Thursday, November 09, 2006

Membedah sosok RAPBD Jakarta 2006

15 Desember 2006
------------------------
Membedah sosok RAPBD Jakarta 2006
Oleh Sapariah Saturi

EKSEKUTIF dan legislatif DKI Jakarta, sejak pertengahan November lalu tengah membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2006, yang diharapkan bisa disepakati pada bulan ini.

Rancangan APBD tahun ini disusun tepat sebulan setelah kenaikan harga BBM yang berdampak pada semua hal, termasuk inflasi nasional pada Oktober lalu melonjak. Di DKI Jakarta, inflasi bahkan mencapai 7%. Akibatnya, nilai proyek dalam APBD 2005 harus diubah dari rencana semula.

Menyusun RAPBD 2006 pun mesti memperhitungkan berbagai indikator. Dalam perhitungan ini, pertumbuhan ekonomi DKI 2006 dipatok mencapai 6,13%, lebih tinggi dibandingkan 2005 sebesar 5,20%, dan inflasi di bawah dua digit yaitu 9,9% atau tetap lebih tinggi dari perkiraan nasional 8%.

RAPBD 2006 diajukan sebesar Rp17,75 triliun, atau meningkat 24,95% dari 2005 sebesar Rp14,20 triliun. Detailnya, pendapatan daerah Rp14,90 triliun dan belanja daerah Rp17,51 triliun serta terjadi difisit anggaran sebesar Rp2,61 triliun. Defisit ini akan ditutup dari pembiayaan daerah yang bersumber dari perkiraan sisa lebih anggaran 2005 sebesar Rp2,85 triliun.

Sepintas, angka-angka itu menjanjikan karena adanya kenaikan anggaran. Namun, peningkatan APBD 2006 sebesar 23,95% itu ternyata lebih banyak disebabkan kenaikan gaji PNS, pemberian tunjangan perbaikan penghasilan serta peningkatan belanja sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Proporsi timpang

Dalam anggaran belanja daerah bidang pembangunan, alokasi terbesar malah untuk pemerintahan, yaitu Rp4,91 triliun atau 28,03% dari volume anggaran belanja daerah. Sedang bidang yang menyentuh masyarakat banyak, yaitu bidang kependudukan dan ketenagakerjaan serta perekonomian hanya dialokasikan 1,14% dan 3,40% dari volume anggaran belanja.

"Ini proporsi yang sangat timpang. Pemantapan ekonomi tidak akan tercapai karena bidang pembangunan yang harusnya dapat porsi lebih banyak justru dapat sangat kecil," ungkap Agus Dharmawan dari Fraksi PAN.

Jadi, eksekutif pun dinilai terlalu optimistis dengan menetapkan pertumbuhan ekonomi 6%, inflasi 9% serta mampu menciptakan pemerataan pendapatan, kesempatan berusaha dan lapangan kerja.

Dari Fraksi Kebangkitan Reformasi DPRD DKI Jakarta, Mansur Saerozi, menyayangkan kenaikan anggaran tersebut tidak satu pun untuk mengatasi masalah besar di Jakarta, seperti penyediaan lapangan kerja, transportasi umum, kesehatan, pendidikan, banjir dan kenyamanan mobilitas karena kemacetan.

Sementara, dari total pendapatan, diharapkan berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) Rp8,41 triliun atau 56,44%. Dana perimbangan Rp6,38 triliun atau 42,82% dan dari pendapatan daerah lain-lain yang sah Rp109,05 miliar.

Kontribusi BUMD

Dalam pembahasan, kontribusi PAD dari sektor BUMD dan perusahaan patungan mendapat sorotan tajam karena terlalu kecil. Dari 62 perusahaan daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang banyak 'menyedot' dana rakyat itu hanya mampu memberikan Rp125 miliar atau 1,54% dari total PAD.

Padahal itu terdiri dari enam perusahaan daerah, 24 perusahaan patungan, dua badan pengelola, satu joint production, 11 penyewaan aset daerah dan 18 kerjasama aset daerah.

Pemprov DKI Jakarta selaku penyertaan modal terbesar diminta melakukan langkah konkret dan cerdas untuk meningkatkan kinerja perusahaan daerah maupun pengelolaan kekayaan daerah.

