namanya, SMA Katholik Sint Albertus. Ie Lan menitipkan Liang kepada teman dekatnya, sebuah keluarga Hoakiao asal Samarinda, yang punya rumah di Malang dan Lawang.



Sint Albertus sebuah sekolah Katholik milik Ordo Carmel. Ia didirikan 1936 oleh pastor-pastor Belanda. Bangunannya jauh lebih besar, lebih tua dan lebih elegan dari sekolah-sekolah di Jember. Waktu Liang masuk, sekolah ini dipimpin E. Siswanto, seorang pastor Jawa, biasa dipanggil "Romo Sis" –seorang legenda dalam dunia pendidikan. Sekolah ini juga dikenal dengan nama SMA Dempo karena terletak di Jalan Dempo. Alumni sekolah ini cukup beragam. Ada novelis Y.B. Mangunwijaya, tapi juga Jenderal Rudini, mantan kepala staf Angkatan Darat Indonesia.

Ie Lan mengantar Liang mondok di rumah keluarga Joseph Kumala: Jl. Argopuro 25, Lawang. Liang sedih meninggalkan orang tua, adik-adik dan teman-temannya di Jember. Ketika Ie Lan pulang ke Jember, Liang mengantar ke pintu gerbang. Lalu Liang masuk ke kamar dan menangis sendirian.

Usia Liang baru 16 tahun. Dia belum pernah sekali pun tinggal jauh dari keluarga. Dia merasa sedih meninggalkan mamanya, yang sering bertengkar dengan papanya. Keluarga Kumala menyediakan sebuah kamar kecil, 1.5x2 meter, mungkin bekas gudang. Kamar bersih. Ada ranjang besi dan lemari pakaian mungil. Halaman rumah luas. Ada sekitar dua lusin pohon buah. Tante Kumala suka menanam bunga.

Namun perlahan-lahan Liang mulai menyukai sekolah baru ini. Jalan Dempo sebuah kawasan peninggalan Belanda. Banyak pohon-pohon dan jalan, yang aman untuk anak-anak sekolah berjalan setiap pagi dan siang.

Setiap pagi, sekitar pukul 6:00, Liang diantar mobil ke Malang. Mobil Colt Mitsubishi itu juga dipakai untuk antar jemput anak sekolah. Keluarga Kumala punya rumah di Malang. Liang lebih sering tinggal sendirian di rumah Lawang.

Beberapa bulan kemudian, satu keluarga missionaris dari Pusan, Korea, Han Soong In, ikut tinggal di rumah besar ini. Han dosen Institut Theologi Aletheia, tempat mamanya pernah kuliah, yang terletak hanya lima rumah lagi dari rumah Kumala. Keluarga Han punya dua anak kecil.

Aneh juga, Liang menumpang di rumah orang, lalu ada keluarga Korea menempati rumah utama. Kikuk juga. Liang tak tahu banyak soal pergaulan. Pengalaman itu membuat Liang belajar banyak. Bagaimana harus membawa diri? Bagaimana berhadapan dengan orang yang latar belakangnya berbeda? Bagaimana belajar toleran?

Di Lawang, Ie Lan mengantar Liang ke Gereja Kristus Tuhan, nama baru gereja Kie Tok Kauw Tjong Hwee, yang tentu saja, juga harus ganti nama. Gereja ini hanya terletak empat rumah dari pondokannya. Liang bahkan pernah jadi ketua perkumpulan pemuda gereja ini.

Liang jatuh cinta pada perpustakaan sekolah. Liang mulai meminjam buku-buku yang kelak ternyata mempengaruhi caranya memandang dunia. Novel kesukaannya, karya Albert Camus, Pearl S. Buck dan Somerset Maugham. Semua karya-karya klasik dibaca. Dia juga tertarik pada Perang Vietnam. Foto-foto perang tersebut sangat mengesankannya. Namun juga ada roman picisan. Dia menguasai bahasa Inggris, cukup guna membaca novel-novel itu.

Suatu hari, Romo Sis mengumumkan di loud speaker bahwa mulai bulan lalu dipilih murid, yang paling banyak meminjam buku perpustakaan. Murid tersebut akan diberi penghargaan. Dia menyebut nama Liang sebagai peminjam buku terbanyak. Liang terkejut. Pengumuman itu sangat mengesankan dirinya. Guru-guru, wali kelas dan teman-temannya memberi ucapan selamat.

Minat Liang sebenarnya pada ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Namun awal 1982, Liang hanya seorang remaja yang tak tahu banyak tentang luasnya dunia. Liang kesepian dan tak banyak yang dikerjakan di luar sekolah dan gereja. Liang hanya berpikir menurut kebanyakan temannya. Murid pandai harus masuk ilmu alam.

Maka Liang pun masuk jurusan ilmu alam. Ini keputusan yang tak tepat. “Aku tidak menyesal masuk jurusan ilmu alam tapi terkadang aku pikir bagaimana hari ini bila sejak sekolah menengah memilih ilmu sosial?” katanya.

Liang suka ikut kegiatan olah raga. Buku hariannya mencatat dia bermain basket dan saat kelas dua jadi pengurus klub olah raga sekolah. Tanggungjawab ini dipegangnya hingga lulus. Setiap minggu, minimal dua sore, Liang berurusan dengan lapangan basket. Namun kadang-kadang, diajak ikut acara aneh-aneh. Liang pernah ikut lomba topeng, didandani macam make up kelompok musik Kiss. Pada Hari Kartini, dia ikut lomba “Parade Bencong” –didandani jadi perempuan. Teman-temannya tak sadar kalau “perempuan” di pentas itu adalah Liang. Ingrid Dwiyani bercanda menyebutnya, “Anggun dan cantik.”

