Monday, October 12, 2009

Lemahnya Instrumen Stabilisasi Harga

“Kayaknye harge-harge nih teros begerak. Turonnye tadak, naek jak teros,” kata ibu rumah tangga di Jakarta Utara, Ernawati. Perempuan asal Pontianak ini mengeluhkan kenaikan harga beragam kebutuhan pokok dari gula, terigu, telur, sampai minyak goreng. Hanya harga beras yang relatif stabil. Menurut dia, gejolak kenaikan harga tak hanya terjadi menjelang puasa maupun Lebaran. Namun, jauh hari sebelum itu, harga sudah naik. “Macamnye tak pernah berenti harge-harge tuh naek,” ujar dia.

Kini, harga gula pasir Rp9.500-Rp10.000 di Jakarta, di luar Jawa bahkan sampai Rp14.000 per kilogram (kg). Awal Januari 2009, harga gula masih Rp6.000 an, mulai naik Mei Rp8.000 an. Harga minyak goreng mulai bergerak naik pertengahan 2007, dari Rp6.000, naik Rp7.000, kini bertahaan Rp9.000-Rp10.000 untuk minyak curah sedang minyak kemasan sekitar Rp11.000-Rp12.000 per liter. Begitu juga harga telur ayam, dari Rp7.000-Rp8.000 per kg 2004-2005, terus bergerak naik. Tahun 2007, harga telur menyentuh Rp9.000-Rp10.000, lalu Rp11.000-12.000 tahun lalu. Kini, harga telur bertahan Rp13.000-Rp15.000 bahkan belum lama ini sempat Rp16.000 per kg. Harga-harga di luar Jawa bervariasi dan cenderung lebih tinggi. Seperti harga telur di Pontianak, ukuran sedang Rp1.300 per butir atau sekitar Rp17.000 per kg, harga gula pasir Rp11.000 dan minyak goreng curah Rp11.000 per kg.

Dulu, harga bergerak naik ada musimnya, misal kala hari besar keagamaan. Saat ini harga beragam kebutuhan pangan itu berfluktuasi setiap waktu. Bahkan seperti gula, kala masa panen, harga gula malah naik tak terkendali. Program stabilisasi harga kebutuhan pokok sudah diluncurkan pemerintah sejak 1 Februari lalu guna menahan gejolak harga. Namun, tampaknya tak berjalan maksimal. Terbukti, hingga
saat ini harga-harga kebutuhan pokok masih terus naik.

Mari mengingat medio 2007, harga minyak goreng bergerak naik dari Rp5.000 menjadi Rp8.000 per liter. Padahal, Indonesia produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Alasannya: harga di pasar dunia naik. Pasokan dalam negeri terserap ekspor. Lalu digagas kebijakan domestick public obligation/DMO dan penetapan pungutan ekspor CPO dan produk turunan. Operasi pasar di berbagai daerah. Subsidi pemerintah kucur. Tak berjalan juga. Harga minyak goreng turun tipis sebentar. Lalu, terus bergerak naik ke posisi Rp9.000 bahkan sampai Rp13.000 per liter.

Memasuki tengah 2008, permintaan dunia turun, krisis keuangan global mulai menghantam, harga CPO pun turun drastis begitu juga komoditas lainnya termasuk minyak mentah. Sayangnya, itu tak berpengaruh banyak dengan harga minyak goreng dalam negeri.

Awal 2009, harga minyak goreng kembali bergejolak, kemasan mencapai Rp12.000 per kg. Pada Mei, Mari Elka Pangestu selaku menteri Perdagangan, menargetkan harga minyak goreng curah pada posisi Rp6.000 per kg selama 2009. Target yang terlalu mengawang mungkin. Sebab, sampai hari ini, meskipun berbagai instrumen diluncurkan, dari operasi pasar, sampai merancang merek khusus Minyakita tetap belum sukses menekan harga. Pemerintah telah mengalokasikan Rp800 miliar untuk
fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditanggung pemerintah (PPNDTP)
selama 2009 dengan tujuan stabilisasi harga minyak goreng. Melalui merek Minyakita, perusahaan bisa menyalurkan minyak goreng dengan harga murah, Rp6.000-Rp7.000 per liter. Namun, lagi-lagi, berbagai upaya ini belum membuahkan hasil manis. Di pasaran, harga minyak goreng sampai sekarang masih tak sesuai target. Harga minyak goreng masih bertengger di posisi Rp11.000-Rp12.000 per liter.