Menurut Agus, kalau proyeksi pendapatan dari BUMD itu seolah main-main saja, sebab pendapatan tidak sebanding dengan nilai aset daerah yang tertanam di sana. Saat ini penyertaan modal daerah mencapai Rp2,778 triliun. PAD dari pajak-diistilahkan sumber pendapatan yang eksekutif tidak perlu mengeluarkan keringat-tetap menempati posisi teratas Rp7,33 triliun (87,15%), disusul retribusi Rp400 miliar (4,75%) dan lain-lain PAD yang sah Rp550 miliar (6,53%).

"Sebenarnya kontribusi bisa lebih kalau saja dikelola profesional, manajerial juga lemah."

Rencana PAD dari BUMD dan pengelolaan kekayaan daerah jika dibandingkan dengan suku bunga saat ini bisa dikatakan merugi. Maka itu, divestasi perusahaan yang merugi mendesak, kata Mansur.

Pemprov DKI, katanya, juga perlu memikirkan alternatif lain. Rendahnya kontribusi sektor ini harusnya menjadikan semua mawas diri.

Sebab, di satu sisi rakyat semakin timbul kesadaran memberi kontribusi yang terlihat dari pajak dan retribusi tapi di sisi lain aparat pemerintah yang diberikan amanah mengelola aset rakyat tidak menjalankan dengan sungguh-sungguh.

Niat Pemprov DKI Jakarta melakukan penyertaan modal pemerintah (PMP) kepada PT Jakarta Propertindo sebesar Rp200 miliar juga mendapat protes mengingat buruknya kinerja BUMD.

Dewan meminta jaminan pemerintah pusat bahwa akan memberikan pengelolaan jalan tol kepada Pemprov DKI secara tertulis.

Pada 2006, dewan juga meminta eksekutif memutuskan divestasi atas kepemilikan saham minoritas yang terus merugi seperti PT Cemani Toka, PT Jaya Nur Sukses, PT Determinan Indah, PT Graha Sahari, PT Pakuan, PT Grafika Jaya dan PT Rheem. Direkomendasikan juga penjualan saham pada PT Delta Djakarta sebanyak 4.204.014 lembar.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo berjanji pemprov bakal membenahi BUMD melalui program restrukturisasi dengan target peningkatan memperoleh laba, privatisasi BUMD menguntungkan dan divestasi saham minoritas milik pemda pada perusahaan patungan.

Menurut dia, semua itu masih dalam pengkajian karena tidak dapat diambil keputusan begitu saja.

Namun tentu jangan janji tinggal janji, semua itu perlu bukti mengingat masalah serupa selalu terulang. Terpenting usaha dan komitmen serius mengelola perusahaan daerah dan menggali sumber-sumber pendapatan lainnya.

Tuesday, July 18, 2006

Bila Gempa Menghantam Jakarta

Oleh Sapariah Saturi

Misalnya gempa 6 skala Richter menghantam Teluk Jakarta, kira-kira apa yang akan terjadi pada Jalan Sudirman dan Thamrin? Gedung mana retak, mana roboh? Apakah ada kebakaran? Kalau ibukota rusak, sarana komunikasi rusak, pemimpin bahkan ada yang mati, bagaimana kira-kira dampaknya pada ekonomi dan politik Indonesia?

Antonius Budiono termasuk sedikit orang di Jakarta yang berpikir soal skenario ini. Ia sadar berbagai gempa yang melanda Indonesia –dari Pulau Alor hingga Nabire di Papua, dari tsunami di Aceh hingga goyangnya Yogyakarta—membuat Jakarta harus diperhitungkan.

Perhitungan yang tak mudah ketika banyak sekali parameter yang tak bisa dihitung. Jangan-jangan gempa tak pernah menerpa ibukota Indonesia ini?

Budiono seorang master manajemen konstruksi lulusan Universitas Washington, St. Louis. Ia baru-baru ini ikut menangani renovasi Istana Merdeka. “Banyak rahasianya,” katanya, tertawa. Kalau digoogle, namanya selalu terkait dengan kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Budiono kini Direktur Tata Bangunan Direktorat Jendral Cipta Karya dari Departemen Pekerjaan Umum.