Liang juga suka menyanyi. Dia membentuk sebuah kelompok musik. Mereka membawakan lagu-lagu Rod Steward, Kiss, Deep Purple, Queen dan sebagainya. Andy Purwadi, seorang teman kelas, jagoan gitar. Ada juga Tjandra Anggono jadi motor kelompok. Christian Johan main gitar dan Agustinus Simply Satu main piano. Liang jadi penyanyinya.

Liang mengatakan pada saya bahwa dia suka sekali dengan SMA Dempo. Dari semua sekolah yang pernah diikutinya, dari taman kanak-kanak Tjahaja di Jember pada 1970 hingga Universitas Harvard di Cambridge pada 1999, Liang merasa periode Dempo adalah saat yang meninggalkan banyak kenangan manis.

“Tak ada satu pun guru yang menyakiti kami,” katanya. Terkadang murid dihukum karena tidak kerja pekerjaan rumah atau bolos. Hukumannya, disuruh menulis banyak sekali sesudah jam sekolah selesai. Misalnya, "Saya berjanji tidak akan bolos lagi." Romo Sis sendiri yang menghukum murid. Romo Sis sering memanggil orang tua murid. Ini kebijakan baik sehingga tak semua guru berhak memberikan hukuman.

Romo Sis tak pernah memakai pemaksaan. Dia mengajak murid atau guru bicara. Itupun orang sudah merasa nervous. Liang merasa jadi murid yang agak diperhatikan karena keluarganya pecah. Ada guru bimbingan psikologi yang sering jadi tempatnya konsultasi.

Pelajaran yang paling disukai adalah Sejarah. Liang pernah menulis makalah soal Soekarno, nasionalisme dan masa mudanya. Makalah itu dipuji guru dan sempat dipamerkan sekolah. Liang tak suka Fisika, Kimia dan Matematika. Tapi bahasa Inggris selalu bagus. Liang masih mengambil les bahasa Jerman. Pelajaran mengarang atau menulis buat majalah sekolah juga disukai. Tapi Liang belum banyak menulis. Lebih sibuk dengan basket, menyanyi dan belajar.

Liang belakangan diberi sepeda motor Suzuki oleh Sengkek. Liang lebih leluasa bergerak. Beberapa kawan menganggapnya sebagai anak yang bandel, pendiam tapi berani menentang arus. Liang pernah menaiki sebuah tumpukan loud speaker, ketika menyanyi dalam sebuah konser sekolah. Norak sekali. Tapi ya masa remaja. Masih mencari kepribadian. Masih mencari perhatian orang. Dia pernah membuat puisi dan menamakan rekan-rekan dan dirinya “sekerumun anjing liar.”

Kami adalah sekerumun anjing liar yang paling perkasa
Berpacu dari armagedon hingga kelam
Kami berlari tanpa menjadi letih
Kami berjalan tanpa menjadi lesuh

Kami pahlawan tanpa nama
Bertaruh dengan kehampaan nyata hingga keping-keping kami yang terakhir
Menangis untuk kemenangan dan tertawa untuk sebutir kekalahan


Pendek kata, Liang senang sekali dengan sekolah ini. Entah kenapa. Mungkin Liang masih remaja. Cinta pertamanya terjadi di Lawang. Liang jatuh cinta pada teman gereja, lebih muda dua tahun. Namanya Phoa Hwie Eng. Liang memanggilnya Fe En.

Tapi cinta monyet. Pegangan tangan saja tidak pernah. Liang sering pergi ke rumah Fe En, cerita aneh-aneh dan membual. Liang tak punya uang banyak. Keuangan keluarganya mulai sulit sesudah Sengkek menikah lagi. Dia sering bertengkar, minat bekerja menurun. Kemana-mana Liang naik kendaraan umum. Liang menderita sekali dengan asap rokok. Sementara Fe En sudah mengendarai mobil sendiri.

Ketika kelas dua, Liang pindah ke Malang, kost di sebuah rumah di Jalan Widodaren. Hubungan itu pun merenggang. Fe En memutuskan hubungan mereka. Fe En mengirim kartu Natal dan bilang, "Maafkan aku." Liang merasakan sakit hati pertama kali. Saya agak geli membaca catatan-catatannya, konyol, remaja jatuh cinta. “Aku nggak tahu dimana dia sekarang. Pasti sudah lain,” kata Liang, tersenyum.

Maka Liang lebih sering bermain dengan teman-teman sekelas. Belajar bersama, makan bakso, diskusi dan sebagainya. Setiap kali ada waktu libur, Liang kembali ke Jember dan bermain-main dengan adik-adik dan saudara-saudara jauh.

Menariknya, Malang juga membuatnya mulai menjauh dari kehidupan gereja --sebuah praktek yang belakangan jadi kebiasaannya, kurang suka berdekatan dengan institusi agama apapun. “Aku lihat bagaimana satu pendeta tua, gendut, main perempuan. Aku juga kenal isteri missionaris yang culas. Aku kenal dekat dengan satu perempuan, ketika remaja, diperkosa seorang pastor. Dan aku banyak mengetahui kyai, juga main perempuan,” katanya.

Pada pertengahan 1984, Liang lulus dari Dempo dengan nilai lumayan. Sengkek menanyainya ingin kuliah dimana? Liang menjawab, “Boston College of Music.” Dia ingin jadi pemusik. Sengkek keberatan. Liang satu-satunya anak lelaki. Pergi ke Amerika juga butuh uang besar sekali. Sengkek kini harus bertanggungjawab terhadap tujuh anak. Liang memilih mendengarkan masukan papanya. Dia kuliah teknik elektro di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dia pikir bila lulus, bisa meneruskan bisnis keluarga.

Di Salatiga, Liang berkenalan dengan dosen-dosen radikal macam Arief Budiman, Ariel Heryanto, Broto Semedi, George Aditjondro, Liek Wilardjo, Nico L. Kana, Supriyadi dan sebagainya. Liang mahasiswa teknik tapi tidak tertarik pada matakuliah teknik. Liang ikut kelompok diskusi Arief Budiman, seorang doktor dari Harvard, salah satu cendekiawan beneran di Indonesia. Broto Semedi mengajar filsafat. Aditjondro mengajar Neo Marxisme. Liang makin sering membaca. Apa yang dipelajari di SMA Dempo, mendapat dorongan yang lebih besar lagi di Satya Wacana. Di Salatiga, kesadaran politiknya makin luas.