Untuk, harga beras pun sempat naik pada 2007. Beruntung, khusus beras ada Bulog yang berfungsi sebagai stabilisator harga. Ketika harga mulai naik, operasi pasar beras digelar. Stok beras Bulog juga dilepas ke pasar. Bahkan, sejak 2008, satu-satunya harga bahan pokok yang relatif stabil adalah beras. Instrumen ini cukup berjalan efektif. Tahun itu pula, kali pertama sejak 10 tahun terakhir, Indonesia menghentikan impor karena pasokan beras dalam negeri cukup. Padahal, saat itu, harga beras pasar internasional naik drastis.

Kini tambah lagi satu kasus kenaikan harga gula yang tak terbendung. Lagi-lagi, Departemen Perdagangan(Depdag) sebagai penjaga gawang stabilisasi harga tak bisa berbuat banyak.

Pada, tahun 2006, sempat terjadi pergerakan harga gula, kala itu mencapai Rp7.000 per kg. Melihat atas kondisi sesuai kesepakatan dari Dewan Gula Indonesia pada Oktober 2005, Indonesia perlu mengimpor 300 ribu ton gula.

Berdasarkan izin impor itu, Bulog dan PT PPI mendapatkan izin impor masing-masing 55.000 ton. Sedang, empat importir terdaftar (IT) mendapatkan izin impor total 190 ribu ton. Kebijakan ini mampu meredam harga gula turun.

Ribut-ribut harga gula sempat terjadi pada 2008. Produsen gula dalam negeri protes gula rafinasi impor–konsumsi industri—dikabarkan masuk pasar hingga membuat harga di pasaran anjlok. Meskipun di pasaran ritel harga gula tetap Rp6.900-Rp7.000 per kg. Akhirnya, bea masuk impor gula naik. Lalu, keluar lagi pengaturan distribusi gula rafinasi tertuang dalam surat Menteri Perdagangan No 111/M-DAG/2/2009, tanggal 6 Februari 2009.

Dengan aturan itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian gula rafinasi ini, antara lain distributor dan subdistributor harus ditunjuk resmi produsen. Lalu, distributor tidak boleh menjual gula rafinasi dalam kemasan kiloan. Distributor juga harus melengkapi dokumen-dokumen produk gula rafinasi hanya untuk industri. Kebijakan ini cukup efektif. Harga gula dalam negeri pun bergerak naik.

Kini, harga gula di pasaran tak terkendali. Naik-naik ke puncak gunung. Dari harga Rp8.000 per kg pada Mei 2009, naik menjadi Rp9.000 dan terus naik sampai Rp14.000 per kg. Lagi-lagi, Mendag pada Mei menargetkan Juni harga gula akan kembali pada posisi Rp7.000. Alasannya: Juni sudah memasuki musim giling tebu. Memasuki Juli ternyata harga terus naik ke Rp8.500 per kg. Dari Depdag pun bilang lagi harga akan turun Juli. Karena Juli, gula yang digiling sudah masuk pasar. Juli pun datang. Agustus datang. Sayangnya, harga gula tak kunjung mereda. Alasan pun dibuat lagi: harga produk di pasar internasional sedang naik.

Departemen garis depan stabilisasi harga ini pun tak bisa menangani sendiri. Mendag menyurati Kementerian BUMN—yang memiliki produsen gula seperti PTPN dan RNI—untuk menurunkan harga gula. Tak berjalan. Kementerian ekonomi pun rapat. Ada rencana mau merealisasikan impor gula, ada juga keinginan membangun pabrik-pabrik gula. Namun, sampai sekarang belum ada hasil kongkret. Harga gula terus berjalan semaunya.