Sederhananya, menurut perhitungan Budiono, Indonesia dibagi dalam enam zona gempa. Tiap zona punya kategori sendiri yang terkait dengan percepatan bergesernya batuan dasar yang terkait dengan gravitasi bumi.

Jakarta termasuk zona tiga atau kategori menengah, sama dengan Jogjakarta. Daerah rawan empat terdekat Jakarta adalah Sukabumi yang terletak di atas patahan bumi Pulau Jawa.

Aceh, Pulau Nias dan Pulau Simeulue, Ujung Kulon dan Pantai Pangandaran termasuk zona enam atau kawasan paling rawan. Daerah sekitar Aceh inilah yang dihantam gempa 9 skala Richter pada 26 Desember 2004 dengan korban tsunami 126.000 jenasah dan 70.000 hilang. Hampir separuh kota Banda Aceh rata dengan tanah. Gempa serupa melanda pantai selatan Pulau Jawa pada 18 Juli 2006 dengan skala hampir 7 Richter dan korban hanya 80 orang lebih.

Di Jakarta, Budiono memperkirakan mayoritas bangunan, terutama gedung bertingkat sepanjang Sudirman dan Thamrin, sudah didesain sesuai apa yang disebut Standar Nasional Indonesia. “Jakarta pasti dicek gedungnya ... sepanjang gempanya zona tiga atau empat itu masih aman.”

Pemerintah Jakarta juga memiliki beberapa tim untuk menilai izin pembangunan. Ada Tim Penasehat Arsitektur Kota, Tim Penasehat Konstruksi Bangunan dan Tim Ahli Utilitas Bangunan.

Agus Subardono dari Dinas Tata Kota Jakarta mengatakan, “Bayangkan saja, kalau di kantor bertingkat, gempa dan bangunan roboh, berapa kerugian? Bukan hanya material tapi sumber daya manusia yang akan hilang? Saya kira tidak ada yang mau mengambil risiko itu. Terlalu tinggi.”

Sejak zaman Hindia Belanda, negeri ini sudah memiliki aturan bangunan tahan gempa. Terakhir pada 2002, parlemen Indonesia mengeluarkan UU Bangunan dan Gedung dimana diatur bahwa kantor dan rumah harus dibangun mengikuti ketentuan tahan gempa dan kebakaran.

Ajaibnya, tak semua aturan itu ditaati pemerintah kota-kota. Antonius Budiono mengatakan pada 1995-1998, dari 320 kabupaten di Indonesia hanya 220 yang mempunyai “perda bangunan” atau hanya 70%.

Dari 70% itu, yang aturannya mengatur persyaratan teknis, hanya 25% atau 55 kabupaten. Persyaratan teknis itupun lebih pada ketinggian bangunan atau tata ruang. Sedikit sekali yang mengatur gempa dan kebakaran.

Hitung saja berapa gedung pencakar langit di Jakarta yang memiliki helipad? Berapa gedung yang rutin bikin fire drill atau latihan kebakaran? Berapa organisasi yang setiap tahun bikin latihan lari dari gempa?

Bambang Pranoto dari Lembaga Konsumen Jasa Konstruksi, sebuah organisasi nonpemerintah, mengatakan aturan memang ada namun tiada organisasi yang melakukan “sertifikasi” untuk menilai kelayakan bangunan. Disain bangunan mayoritas baik tapi pelaksanaan bangunan urusan lain lagi. Umur bangunan kebanyakan juga lebih pendek dari perkiraan disain.

“Konstruksi adalah proses produksi. Jadi tak bisa hanya dilihat dari kualitas perencanaan kekuatan terhadap beban atau pemakai … termasuk gempa,” kata Bambang.

Ingat beberapa bulan lalu ketika tiang antena TV7 di daerah Kebon Jeruk roboh terkena hujan angin dan menewaskan tiga orang? Ternyata tower itu dibangun tanpa izin. Di Jakarta ada ribuan tower dibangun tanpa izin. Rancangan konstruksi tower TV7 terlalu kecil dan dekat pemukiman.

Atau ingat ketika jalan tol Cipularang amblas? Jalan tol sepanjang 40 km itu baru dioperasikan dalam hitungan bulan. Ia ambruk dan rusak berat pada 28 dan 29 November 2005 di beberapa tempat. Pada 29 Januari 2006, ia juga longsor dalam di daerah Lebak Ater. Padahal nilai investasi jalan itu Rp1,7 triliun.