Dia sadar bahwa penindasan juga terjadi pada banyak golongan minoritas lain. Baik di Timor Leste, Papua, Minahasa, Aceh, Lampung, Borneo dan lainnya. Dia belajar analisis kelas. Orang miskin ditindas golongan penguasa, tanpa peduli etnik atau agamanya. Dia belajar tentang ketidakadilan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Satya Wacana memberi kesempatan kepada Liang untuk belajar, lepas dari lingkaran primordial, membela yang benar.

Liang mulai ikut upaya melawan penindasan negara Indonesia. Dia ikut demonstrasi. Dia ikut pers mahasiswa. Liang merasakan pengalaman pahit dengan aktivisme. Dia takut dikejar tentara. Intrik-intrik dalam gerakan membuatnya lelah. Dia memakai banyak waktunya membantu organisasi sais dokar, melawan rencana penggusuran dokar. Achmadi dan Sukardi, dua sais dokar, banyak membuatnya belajar tentang kehidupan orang kecil. Bila merasa lelah, dia pergi ke sebuah pesantren kecil, pinggiran kota, istirahat selama dua atau tiga hari.

Belakangan bahkan manajemen universitas ini memecat dosen-dosen yang kritis, termasuk Arief Budiman. Liang tak merasa memiliki kampus Satya Wacana lagi. Pada 1993, dia pindah ke Phnom Penh dan mulai bekerja sebagai reporter. Karirnya sebagai travel writer pun dimulai. Dia mulai malang melintang di Asia Tenggara.



Yuri Slezkine mungkin bisa membantu menerangkan fenomena Hoakiao. Slezkine seorang cendekiawan Rusia, dosen University California at Berkeley di Amerika. Dia menulis buku The Jewish Century, tentang etnik Yahudi, yang diganyang di Eropa sejak akhir abad XIX, lalu melakukan migrasi besar-besaran ke negara lain.

Analisisnya, bisa diterapkan pada minoritas lain di segala pelosok dunia. “Sangat provokatif tetapi kena betul analisanya,” kata Liem Sioe Liong, seorang aktivis hak asasi manusia dari Tapol di London. Liem seorang Hoakiao, warga negara Belanda. Dia menulis buku West Papua: The Obliteration of a People bersama Carmel Budiardjo.

Slezkine menulis bahwa orang Yahudi hidup dalam suatu masyarakat dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, dengan cara hidup tertentu pula, yang menimbulkan sentimen dari masyarakat sekitarnya. Namun orang Yahudi tak sendirian. Di dunia ini, di berbagai tempat dan waktu berbeda, selalu ada suku atau etnik, yang secara eksklusif menyediakan jasa untuk masyarakat di sekitarnya. Mereka termasuk Roma-Gypsi di Eropa, orang Fuga di Ethiopia, Sheik Mohammadi di Afghanistan, etnik Armenia, orang India di Afrika Timur, etnik Lebanon di Afrika Barat dan Amerika Latin serta orang Hoakian di Asia Tenggara.

Slezkine menyebut mereka, kaum "Mercurian," sebagai lawan kata dari putra daerah, yang disebutnya, "Apollonian.” Dalam mitologi Yunani, Apollo adalah dewa pertanian dan peternakan. Masyarakat Apollonian utamanya petani dan peternak, plus ksatria dan ulama, yang hidup dengan cara mengatur akses para petani tadi ke tanah dan keselamatan surgawi.

Mercuri adalah dewa para pengembara, pedagang, penterjemah, tukang, penunjuk jalan, pengobat dan semua pelintas batas. Kaum Mercurian adalah kelompok etnik yang tak terlibat produksi makanan. Mereka hidup dengan cara menyediakan jasa kepada kaum Apollonian.

Zaman dulu, masyarakat Apollonian menganggap ada pekerjaan yang berbahaya atau kotor, untuk dikerjakan warga mereka sendiri. Contohnya, berhubungan dengan negeri asing atau suku lain; mengatur uang; mengobati orang sakit; bekerja dengan api dalam penempaan logam misalnya. Semua ini adalah kemahirannya kaum Mercurian. Para pengembara kebanyakan mulai sebagai tukang. Kakek buyut Slezkine adalah tukang besi Yahudi. Ong Kong Swie mengelola bengkel sepeda dan becak.

Kaum Mercurian sering pindah tempat. Mereka memahami pentingnya menguasai bahasa-bahasa. Sengkek menguasai enam bahasa. Ketika rezim Soeharto melarang bahasa Mandarin, Sengkek dan Ie Lan mendorong anak-anaknya belajar Inggris. Kaum Mercurian secara alamiah terlibat dalam kerja penterjemahan, tukang cerita, penunjuk jalan dan perantara.

Kaum Apollonian memandang Mercurian berbahaya, kotor dan asing. Kaum lelakinya bukan ksatria, jarang ikut perang. Kaum perempuannya dianggap cantik namun juga genit, menggoda. Makanan mereka berbeda. Mereka hanya membeli, menjual dan kemungkinan mencuri, barang maupun ide. Mereka dibenci dan puncak kebencian terhadap kaum Mercurian adalah Holocaust –pembunuhan lebih dari enam juta orang Yahudi di Jerman oleh rezim Adolf Hitler. Ini penjagalan manusia terbesar dalam dunia modern. Ia juga mendorong Perang Dunia II.