Berbagai kondisi ini menunjukkan begitu lemahnya instrumen stabilisasi harga yang dimiliki Depdag. Padahal, kabarnya selalu memantau pasar. Konon, Depdag bersama departemen terkait juga membuat peringatan dini (early warning system/EWS) untuk kebutuhan pokok. Pasokan selalu dikatakan cukup, tapi mengapa harga naik terus? Apa hasil pantauan? Apa hasil EWS? Semoga ke depan, departemen ini lebih siap lagi dengan instrumen-instrumennya untuk stabilitasi harga.

By: Sapariah Saturi Harsono dari Harian Jurnal Nasional, 15 September 2009

Lagi-lagi Tergantung Impor

“….PANGAN merupakan soal hidup matinya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka ‘malapetaka’. Oleh karena itu, perlu usaha besar-besaran, radikal dan revolusioner.” Mengutip Presiden RI pertama, Soekarno.

Indonesia boleh tersenyum karena bisa swasembada beras. Namun, sebaiknya jangan tersenyum terlalu lama. Mengapa? Karena pekerjaan rumah masih menumpuk! Kebutuhan pangan masih banyak dipasok dari impor. Ini harus menjadi perhatian bahkan peringatan. Kini, produk pangan diperebutkan untuk dua sisi di dunia: bahan pangan dan sumber energi. Jadi, pasokan pangan harus kuat. Tak hanya memenuhi kebutuhan, stabilisasi harga juga harus terjaga.

“Ya, memang ada keberhasilan swasembada beras. Tapi produk pangan tak hanya beras bagaimana jagung, kedelai, daging sapi, susu dan lainnya. Itu masih tergantung impor,” kata Benny A Kusbini, Ketua Harian Dewan Holtikultura Nasional, belum lama ini.

Benar apa yang dikatakan Benny Kusbini. Tahun 2000, impor jagung Indonesia 1,28 juta ton, tiga tahun kemudian naik menjadi 1,39 juta ton. Pada 2004 naik lagi menjadi 2,73 juta ton dengan masing-masing sebesar US$165,3 juta, US$179,8 juta dan US$132,6 juta. Tahun 2007, impor 414 ribu ton, turun dibandingkan 2006 sebesar 1,6 juta ton.

Produksi jagung nasional hanya meningkat tipis. Pada, 2003, produksi 10,8 juta ton naik menjadi 11,2 juta ton 2004. Tiga tahun setelah itu, tahun 2007, produksi baru 13,29 juta ton. Produksi naik cukup tinggi pada 2008 menjadi 15,86 juta ton dengan kebutuhan dalam negeri hanya 13 juta ton.

Tahun 2009, Departemen Pertanian (Deptan) menargetkan produksi jagung nasional 18 juta ton pipilan kering, diperoleh dari luas tanam 4,28 juta hektare (ha) dan luas panen 4,08 juta ha dengan produktivitas 44,12 kuintal per ha.

Meskipun di atas kertas produksi nasional sudah melebihi kebutuhan, tetapi masih saja impor jagung. Contoh, sektor peternakan yang menggunakan jagung sebagai bahan baku pangan ternak merasa kesulitan memenuhi dari produksi dalam negeri jadi masih perlu impor. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan ternak mencapai 3,6-4 juta ton per tahun “Katanya produksi jagung besar. Ini 50 persen bahan baku pakan dari jagung tapi susah mau dapatnya,” kata Ketua Forum Masyarakat Perungggasan Indonesia (MPI), Don P Utoyo.

Dalam pekan ini, petani jagung di Medan protes karena harga rendah. Mereka meminta pemerintah menghentikan impor agar harga panen membaik. Kini, harga jagung di tingkat petani Sumatera Utara (Sumut), misalnya, kadar air 25-26 persen tinggal Rp1.700 per kg, sebelumnya Rp2.200, bahkan pernah Rp2.500 per kg.