“Itu belum ada gempa lho sudah runtuh!” kata Bambang Pranoto.

Banyak alasan diutarakan, dari menyalahkan “tanah tidak stabil”-- sampai desain khusus yang belum dimiliki Departemen Pekerjaan Umum.

Kepala Balitbang Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan, “Ini muncul karena tidak ada konsistensi dalam melaksanakan pekerjaan.”

Di Jakarta, memang sulit mengukur dampak dari gempa akibat “inkonsistensi” pelaksanaan bangunan. Ini seharusnya jadi semacam wake up call sesudah gempa Jogjakarta dan tsunami Pangandaran.

Pada 27 Mei lalu, terjadi gempa 5,9 skala Richter di Samudera Hindia dengan jarak epicentrum 37 km dari Yogyakarta. Dalam hitungan menit, ia meratakan 140.000 bangunan dan rumah di sekitar Yogyakarta. Korban jiwa 6.234 serta luka 46.148 orang. Bangunan rusak mencapai 94.000. Padahal Yogyakarta sudah punya “perda bangunan.”

Kalau epicentrum serupa muncul di Teluk Jakarta, ia mempengaruhi seluruh bangunan dari Ancol hingga Ciputat. Daerah-daerah padat, dan hampir seluruh Jakarta adalah daerah padat, bisa diperkirakan mengalami dampak terbesar bila konstruksi bangunan tidak punya atau tidak sesuai izin.

Bangunan-bangunan pencakar langit yang bertumpuk di Jakarta bisa runtuh. Kawasan sibuk macam Sudirman dan Thamrin akan jadi kacau bila gempa terjadi pada jam kerja. Begitu juga infrastruktur lain, seperti jalan layang juga jalan tol. Masih untung bila gempa terjadi pada hari Sabtu atau Minggu –korban manusia lebih sedikit.

Bencana alam raksasa juga senantiasa membawa perubahan sosial. Di Aceh, tanpa tsunami takkan ada perjanjian damai Helsinki. Perang akan terus berjalan. Tanpa tsunami, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kelompok Bugisnya takkan menemukan batu pijakan untuk berunding dengan Gerakan Acheh Merdeka. Tanpa tsunami, European Union tak punya alasan untuk menekan Jakarta agar berunding demi lancarnya bantuan kemanusiaan untuk Aceh.

Aceh adalah contoh yang sangat jelas. Sejarah juga menunjukkan bahwa gempa bumi senantiasa membawa perubahan sosial di berbagai kepulauan di Asia Tenggara ini.

Simon Winchester, geolog dari Universitas Oxford, menerangkan dalam bukunya, “Krakatoa: The Day the World Exploded August 27, 1883,” bahwa letusan Gunung Krakatau itu menciptakan kerusakan dahsyat pada kedua sisi Selat Sunda: Sumatra dan Jawa. Mayat ditemukan hingga di Zanzibar. Suara ledakan terdengar hingga India dan Australia.

Tapi yang paling penting –dalam jargon dunia politik hari ini—letusan gunung itu memicu sentimen anti-Barat di Pulau Jawa. Penderitaan para petani Jawa serta ketidakbecusan administrasi Hindia Belanda, dalam menangani bencana, menciptakan dendam di kalangan orang kecil.

Generasi Krakatau itulah yang menciptakan orang tua dari anak-anak yang memulai timbulnya “nasionalisme” di kalangan warga “pribumi” di Hindia Belanda. Pemimpin mereka termasuk Tan Malaka, Soekarno, Semaoen, Moh. Hatta dan sebagainya.

Bila ada gempa macam Krakatau, Jakarta sebagai pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia praktis akan lumpuh. Terjadi kevakuman pemerintahan dan berbagai aktivitas lain yang selama ini terpusat di Jakarta.

Bambang Pranoto maupun Antonius Budiono tidak bisa menghitung secara rinci apa dampak sosial, politik atau ekonomi dari sebuah gempa besar di Jakarta. Tak seorang pun bisa. Tapi mereka merasa kuatir –sesuatu yang wajar—mengingat kualitas bangunan di metropolitan ini sangat rentan untuk menopang besarnya kekuasaan yang ada.