Holocaust bikin jutaan orang Yahudi lari dari Eropa. Slezkine menyebut tiga tujuan: Palestina dimana mereka mendirikan negara Israel; Amerika Serikat dimana ada ide kenegaraan liberal non-etnik; dan Uni Soviet dimana ada komunisme –sebuah dunia tanpa kapitalisme dan nasionalisme. Semua berhasil dengan variasi masing-masing. Kaum Yahudi lantas jadi lambang dari penganyangan massal sekaligus kesuksesan.

Slezkine menyebut mereka berhasil karena sudah lama sekali jadi kaum urban, melek sastra, artikulatif dan secara pekerjaan fleksibel. Mereka mementingkan akal sehat, keuletan, kebersihan, melintasi batas serta memilih “memelihara” hubungan dengan orang daripada ternak. Inilah tuntutan abad XX. Maka mereka berhasil mengatasi penganyangan rezim macam Hitler.

“Hari ini kita semua diharapkan jadi orang Mercurian,” kata Yuri Slezkine. Nilai-nilai Apollonian, tentu saja, sangat perlu dipertahankan seraya mempelajari bahasa internasional, berhubungan dengan bangsa lain, mempertahankan hutan dan sebagainya. Saya kira, barisan Mercurian ini bertambah di Indonesia dengan orang Madura di Kalimantan, orang Jawa di Sumatra, orang Bugis, Buton, Makassar di Maluku atau orang Rote di Pulau Timor.

Liang mewakili stereotype kaum Mercurian di Indonesia. Liang sebenarnya tak beda dengan kebanyakan Hoakiao. Kalau dia sedikit beda, ini hanya karena dia seorang penulis, namun sebenarnya banyak Hoakiao jadi penulis. Dia juga “berkelahi” –sebuah kegiatan khas Apollonian-- ketika memutuskan membela kelompok-kelompok tertindas, namun dia melawan dengan penanya, bukan ototnya.

Dari Ong Kong Swie, lalu Sengkek, lalu Liang, keluarga ini mengalami perubahan cukup jauh secara kultural. Swie seorang Hoakiao totok, namun Sengkek bisa bahasa Jawa, Madura, Melayu. Liang secara kultural lebih global. Tek Jong memutuskan masuk Kristen. Ie Lan bahkan Kristen keras. Sengkek memutuskan mengganti namanya jadi Jawa.

Namun perubahan itu, dipaksa maupun tidak, tak membuat mereka tak dianggap sebagai “non-pribumi.” Mereka tetap tinggal di Jember, turun-temurun, namun akan tetap dianggap “asing.” Saya kira rasa curiga terhadap orang Hoakiao takkan mudah hilang di Pulau Jawa dan Sumatra. Kecurigaan serupa juga takkan cepat pergi dari Aceh terhadap orang Jawa, orang Madura di Kalimantan atau dari Papua terhadap “pendatang rambut lurus.” Setidaknya, negara ini bisa belajar dari Yuri Slezkine bahwa menciptakan diskriminasi formal justru membuatnya lebih buruk. Diskriminasi senantiasa ada dalam masyarakat. Namun diskriminasi oleh negara membahayakan keberadaan negara itu sendiri.

Kini Ie Lan sudah pisah dari suaminya dan hidup di Jogjakarta bersama tiga anak perempuannya. Sengkek hidup dengan Winarti di Jember. Mereka punya anak satu lagi. Sengkek membiayai sekolah anak-anaknya hingga selesai kuliah. Dua orang adik Liang tinggal di Jakarta.

Saya tanya kepada Sengkek, siapa guru Jawa, yang memberikan nama Jawa kepadanya. “Pak Dasar,” katanya. Guru itu mengatakan, ‘Engkone koen Hartono, koen Harsono ae.’” Artinya, “Kakakmu (Seng Hin) bernama Hartono, kamu Harsono saja.” Sengkek juga menjawakan nama Liang. Ie Lan usul nama “Harsono” dijadikan nama marga. Ini sebuah kebiasaan orang Tionghoa. Suku pertama nama marga, suku kedua nama pangkat. Maka anak-anak Sengkek pun diberi nama belakang Harsono semua. Liang diberi nama “Andreas Harsono.” Ong Tjie Liang adalah Andreas Harsono. Mereka adalah saya.

Cerita Mak Isah

Muhlis Suhaeri

Dalam hidup orang butuh cerita. Dan dalam keluarga, cerita ini diturunkan dari generasi ke generasi, membentuk sejarah keluarga. Ini juga terjadi pada keluarga Mak Isah, seorang perempuan Madura, ibu dari empat anak perempuan, yang tinggal di Pontianak. Keempat anaknya berturut-turut Nur Hayati, Nurma, Sapariah dan Tursih.

Menurut Nurma, dia mendapat cerita keluarga dari neneknya. Ceritanya, kakek dan nenek buyut Nurma, naik perahu kayu dari Pulau Madura pindah ke Kalimantan. Nurma tak tahu persis kapan kakek dan nenek buyutnya pindah ke Kalimantan, kemungkinan pada zaman Hindia Belanda.

Mak Isah sendiri kini umurnya telah sepuh. Guratan dan garis kehidupan jelas pada raut wajahnya. Caranya berjalan masih tegak. Mak Isah juga giat bekerja, mengerjakan urusan rumah tangga sendiri. Dia memasak, membersihkan rumah, mengambil air, membakar sampah, memelihara kucing-kucing kesayangannya. Orangnya penuh kasih sayang. Tak heran jika anak dan cucu, betah tinggal di rumahnya.

“Waktu itu butuh waktu sekitar 15 hari,” kata Nurma. Perahu kayu yang membawa rombongan nenek buyutnya, dari Madura ke Kalimantan, memuat sapi, garam dan barang dagang lainnya. Nah, di antara muatan barang itulah, manusia berjejal, menuju Kalimantan, sebuah pulau dimana etnik Madura banyak menetap di luar Pulau Madura dan bagian timur Pulau Jawa. Bila ombak ganas menerjang dan perahu kian oleng, sering sapi dan barang muatan dilempar ke laut.