Tak jauh beda nasib kedelai. Pada 1992, negara ini pernah swasembada kedelai, waktu itu produksi 1,8 juta ton. Namun dari tahun ke tahun produksi kedelai terus turun. Impor pun menjadi andalan. Pemerintah bertekad ingin swasembada kedelai. Target produksi kedelai tahun ini 1,5 juta ton dengan luas tanam 1,050 juta ha, luas panen 997,5 ha dengan produktivitas rata-rata15,04 ku/ha. Namun peningkatan produksi ini belum memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor kedelai masih dilakukan dari Brazil maupun Amerika Serikat sekitar satu juta ton.

Guna mewujudkan swasembada, Deptan melakukan beberapa program, antara lain SL PTT (sekolah lapangan pengelolaan tanaman terpadu) kedelai kurang lebih 100 ribu ha secara nasional tahun ini dan 250 ribu ha tahun 2010. Lalu bantuan langsung benih unggul, cadangan benih nasional dan lainnya.


Bidang perkebunan seperti karet, kakao, sawit memang tampak sukses. Namun, perlu ditilik lagi, siapa pemilik dari produksi itu? “Sebagian besar milik asing. Ini artinya, jangan sampai pertanian itu didominasi asing,” ucap Benny.

Lalu, bagaimana nasib pasokan daging dan susu? Lagi-lagi sama: masih mengandalkan impor. Impor sapi rata-rata per tahun 650 ribu ekor. Berdasarkan penelitian Indonesia Research Stategic Analysis (IRSA), 2009, sekitar 273.700 ton atau 70 persen kebutuhan daging dipasok sapi potong rakyat, 17 persen atau 66.470 ton setara 332.350 ekor sapi dari industri penggemukan modern—ini sapi bakalannya dari impor. Lalu, 13 persen atau 50.830 ton impor daging dan jeroan.

Sejak beberapa tahun lalu, Indonesia menargetkan swasembada daging sapi. Namun, target tinggal target alias tak mampu terealisasi. Seperti tahun 2005, pemerintah sudah menargetkan swasembada. Gagal. Lalu, tahun ini target swasembada juga tak tercapai. Artinya, masih perlu impor, terbesar dari Australia dan Selandia Baru. Belum lama ini, Deptan menyetujui impor daging sapi dari Brazil, satu negara yang belum terbebas penyakit berbahaya sapi. Banyak penolakan. Teranyar, sedang dalam pengkajian impor daging dari Polandia.

Mei lalu, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan UU PKH) disahkan. Kini, Indonesia memiliki UU PKH no.18 /2009. Semoga, ini menjadi angin segar peluang pengembangan peternakan lokal.

Indonesia juga surga bagi pasar impor susu. Sekitar 70 persen susu sapi masih impor. Tahun 2006, sapi perah 369 000 ekor dengan produksi susu 616.500 ton. Naik tipis pada 2007, sebanyak 378 000 ekor sapi perah dan produksi susu 636.900 ton. Produksi ini hanya mampu memenuhi kebutuhan sekitar 25-30 persen. Akibatnya, sebagian besar kebutuhan atau konsumsi nasional susu dan produk olahan dipasok impor dari Selandia Baru, Australia, dan Philipina. Jelas, ketergantungan tinggi terhadap impor yang membuat rentan terjadi gejolak harga. Tak hanya produksi rendah, kualitas susu dalam negeri juga rendah.

Kondisi ini disebabkan beberapa hal, antara lain, pengelolaan peternakan sapi perah belum maksimal. Lokasi peternakan berada di lahan marginal, bukan lahan khusus peternakan. Skala peternakan kecil, rata-rata mempunyai dua atau tiga ekor sapi. Padahal, untuk mencapai untung minimal memiliki 10 ekor sapi. Masalah lain, pakan ternak. Sapi-sapi perah di Indonesia diberi pakan seadanya. Padahal, untuk menghasilkan susu berkualitas, perlu pakan berkualitas. Belum lagi cara memeras susu masih tradisional hingga tak maksimal.