Tuesday, June 20, 2006

hidup

Hidup. Mengapa ya harus ada hidup? Karena udah terlanjur diformat masalah mungkin ya. Orang hidup itu kan artinya yang akan bertemu masalah. Ga mau masalah artinya ga mau hidup. Mau hidup, konsekuensinya mau terima masalah.

Aduh, aku ngomong apa sih. Tau nih kepalaku pusing banget. Bete!!!!

Saat ini, bagiku ga ada deh ya nyenengin aku. Semua masalah. Semua musingin aku. Dari masalah kerjaan sampe mikirin masa depan. Mau ke mana aku? mau jadi apa aku lima, 10, 15, 20 tahun ke depan?

Pusing. Pusing. Bersyukur dalam kepusinganku kini, aku tidak sendirian. Hanya satu yang masih membuatku tersenyum, senang, memiliki semangat hidup, ingin hidup terus, melewati semua kepusinganku, masalahku..bersamanya.

Beruntung sekali aku kini tak sendirian. Ada orang yang mendengarku jika aku mengeluh, bersedih, tertawa, dan semuanya. Dia kebahagiaanku, dia kegembiraanku...dia hidupku....

He is my E.J....i love u so much.......

Tuesday, May 09, 2006

infrastruktur

Menggantung asa dari paket kebijakan infrastruktur

Andai saja ada kepastian harga tanah dan kepastian waktu pembebasan lahan. Andai saja, dokumen perjanjian jalan tol bankable, tentu perbankan mudah memberikan
pinjaman. Andai saja pemerintah mau berbagi risiko,tidak menyerahkan seluruhnya pada investor. Andai saja…andai saja…Harapan-harapan seperti itu muncul dari para investor.

Itu baru contoh segelintir masalah investasi jalan tol di Indonesia. Masih segudang masalah menanti, seperti di sektor perumahan, transportasi, komunikasi dan
lainnya.
Saat ini pemerintah melalui Departemen Keuangan tengah mengkaji risiko per item, seperti pembangunan ruas tol, risikonya dikaji satu per satu. Pemerintah
diminta risk sharing. Alhasil, sampai saat ini Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) belum selesai.
Memang, terkait penanggungan risiko, pemerintah mesti memperhitungkan dengan baik. Sisi lain, investor pun ragu-ragu menandatangani PPJT edisi lama meskipun ada
jaminan dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) akan disesuaikan dalam penandatanganan kontrak. Akibatnya, banyak investor pemenang tender ruas jalan tol yang sudah siap kontrak menunggu revisi PPJT, yang otomatis
pembangunan tertunda.
Tak hanya revisi PPJT-- yang selama ini dinilai belum bankable dan investor friendly, pemerintah juga berencana membentuk infrastruture fund, revolving fund
yang diperkirakan bisa memperbaiki kondisi investasi infrastruktur saat ini.
“Kita berusaha membenahi berbagai hambatan yang muncul hingga menarik minat investasi infrastruktur ke Indonesia.” Begitu janji para petinggi pemerintahan di
negara ini. Berbagai paket direncanakan, dari paket kebijakan infrastruktur sampai paket kebijakan investasi. Bahkan beberapa menteri yang dikomandoi Menko Perekonomian membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI).
Niat baik ini tentu menjadi asa yang bisa menjadi angin segar berbisnis di Indonesia terutama infrastruktur yang sangat memegang peranan dalam berkembangnya perekonomian bangsa.
Pemerintah baru saja menggagas paket kebijakan infrastruktur yang terdiri dari rancangan aksi yang goalnya diharapkan selesai dalam tahun ini. Setidaknya ada 153 kebijakan yang disiapkan pemerintah guna mendukung pembangunan infrastruktur. Untuk jalan tol,
a.l disiapkan penyusunan draf regulasi turunan UU No.38/2004 tentang jalan berupa PP/Kepmen turunan UU tentang jalan yang mengatur tarif, institusi dan
lainnya. Lalu persetujuan Menteri Keuangan atas usulan PPJT dari Menteri PU yang direncanakan Mei selesai, kajian pembentukan badan hukum pengadaan tanah juga
terbentuknya badan hukum pengadaan tanah.
Kebijakan sektor perumahan seperti, rencana induk pembangunan perumahan rakyat, RUU tentang Sekuritisasi. Juga menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mendorong pengembangan kemitraan, yakni dengan revisi UU No.4/1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman serta UU No.16/1985 tentang rumah susun.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga akan mengamandemen UU Pokok Agraria dan Perpres No.36/2005.