Dalam desertasi Hendro S. Sudagung, Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, kedatangan orang Madura ke daerah ini, dibagi dalam tiga periode. Pertama, 1902-1942 ketika Kalimantan dan Madura diperintah oleh Kerajaan Belanda. Migrasi ini berlangsung lambat dan terus-menerus. Kedua, migrasi yang terjadi pada zaman peralihan kekuasaan, saat Perang Dunia II, antara 1942 dan 1950. Saat itu Jepang menduduki Hindia Belanda, lalu terjadi kekosongan kekuasaan, sesudah Amerika mengalahkan Jepang pada Agustus 1945. Antara 1945-1950, terjadi diplomasi internasional guna menetapkan status Hindia Belanda dimana pemenangnya sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Ketiga, migrasi yang terjadi pada zaman Republik Indonesia, 1950-1980.

Perpindahan orang Madura ke Kalimantan Barat, juga dikarenakan faktor perdagangan. Orang Madura biasa mengarungi lautan, dan menjadi pedagang antarpulau. Selain mendarat di Ketapang dan Pontianak, para pedagang sapi itu, juga mendarat di pelabuhan Pemangkat, di daerah kekuasaan keraton Sambas. “Karena biasa berlabuh di Pemangkat, akhirnya menetap di sana,” kata H. Syamsuddin dari Yayasan Korban Kerusuhan Sosial Sambas. Orang tua Syamsuddin datang ke Pemangkat pada 1923. Pemangkat adalah satu dari tiga daerah Sambas dimana terjadi pembunuhan dan pengusiran orang Madura besar-besaran pada 1999. Kini Sambas “bersih” dari orang Madura.

Di Kalimantan, orang Madura, ibarat imigran kebanyakan, pekerja keras dan ulet. Mereka bekerja sebagai buruh atau petani. Tugasnya membuka hutan, ladang, kebun, menggali parit, hingga memecah batu. Upahnya kecil. Selain rajin, orang Madura dianggap taat pada majikan bila bekerja. Tak heran, permintaan tenaga kerja orang Madura, terus meningkat. Menurut Sudagung, biasanya, orang Madura yang datang ke Kalimantan Barat, dari Bangkalan dan Sampang di Pulau Madura.

Dalam salah satu pendaratan itulah, menurut Nurma, turun pasangan kakek-nenek buyutnya, bernama Belidin dan Dulamah. Mereka merupakan generasi pertama keluarga Mak Isah. Pasangan ini menuju Parit Deraman, Punggur Besar, Kecamatan Sungai Kakap, Pontianak. Menurut Hasan, seorang tokoh Punggur Besar, “Dinamakan Parit Deraman karena yang pertama kali membuka daerah itu bernama Abdurahman.” Keluarga Hasan tetangga keluarga Mak Isah di Punggur. Hasan keturunan Bugis. Abdurahman merupakan moyangnya.

Ketika itu Punggur masih berupa hutan rimba. Belidin bekerja sebagai tukang tebas. Ia menyabit rumput dan membersihkan kebun. Begitu juga Dulamah. Dari perkawinan itu, lahirlah seorang anak, diberi nama Misdin. Ketika dewasa, Misdin juga menjadi buruh tebas pada pemilik ladang di Punggur. Dia juga bertani, menanam padi dan menoreh getah karet. Di Punggur ada yang menampung getah itu. Terkadang Misdin juga berangkat ke berbagai wilayah di Kalimantan Barat mencari pekerjaan. Segala pekerjaan dilakoninya. Yang penting halal. Begitu prinsipnya. Misdin menikah dengan Aminah. Dari perkawinan ini, lahirlah anak perempuan bernama Isah. Kelak, anak perempuan ini biasa dipanggil Mak Isah. Mak Isah tak tahu tanggal kelahirannya. “Jaman dulu, orang tua jarang mencatat kelahiran anaknya. Anak yang penting lahir selamat,” kata Mak Isah.

Untuk menghidupi ekonomi keluarga, mereka menanam padi. Misdin tak punya tanah. Keluagra Misdin numpang di tanah orang. Padi panen setelah tujuh bulan. Saat panen tiba, hasilnya dibagi dengan pemilik tanah. Satu hektar sawah hasilnya sekitar 200 gantang. Satu gantang setara dengan lima kilogram. Yang punya tanah diberi 20 gantang. Setelah bagian pemilik tanah diberikan, zakat pun dihitung. Besarnya 2,5 persen dari hasil panen. Begitupun, bila sawah ditanami jagung. Setiap panen, dapat menghasilkan 1000 biji jagung. Dari hasil itu, jagung yang dizakatkan sekitar 100 biji jagung.

Nenek Aminah suka memberi makan para tetangganya. Ketika itu menjelang akhir pemerintahan Belanda dan awal pendudukan Jepang. Malaise. Dunia serba susah. Di Punggur, orang sulit mendapatkan makanan. Tak heran jika Aminah melarang anaknya membuang makanan. Menurutnya, membuang makanan berarti sikap takabur.

Orang biasa makan bulgur atau dedak. Makanan ini, biasanya untuk hewan ternak. Begitu juga dengan pakaian. Kalaupun ada pakaian, hanya terbuat dari kulit kayu kapoa. Yang ditumbuk dengan tipis dan dibentuk pakaian. Ada banyak kasus tentara Jepang datang dan mencari perempuan desa untuk dijadikan jugun ianfu.

Orang menggunakan penerangan lampu teplok. Lampu itu terbuat dari kaleng kecil diberi sumbu. Bahan bakarnya dari minyak tanah. Bila ada pesawat Jepang lewat, semua lampu dimatikan. Supaya tidak kena bom. Meski hidup pas-pasan, Nenek Aminah peduli dengan orang sekitarnya. Menurut Nurma, neneknya punya sikap welas asih pada sesama. Sikap peduli dan baik hati itu, menjadi pelajaran penting bagi Isah. Selain sering memberi makanan, Aminah suka memberi pakaian pada tetangga. Selain bertani, Aminah juga berdagang kain.