Dari begitu besarnya ketergantungan impor ini, menunjukkan Deptan masih memiliki setumpuk pekerjaan. Harus terus bekerja keras. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri jelas tak bisa dikerjakan sendiri. Perlu kerja sama dengan instansi lain, termasuk kalangan pelaku usaha bahkan petani/peternak itu sendiri.

By: Sapariah Saturi Harsono dari Jurnal Nasional, 12 Oktober 2009

Monday, September 07, 2009

Living with the Junta

By : Sapariah Saturi Harsono

Indonesia Rising, 7 September 2009


Public buses were seen on the Rangoon streets. It is mostly open buses with no windows. Taxis have no meters, no AC.


PASSENGERS already arrived at the Mingaladon airport in Rangoon. Some were waiting for their baggage. Some lined up for the immigration counters. I arrived with a Singapore Airline flight. My first sight was the taxi drivers, offering the rides. Interestingly, men and women wear longyi. They don’t wear western clothes like what most people do in South East Asia. Porters, taxi drivers, airport officials and everyone else wear longyi.

When going out of the airport, more longyi-wearing men were seen. An old bus already waited for my group. It was white with rusted parts here and there. The next sight was rundown taxis, also painted white. “My God, it is so old fashioned,” I murmured. Rangoon reminded me to Pontianak, my hometown, in the 1980s. Rangoon’s vehicles are mostly Toyota sedans. I only saw around ten new cars during the 25-minute from the airport to an Indonesian diplomat residence near the Indonesian Embassy on Pyidaungsu Yeiktha Road.

Public buses were also seen on the Rangoon streets. It is mostly open buses with no windows. Taxis have no meters, no AC. Their windshields cannot be closed. “Well, it is the real situation. Most vehicles were produced in the 1980s,” said Gopokson Situmorang, the second secretary at the Indonesian Embassy to Burma or Myanmar. He brought us to the diplomat compound. I happen to stay in a guest room inside his official residence.

Big trees, however, are lining the Rangoon streets. The streets are mostly empty, no traffic jam like Jakarta. Interestingly, I also did not see any motorcycle in Rangoon. According to Myanma Thadin website, motorcycles are banned on Rangoon roads but for selected people, mostly, military intelligence and police officers. The secret spies use motorcycles to shadow opposition activists. On the streets, I saw only old cars and bicycles with side cars. Most buildings are also old and looked rundown. Similar to Jakarta, Rangoon has many street vendors selling food, drinks, fruits and pirated CDs.

Without enough vehicles, Rangoon has many pedestrians. I saw many people walking in the city, including Buddhist monks in their pink (female) and orange (male) robes. Longyis worn by males are called pa-so, while those worn by females are called hta-main. They have different patterns. Hta-main are obviously more colorful than pa-so. In my Malay worldview, we call this cloth sarong. Rangoon ladies also put white powder around their eyes made from fragrant wood called thanatka. Men chew betel nut.

An Embassy guide accompanied my group, passing beautiful parks and a lake surrounded with thousands of trees. It is very beautiful. I remembered Burma’s democracy icon, Aung San Suu Kyi, whom I know living in a dilapidated two-story mansion by Inya Lake. In Jakarta, her face is used in many Facebook photos.

“Can we pass along Suu Kyi’s house?” I asked my guide.

“No, no, forbidden,” said the guide. Panic aroused from his voice.

He only showed me to a road intersection leading to Suu Kyi’s house on University Avenue. It is totally blocked by a barbed-wire barricade.

In a widely criticized decision, Suu Kyi was given 18 months' house arrest on August 11. A Rangoon court found her guilty for harboring an American “intruder” at her lakeside mansion in May. My guide told me that security is heightened after the verdict.

Aung San Suu Kyi is the general secretary of the National League for Democracy in Burma. Her party swept elections in 1990 but the results have never been honored by the military, which has ruled the Burma since 1962. In Burma, she is called Daw Aung San Suu Kyi. Daw literally means "aunt".

When entering the Embassy compound, I turned on my hand phone. “Only emergency call.” It is the only message that appears on my screen.

“This is crazy,” I said.