Banyak yang berharap paket kebijakan ini tidak hanya selesai di atas kertas atau sebatas seminar atau lokakarya semata. Ada juga yang mengaku pesimis dan khawatir jika rancangan tersebut hanya selesai drafnya. Sedangkan realisasinya tidak dapat
dipastikan.
Tapi paket kebijakan ini menunjukkan ada komitmen dari pemerintah. Niat baik ini harus ditangkap dulu.
“Ini satu komitmen, tinggal menunggu bagaimana implementasinya nanti. Itu yang terpenting,” kata ekonom, Chatib Basri.
Hembusan angin segar ini langsung disambut investor tapi mereka masih ragu jika belum ada hasilnya. “Semua itu kan masih draf.” Begitu ungkapan Ketua Asosiasi
Jalan Tol Indonesia (ATI) Fatchur Rochman menanggapi rencana pemerintah membentuk revolving fund—yang menjadi salah satu paket kebijakan infrastruktur.
Dirut PT Jasa Marga (Persero) Frans S Sunito mengatakan investor mau saja menanamkan uangnya terpenting ada kepastian. Dia mencontohkan untuk
pembangunan jalan tol, investor, baik PT Jasa Marga atau operator lainnya sudah siap membangun. Namun yang menjadi kendala pembebasan lahan.
“Seperti tiga ruas jalan tol yang akan dikerjakan Jasa marga [Bogor Ring
Road, Gempol-Pasuruan dan Semarang-Solo] tahun ini sudah siap dikerjakan asalkan pembebasan lahannya selesai.”
Frans mengatakan masalah penyelesaian pembebasan jalan tol bagi investor memang menjadi masalah terbesar.
Untuk itu, dia berharap kebijakan pemerintah yang akan dibuat maupun direvisi ini bisa mengatasinya.
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) sebagai lembaga regulator baru jalan tol mengakui kalau perlu satu kebijakan nyata bahwa investor bisa mendapatkan kepastian kala menanamkan modalnya dalam bisnis ini.
Salah satunya mengenai pembebasan lahan yang menjadi risiko terbesar.
Kepala BPJT, Hisnu Pawenang membenarkan jika kepastian baik harga maupun waktu selesainya pembebasan lahan itu dinantikan investor.
Pembangunan infrastruktur khususnya jalan tol, tidak ada pembangian risiko antara pemerintah dan investor. Investor menanggung seluruhnya. Melalui PPJT,
Departemen PU berusaha melakukan perbaikan. PPJT direvisi.
Menteri PU sama berharapnya. “Semoga PPJT bisa segera selesai hingga investor tertarik berinvestasi,” ungkap Menteri PU, Djoko Kirmanto.
Kini kita menunggu aksi dan menggantungkan asa dari rencana tindak pemerintah ini. Semoga.