Apa yang diingat Isah, pada sosok ayah dan ibunya? Keduanya, selalu memberikan pelajaran tentang agama. Sedari kecil, Isah digembleng dengan pendidikan agama. Alasannya, supaya bisa menjadi bekal, untuk hari kemudian. Salat dan mengaji, merupakan pelajaran pokok. Pendidikan yang Isah peroleh dari orang tua, juga ia terapkan pada anak-anaknya, kelak.

Bagaimana dengan sekolah? Sekolah terdekat dari Punggur berada di Pontianak. Jaraknya sekitar 23 km. Sekarang sebagian sudah ada jalan aspal, dulu jalanan masih berupa jalan setapak. Orang menyebutnya jalan tikus. Lagian, sekolah bukan menjadi pekerjaan wajib perempuan. Budaya patriarki masih kental. Dan, sekolah hanya milik orang kaya dan para bangsawan. Menjelang Isah, usia remaja, Aminah meninggal dunia. Sepeninggal istrinya, Misdin menikah dengan Misti. Nenek Misti inilah yang sering cerita kepada Nurma. Dari perkawinan itu, lahirlah Mahmur dan Rahmat. Rahmat meninggal dunia Lebaran 2006.

Nasib tragis dialami Misdin. Suatu ketika, ia dan beberapa kawannya, berangkat ke Pontianak. Ada kerjaan di sana. Pada saat menyeberangi Sungai Kapuas, perahu yang mereka tumpangi terbalik. Misdin dan beberapa kawannya tenggelam. Misdin dikebumikan di Punggur.

Isah menikah pada umur 15 tahun. Suaminya bernama Ahmad. Ia peranakan Jawa di Kalimantan. Mereka dijodohkan. Seorang anak tidak bisa menolak, ketika orang tua menjodohkannya. “Amit-amit. Mau buta keh. Mau sumbing keh. Mau pincang keh, tak bisa menolaknya,” kata Isah. Meski dijodohkan orang tuanya, Isah tak mau menjodohkan anak-anaknya. Perkawinan pertamanya dengan Ahmad, tak dikarunia anak. Ahmad meninggal pada usia muda. Sepeninggal Ahmad, Isah menikah dengan Muhamad, tetangga di Punggur, seorang keturunan Banjar dan Madura. Dari perkawinanan ini, lahir Nur Hayati dan Nurma. Perkawinan itu berakhir di tengah jalan. Mereka bercerai. Muhamad masih tinggal di Punggur, hingga kini.

Nur Hayati ketika dewasa menikah dengan Ilyas Bujang. Mereka dikarunia enam anak: Ernawati (kini tinggal di Jakarta), Hendrik (Punggur), Tri Wati (Pontianak), Eko (polisi di Mempawah), Desita Wulandari (Punggur) dan Novi Wulansari (Punggur). Ilyas dan Nur menetap di Punggur dan mengelola tanah pertanian Mak Isah maupun milik pasangan ini sendiri. Anak kedua, Nurma, pernikahan pertamanya dengan Benu, dikarunia seorang anak, Jhoni Indra. Lalu pernikahan keduanya dengan Johan mempunyai empat orang anak, Febriansyah, Helmi Januar, Delly Ariska Virgina Jannati dan Lusinda Aprilia Arsy Islami. Nurma kini tinggal di Pontianak bersama kelima anaknya di rumah Mak Isah. Johan sendiri menikah lagi dan tak tinggal bersama Nurma. Setelah cerai dengan Muhammad, Isah menikah dengan Saturi. Ia pendatang dari Pulau Madura. Di sana, ia pernah menikah dengan Saminten. Dari pernikahan itu, lahir seorang anak lelaki. Namanya Ramli, kini tinggal di Surabaya.

Saturi perawakannya sedang. Tidak tinggi. Tidak pendek. Ia agak gemuk. Kulitnya hitam. Orangnya bertanggung jawab dengan keluarga. Ia rajin bekerja. Semua pekerjaan dilakoninya. Mengupas kelapa. Menanam padi. Memelihara sapi. Menyabit rumput. Borong bangunan. Narik becak. Semuanya. Kalau mengerjakan sesuatu hingga tuntas. Ia biasa kerja hingga larut malam. Menurut Mak Isah, Saturi orang baik, tak mau bicara kasar, atau berkelahi dengan orang lain. Teman-temannya datang dari berbagai etnik. Mereka acapkali menyambangi rumah Saturi, sekedar untuk nongkrong dan bertegur sapa. Saturi pemberani. “Kalau memang Allah menghendaki saya mati, ya, matilah,” begitu ingatan Mak Isah. Saturi jarang bersikap masam. Ia lebih sering tertawa. Istilahnya, meskipun susah, ia selalu gembira. Bahkan, bila melihat istrinya melamun, ia akan menegurnya, “Tidak boleh melamun. Berdoa saja.”

Pasangan ini biasa memasarkan hasil kebunnya ke Pontianak. Mereka menggunakan perahu kecil. Perahu itu didayung. Satu di depan dan satu di belakang. Hasil kebun seperti pisang, kelapa, daun pisang, langsat, dan lainnya, dibawa melalui Sungai Punggur menuju Sungai Jawi di Pontianak. Perjalanan dari Punggur menuju Sungai Jawi lumayan berat. Bila dari Punggur berangkat pukul 8 pagi, sampai di Sungai Jawi sekitar pukul 5 sore. Mereka membawa bekal makanan dan peralatan memasak di perahu. Sepanjang jalur sungai tak ada warung makanan. Bila rasa lelah mulai merayap, mereka bakal menepi. Istirahat dipergunakan untuk membuka bekal makanan. Dalam perahu biasanya diletakkan kajang. Ini semacam anyaman dari daun nipah untuk atap perahu. Bila kajang diletakkan di atas sampan, pendayungnya tidak bisa mengayuh sampan. Obor pun dibawa untuk penerangan dan menghindari sampan tabrakan dengan lainnya. Bila sudah terlihat cahaya lampu, berarti sudah dekat Pontianak. “Kita pun akan semakin semangat mendayungnya,” kata Ilyas Bujang, menantu dari Mak Isah. Bujang menikahi Nur Hayati, anak pertama Mak Isah, pada 1976.