“Me too. On my screen, it is only said, ‘Forbidden,’” said Santi Dwisaputri, a dancer who travelled from Jakarta with me.

Welcome to the military-ruled Burma. Hand phones are blockaded!

“You can buy SIM card here at US$20, but you cannot send text message. Only making calls, well, only for five minutes,” said Situmorang.

Internet is another problem. Many websites are banned, including Yahoo. Internet access is extremely slow.

A TV One reporter from Jakarta, Muhammad Takbir, has a big problem with the slow internet. Takbir and I visited Rangoon to cover the Indonesian Day at the Embassy on Aug. 17. Takbir wanted to send a video file to his head office in Jakarta. He tried a number of times but failed. The electricity went down several times.

He did not succeed until midday when his office planned to air his report in the afternoon news program. Takbir was nervous. We went to Hotel Traders, probably, Rangoon’s biggest hotel where the Indonesian Embassy held the party. But it did not succeed. He returned to the Embassy, asking the IT guy to help him send an email and the video attachment. Eight hours later he finally managed to send one file. “It is a real struggle. I have never experienced this. My office has been waiting for the file since morning,” he said.

I was more fortunate. As a newspaperwoman, I need only to send a short report. Still it was not as fast as I usually do in Jakarta or Singapore. I spent about 15 minutes just to send an email.

Now I began to feel how stressful it is to live inside a military junta-ruled country.

Tuesday, July 14, 2009

Ketika BI rate Tak Bergigi

Dari Profit, 1 Juli 2009


“WADUH....ini yang mau beli unit semua ditunda. Mereka ga jadi mengajukan KPA (kredit kepemilikan apartemen). Katanya, suku bunga tinggi. Permohonan juga banyak ditolak.” Begitu keluhan seorang marketing apartemen di bilangan Senayan, Maria. Dia tampak tak bersemangat karena penjualan unit apartemen bakal menurun. Banyak calon konsumennya menunda pembelian.

Properti memang salah satu sektor yang terkena langsung dengan tingginya suku bunga perbankan. Suku bunga KPR (kredit kepemilikan rumah) dan KPA masih berksiar 14-16 persen. Begitu juga sektor lain seperti pertekstilan, perkebunan dan lainnya. Meskipun BI rate sudah tujuh persen. Namun respons perbankan menurunkan bunga tak secepat turunnya suku bunga acuan. Dunia usaha berpikir ulang untuk ekspansi di tengah kondisi tak pasti, dari permintaan pasar turun—dampak krisis global, sampai suku bunga bank yang tinggi.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertektilan Indonesia (API), Ernovian G Ismi mengatakan, dengan suku bunga bank saat ini sulit sekali industri tekstil bersaing. Di tengah, permintaan pasar dalam negeri dan luar negeri menurun, ditambah suku bunga bank tinggi, begitu memberatkan industri. Faktanya, meskipun Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sampai tujuh persen, tetapi tak diikuti bunga bank. BI rate seakan tak berarti apa-apa. “BI tidak bisa mengatur bank, seharusnya bank kan patuh dengan BI. BI rate turun, suku bunga bank mestinya ikut turun. Tapi ini kan tidak. Seolah BI dicuekkin,” katanya di Jakarta, Selasa( 30/6).

Mestinya dalam kondisi saat ini, bank bisa membantu sektor riil agar mampu bersaing salah satunya penurunan suku bunga. Bunga bank, idealnya satu digit. “Kalau sekarang, bunga bank tinggi, bank lebih senang menyimpan uang dalam SBI. Fungsi intermediasi perbankan tak jalan. Jika ga mau berfungsi sebagai bank, mestinya ganti nama aja, misal jadi lembaga simpan pinjam. Lebih jelas” ujar dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi), Fuad Zakaria malah melihat lambannya perbankan merespons BI rate sebagai indikasi bank kesulitan likuiditas. Begitu juga, bank tak serta-merta memuluskan permintaan KPR. “Saat ini, perbankan cenderung membatasi pemberian kredit karena mengalami kesulitan likuiditas. Sebaliknya, malah membujuk konsumen berlomba-lomba meningkatkan tabungan dan deposito berbunga tinggi.”