Oleh: Sapariah Saturi

properti

Disiplin ala militer pacu karir di properti

Oleh Sapariah Saturi
Bisnis Indonesia

Didikan disiplin keras dari keluarga militer membawanya tetap optimis dan bersemangat menjalani hidup. Begitu juga dalam memberi dukungan dan motivasi kepada tim pemasaran The Bellezza Permata Hijau dan proyek-proyek Gapura Prima Group yang telah ditanganinya.
Langkah pertama sebelum memasarkan produk, marketing harus benar-benar paham apa yang akan dijualnya. Barulah mencari bagaimana cara efektif menjualnya. Terpenting lagi bagaimana memberikan pelayanan dan kualitas terbaik serta membina hubungan baik dengan pelanggan. Itu yang selalu ditanamkan pada tim marketing-nya.
Dialah Reindy Pangau. Pria kelahiran Bogor, Jawa Barat, yang berdarah Manado ini diberi kepercayaan untuk menjadi general manager pada The Bellezza Permata Hijau.
Meski karir yang digeluti saat ini berbeda sama sekali dengan cita-citanya ketika kecil menjadi tentara hal itu tidak membuat Riendy setengah hati dalam menjalankan tugasnya. Justru pendidikan yang keras, disiplin dalam keluarga, terutama sang ayah, almarhum Willem Rudy Pangau, menjadikan pegangan baginya. Dari ibunya, Femmy Lengkong, kasih sayang dan dukungan semakin memperkuat semangat anak nomor dua dari enam bersaudara ini menjalani karir.
“Biasa ya, ayah saya dari TNI AD, jadi binaan disiplin kuat. Saya bangun pagi, nyuci pakaian, ngepel. Kalau salah di-strap, push up,” ceritanya mengenang pengalaman masa kecil.
Tiada kata tidak bisa, di kala orang pesimis, kita harus tetap optimis. Ingin berbuat terbaik dan menyumbangkan yang terbaik menjadi motto hidupnya.
Berkenalan dengan dunia properti diawalinya kala diminta menangani aset hasil pembayaran utang maupun agunan pelanggan PT Semen Cibinong, tempatnya bekerja ketika itu. Sebelumnya dia bekerja di anak perusahaan PT Pembangunan Jaya, PT Jaya Readymix.
Ketika itu, sekitar 1997-1998, krisis perekonomian melanda negeri kita. Banyak dunia usaha termasuk properti terguncang. Mereka tidak bisa membayar utang dan memilih menyerahkan properti baik apartemen, tanah, gedung, dan lainnya. Dia pun memasarkan bahkan ada yang dilelang untuk pendanaan grup tempatnya bekerja di PT Trumix Beton, anak perusahaan PT Semen Cibinong sekarang PT Holcim Indonesia Tbk.
Dari situ, suami Rinna Marlina ini mulai mengenal dunia properti dan ternyata tertarik untuk mendalaminya.
Telanjur ‘jatuh hati’ dengan dunia properti, Riendy pun menjalankan pekerjaan di dua tempat, Semen Cibinong dan Lippo Sentul. ”Kerja saya pukul 07.00-14.00, sudah itu tidak ada maka ikutan di Lippo Sentul dari pukul 15.00 sampai malam.”
Di sana dia banyak belajar dari pemasar handal seperti Krisma Tindas, Robert Angkasa, juga Joy D. Lango, Agus Gunaryo, Johan Fang.
Sekitar 1999, di Semen Cibinong ada program pengurangan karyawan, akhirnya dia memutuskan untuk mengambil program tersebut dan concern di properti.
Sambil terus belajar dari para senior itu, pemilik berat badan 72 kg dan tinggi 168 cm ini pun makin memperkuat langkahnya berkarir di bisnis properti.
Sekitar 1999 akhir, sekitar enam bulan di Lippo Sentul, dia melihat ada satu perusahaan yang sepertinya kecil tapi ternyata cukup mapan. Gapura Prima Group namanya. Melihat peluang dan kesempatan besar, Riendy pun memutuskan bergabung pada perusahaan milik Gunarso Susanto Margono ini.
“Kebetulan saya kan bantu di agen juga selain di Lippo, saya lihat peluang bagus di Gapura,” ucap pria berkumis tipis ini.
Meskipun pada perusahaan sebelumnya dia menduduki posisi cukup baik sebagai bachting plan, di grup pengembang ini dia memulai karir dari awal sebagai sales marketing dan berangkat ke kantor naik angkutan umum.
Sekitar satu bulan, dia diberi kepercayaan menjadi koordinator marketing. Bakat me-manage sudah terlihat dari cara kerjanya.
Setelah bertemu Dirut PT Gapura Prima Group, Rudy Margono, dia ditanyai latar bekakang. Akhirnya dia ditempatkan menjadi manajer pada proyek Bukit Cimanggu Villa di Bogor. Proyek Gapura makin banyak. Lalu dia dipromosikan lagi menjadi manager area selatan meliputi Bogor, Sawangan, dan Depok ditambah lagi perumahan Kayuputih. Berkembang terus proyeknya, Bekasi trade centre, Bellazzio, Serpong Town Square, dan Bellezza.
Berkat kerja keras dan prestasinya, di The Bellezza Permata Hijau ini, Riendy menjabat sebagai general manager. (redaksi@bisnis.co.id)