Sama dengan mertuanya, Ilyas membawa hasil kebunnya ke Pontianak dengan mendayung sampan. Ketika barang dagangan laku, mereka membawa kebutuhan sehari-hari, seperti, minyak, gula, beras, ikan dan lainnya.

Pada 1972, pasangan Saturi-Isah memutuskan pindah dari Punggur ke Pontianak. Tepatnya di Jalan HM Suwignyo. Saturi sering mendapat penyakit “angin setan.” Ia pernah dibawa ke Madura, hingga ke Lamongan untuk berobat. Mereka memutuskan pindah ke Pontianak dimana sarana kesehatan lebih baik dari Punggur. Daerah Suwignyo masih berupa kebun. Tidak seramai sekarang.

Di tempat tinggal baru, Isah bekerja menjual sayuran. Ada daun singkong, cabe, bawang, kentang dan lainnya. Dari pukul empat subuh, Isah belanja sayuran. Pagi hari, Isah membawa dagangan keliling ke berbagai perumahan. Berjalan kaki hingga belasan kilometer dari rumahnya. Kalau nasib sedang baik, sayurannya laku terjual. Namun, tak jarang orang bersikap ketus dan angkuh, ketika ditawari. Isah hanya mengurut dada, dan mendoakan orang tersebut. “Alhamdulillah. Tak ape, kau tak beli sayuran kami.”

Setelah punya anak, Saturi minta Isah tidak berjualan. Makan tak makan, pokoknya harus kumpul dengan keluarga. Ia mengerjakan semua pekerjaan. Perkawinannya dengan Isah juga melahirkan anak. Anak pertama bernama Marsuni. Ketika berumur tiga bulan, anak ini meninggal. Sakit kejang-kejang. Anak kedua bernama Menik, dan anak ketiga, Dayang, mengalami hal sama. Meninggal pada usia tiga bulan, karena sakit kejang-kejang. Jarak masing-masing anak antara dua hingga tiga bulan.

Sapariah lahir 6 Januari 1976. Ia dinamakan Sapariah, karena lahir pada bulan Syafar dalam penanggalan hijriah. Ketika Sapariah berumur tiga tahun, Mak Isah melahirkan adiknya Sapariah, diberi nama Tursih. Sewaktu kecil, Sapariah gemuk tubuhnya. Mak Isah ingat Sapariah suka makan telur ayam kampung mentah. Telur dilubangi, dihirup dan dibawanya jalan. Sapariah juga suka minum susu. Tak heran bila orang memanggilnya “Bogel.” Sapariah tidak peduli. Ia asyik dengan kegiatannya sendiri, menulis. Menulis sesuatu di lantai dan tembok. Lalu, bicara sendiri. Bogel belum sekolah, ketika itu. Menurut Mak Isah, Bogel tidak nakal, dan lebih sering bermain sendiri di rumah. Kegiatan Bogel, membuat ibu-ibu yang lewat, berkata pada Isah, “Anak ibu ini, nantinya pintar.”

Daerah Suwinyo adalah lingkungan beragam. Ada orang Melayu, Dayak, Jawa, Cina, Bugis dan lainnya. Masalah etnisitas merupakan isu dan masalah penting di Kalimantan Barat. Ia selalu jadi bahan pergumulan, bahkan terkadang pembunuhan, di kalangan etnik ini. Namun anak-anak sering main petak umpet, cakak lele, dan permainan lainnya.

Malam hari, Sapariah dan Tursih menderas Al-qur’an pada guru mengaji Abdul Hamid, dekat rumah. Bila ada tontonan bioskop keliling –misbar (gerimis bubar)-- mereka bakal nonton. Pertunjukan di tanah lapang. Jaraknya ratusan meter dari rumah. Yang diputar biasanya film kungfu, atau film tentang Keluarga Berencana. Kegiatan mengasyikkan lainnya adalah mencari kayu bakar untuk masak di rumah.

Saturi dan Isah figur orang tua teladan. Mereka mengajari anak dengan contoh. Tidak mau memerintah, juga tidak menuntut apa-apa dari anaknya. Meski keduanya tidak mengenyam pendidikan, tapi punya kepedulian menyekolahkan anaknya. Apapun akan dilakukan, demi untuk menyekolahkan anaknya. Apa yang dilakukan orang tua, adalah simbol dari pendidikan kepada keluarga. “Meski tidak kaya, tapi orang tua mau menyekolahkan anaknya, hingga perguruan tinggi,” kata Tursih.

Sapariah dan Tursih lulus sarjana dari Universitas Tanjungpura. Sapariah lulus dari Fakultas Ekonomi. Tursih lulus dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Keluarga Ilyas Bujang dan Nur Hayati punya peranan membantu keduanya menyelesaikan sekolah hingga kuliah. Melalui hasil kebun yang mereka kelola di Punggur, keluarga ini membantu adik-adiknya.

Setelah anak-anaknya menyelesaikan kuliahnya, Saturi meninggal dunia. Ia tidak mengalami sakit atau apa. Dua hari sebelum meninggal, badannya merasa meriang. Pada hari ketiga, ia dibawa ke Rumah Sakit Sudarso. Baru sehari di rumah sakit, Saturi meninggal dunia. Keluarga ini tabah menghadapi cobaan. “Ketika ayahnya meninggal, Ari tidak menangis,” kata Nurul Hayat, teman Sapariah. Menurut Nurul, selama bergaul dengan Sapariah, ia tidak pernah melihatnya menangis.