Bila memiliki kecukupan uang, perbankan akan mematok bunga rendah agar penyaluran kredit lebih mudah. Singkatnya, meski BI rate dipatok pada level tujuh persen, perbankan belum berani menurunkan bunga KPR di bawah 14-16 persen. "Itu tandanya bank masih kesulitan uang," katanya.

Pengembang berharap BUMN perbankan memulai kebijakan menurunkan bunga KPR agar permintaan properti tetap stabil. Namun harapan itu tak kunjung tiba hingga permintaan properti kelas menengah merosot 30 persen pada triwulan I 2009. Fuad tak yakin bila lambatnya penurunan bunga kredit karena perbankan mengalami cost of money. Pasalnya, kondisi itu dapat diatasi dengan menurunkan bunga kredit menjadi kisaran 11 persen.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia (GAPMMI), Franky Sibarani mengungkapkan, perbankan di Indonesia sulit dikontrol BI karena sebagian bank dimiliki asing. Hingga kebijakan mengacu kepada manajemen mereka. Jadi, tak heran, BI sudah menurunkan bunga acuan tapi tak diikuti perbankan. Semestinya, harus ada kemampuan politik dari pemerintah. “Pemerintah harus berani memberi direksi yang jelas ke mana peran perbankan ke depan.”

Bagaimana jika bank BUMN memelopori penurunan suku bunga? Menurut Franky, jangan sampai kebijakan bank BUMN menurunkan suku bunga malah mengebiri mereka sendiri. Bagi dia, jumlah bank BUMN relatif kecil dibandingkan bank umum lainnya. “Misal, mereka menurunkan suku bunga. Otomatis bunga deposito juga turun. Nasabahnya bisa pindah ke bank lain. Kan, mereka bisa kesulitan. Berbeda, jika kebijakan bank BUMN diikuti bank lainnya, itu bagus,” ujar dia.

Saat ini, sektor makanan dan minuman lebih berhati-hati untuk ekspansi usaha. Sebab, tahun ini permintaan hanya mengalami peningkatan sedikit. “Ya, itu karena situasi ekonomi belum pasti. Kalaupun ekspansi sangat hati-hati. Jadi, yang mau utang ke bank juga minim.” Sapariah Saturi H/Luther Kembaren

“Yang Penting Harga Obat Terjangkau”

Dari Profit, 8 Juli 2009

HARI itu Dian tampak khawatir. Anaknya, M Rifki sakit. Dia membawa anak usia 3,5 tahun ini ke dokter. “Nafasnya sesak.......Tampaknya dia gejala asma,” kata pria 31 tahun ini. Beberapa menit dokter memeriksa, lalu memberi resep. Dian pun menebus resep tadi. Warga Bekasi yang sehari-hari sebagai tukang parkir ini tercekat. “Ah, obatnya mahal sekali....saya bayar Rp200 an ribu,” katanya belum lama ini.

Bagi Dian, ke dokter atau ke rumah sakit itu identik dengan mengeluarkan banyak uang. Obat begitu mahal. Jika sakit tidak terlalu parah, dia enggan berurusan dengan dokter atau rumah sakit. Padahal, pemerintah telah menyediakan obat generik, tetapi Dian tidak tahu. Jika mengambil obat resep dokter, dia tetap membeli dengan harga mahal. “ Saya ga pernah denger ada obat generik, yang murah dan bagus,” ujar dia.

Dia berharap, masyarakat terutama kalangan bawah bisa menikmati pelayanan kesehatan yang baik. Salah satunya, mendapatkan obat berkualitas dengan harga terjangkau.