Sapariah tidak pernah bicara mengenai cita-cita, semenjak kecil. Ketika pertama kali kerja, dia hanya berkata pada adiknya, “Aku ingin kerja yang tidak terikat dengan birokrasi atau apa. Kerja yang bebas, tapi benar.” Sapariah memang suka petualang dan pergi kemanapun. Dia pun melamar jadi wartawan, mulanya di harian Suaka lalu pindah ke Equator. Pada Agustus 2005, Sapariah mengambil keputusan pindah ke Jakarta dan bekerja untuk harian Bisnis Indonesia.

Di mata adiknya, Sapariah sosok pengayom. Kalau perlu, dia yang disalahkan juga tidak apa-apa, demi melindungi adiknya. Orangnya teguh pada pendirian. Tekun. Mau bekerja keras. Dalam masalah kerja, uang bukan satu-satunya tujuan. Namun, ada sisi lain yang ingin diraihnya. Selama apa yang dilihat dan dirasakan baik dan bagus, akan terus dikerjakannya. Kalau mengerjakan sesuatu hingga tuntas, begitu kata Tursih, mengenai kakaknya. Aku punya pengalaman sendiri mengenai Sapariah. Biasanya kami sering kumpul dengan apa yang dinamakan, “Gang Jomblo” dimana Sapariah anggotanya. Kata “jomblo” merupakan bahasa gaul bagi orang yang belum punya pasangan. “Gang Jomblo” anggotanya wartawati dari berbagai media, antara lain, Nurul Hayat (Antara), Aseanty Widaningsih Pahlevi dan Sri Apriyanti (Pontianak Post), Eva Rade Sitio (Sonora), dan Christin Boekit (TVRI), dan Ansela Sarating (Volare). Sapariah biasanya telat bila Gang Jomblo buat acara. “Ketika ditelepon, ia selalu bilang on the way,” kata Uun dan Levy, hampir bersamaan. Padahal masih ada di rumah, bangun tidur siang.

Kini, Gang Jomblo telah kehilangan beberapa anggotanya. Setidaknya, aku juga berperan mengurangi jumlah populasi mereka. Ehmm, satu anggotanya, Nurul Hayat, telah menjadi istriku. Dan satu lagi, Sapariah, akan mengakhiri status kejombloannya. Orang Madura adalah etnik yang mengalami diskriminasi luas di seluruh Pulau Kalimantan. Media sering mengulang-ulang (dan menyalahgunakan) pepatah, “Dimana bumi dipinjak, disana langit dijunjung.” Madura diibaratkan sebagai kelompok etnik yang tak membaur, suka mencuri, suka berkelahi, keroyokan dan sebagainya.

Pada 1997, di daerah Sanggau Ledo, orang-orang Dayak membunuh lebih dari 650 orang Madura. Pada 1999 di daerah Sambas, termasuk Tebas, Pemangkat dan Jawai, masyarakat Melayu Sambas melakukan ethnic cleansing terhadap orang Madura. Akibat pengusiran dan pembunuhan warga Madura di Sambas, lebih dari 52 ribu orang Madura mengungsi. Mereka meninggalkan tanah yang telah didiami puluhan tahun. Menurut penelitian Jamie Davidson dalam disertasi, Not Since Time Immemorial: Ethnicity, Indigeneity and Collective Violence on an Indonesian Periphery, lebih dari 3,500 orang Madura dibunuh di Sambas. Davidson juga menulis korban Madura di Sampit pada 2001, dalam Encyclopedia of Genocide and Crimes Against Humanity. Di seluruh Kalimantan, terjadi diskriminasi terhadap orang Madura.

Tak heran bila mengalirnya darah Madura di keluarga Mak Isah, membuat sebagian anggota merasa tekanan diskriminasi dan menanggung stigma dalam hidupnya. Bagi orang dewasa, masalah identitas Madura ini bisa mereka hadapi. Namun, bagi remaja dan kanak, ada dampaknya. Menurut Tursih, “Keponakan, terkadang malu mengaku Madura. Tidak tahu juga, mengapa mereka punya perasaan seperti itu. Mereka biasanya mengaku Melayu kepada teman-temannya.”

Lalu, apa yang menarik dari calon suami Sapariah, Andreas Harsono? Apakah karena ada kesamaan sebagai minoritas dan mendapat diskriminasi? Andreas orang Tionghoa kelahiran Jawa. “Walaupun kami secara pergaulan belum begitu dekat, tapi saat pertama kali datang, dia begitu peduli dengan kami,” kata Tursih.

Tursih berpikir, mungkin ini hanya sikap awal, untuk menarik hati keluarganya. Tapi, dalam kelanjutannya, Andreas memang orang terbuka dan asyik dalam pergaulan. Orangnya mau mengkritik. Kadang kalau sudah mengkritik aneh-aneh, Tursih langsung marah. Dan kalau orang yang dikritiknya marah, Andreas langsung mencandai dan bergurau. Menurut Tursih, Andreas orangnya pintar. “Itu yang kami suka dari dia. Selain itu, dia juga terbuka dan peduli,” kata Tursih.

Keluarga besar Mak Isah, tak mempersoalkan masalah etnis, kekayaan atau apa, ketika anaknya memilih jodohnya. Anggota keluarga ini menikah dengan beragam etnis. Yang penting agamanya Islam. Itu saja.

Tentu saja ada harap, pada pasangan Sapariah dan Andreas di keluarga Mak Isah. Tentu saja, supaya perkawinan itu awet hingga akhir. Latar belakang keluarga dari Sapariah dan Andreas, menjadi kata kunci dari harapan tersebut. Kata orang dulu, kalau dalam keluarga ada yang kawin beberapa kali, kemungkinan anak-anaknya ada juga. “Nah, saya berharap sekali, mudah-mudahan itu tidak ada. Pokoknya, Ari dan Mas Andreas itu selamanya,” kata Tursih.