Ada jutaan warga seperti Dian. Mereka mengharapkan, harga obat, layanan kesehatan tak terlalu mahal. Dengan rencana merger BUMN farmasi---yang juga produsen obat-obat generik di Indonesia—mereka ingin harga obat bisa menjadi lebih murah. Tujuan merger salah satunya agar perusahaan meningkatkan kinerja dan beroperasi lebih efisien. “Apapun bentuknya, bagi kami yang penting harga obat terjangkau,” ucap Dian.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana merger BUMN farmasi ini hanya sebatas urusan bisnis. Mengenai harga obat ke konsumen akhir yang tinggi tak akan terjawab karena begitu kompleknya masalah. “Kalau merger itu kan di hulu, hanya urusan bisnis. Di atas kertas saja kalau dikatakan bisa menurunkan harga obat. Di hilirnya, distribusi obat dari produsen ke konsumen akhir, itu paling banyak masalah,” kata Ketua YLKI, Tulus Abadi, Selasa(7/7) di Jakarta.

Dia mengatakan, selama ini masyarakat mendapatkan harga obat begitu tinggi. Mengapa? Karena dalam distribusi obat bermain mafia besar. Jadi, selama pemerintah tak dapat memotong rantai distribusi obat dari produsen ke konsumen akhir, harga obat akan tetap tinggi. Belum lagi, adanya tudingan kerja sama antara produsen obat dan dokter. “Hal semacam ini juga menjadikan harga obat di masyarakat mahal.” Untuk itu, YLKI meminta, Departemen Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan(BPOM) dapat menindaklanjuti kasus ini. Sapariah S Harsono

Indonesia’s Milky Dilemma

Dari Indonesia Rising, 1 Juni 2009

Indonesian government increased import duties five percent in a bid to protect dairy farmers.

AUSTRALIA and New Zealand supply about 70 percent of milk consumption in Indonesia. Annually Indonesia consumes around 2.3 tones of milk. The global economic crisis, however, put pressures on dairy farms in Down Under, resulting in lower milk prices. In Java, it affected local dairy farmers. Milk processing industries demanded the local dairy farmers to reduce their prices. It created difficulties for the local farmers as they mostly have two until four cows. Economically a dairy farmer should have at least 10 until 12 cows.

Chairul Rachman, the Director for Farm Product Marketing at the Ministry of Agriculture, said that most of the dairy farmers are based on Java Island with 382,300 cows, or around 96.7 percent of Indonesia’s total cow population. These farmers annually supply only 26.5 percent of the milk consumption or around 636,800 tones of milk. The rest, 1.42 tones or 73.5 percent is imported from Down Under.

Dairy regulations contribute to Indonesia’s low milk production. Farmers have difficulties to buy young calves, to get quality feed as well as to standardize and to market their products. Dairy farmers are discouraged to develop their farms. The government rarely produces incentives to the farmers. Milk cooperatives turn to buy milk at low price. “Cooperatives are under pressures to find new marketing,” said Rachman.

Prior to the global economic crisis, Indonesia did not tax milk import. In early May, milk processing industries asked Java’s dairy farmers to reduce their milk price from Rp3,650-Rp3,750 to Rp3,350. It was a significant reduction of around Rp300-Rp500 per liter. The farmers declined the request.

The Ministry of Trade mediated a meeting between the Indonesian Union of Dairy Cooperatives and milk processing industries. They agreed to set the price reduction at Rp100-Rp150 per liter.

Later the Union also reported their difficulties to the House of Representatives’ Commission IV. Union leader Dedi Setiadi suggested three options. The first option includes price subsidy, cow feed subsidy and land stimulus. The second option is to allow dairy farmers and milk industries to organize school milk program. It is basically a program to encourage school children drinking milk at their schools. The third option is to ask the government revising Finance Minister regulation No. 19.2009 on import duties.

The regulation says that importing milk, sweetened milk and condensed milk were not taxed. Dedi Setiadi asked the government to tax the milk import at around five percent.

The Union didn’t wait long. In late May, the Finance Ministry agreed to impose the import duty. It was established at five percent. Dairy farmers welcomed that decision.

One problem was fixed. But Indonesia’s dependency on milk import is not solved yet.

-- Sapariah Saturi/Luther Kembaren

Monday, February 02, 2009

Rice Export to Start This Month

By : Sapariah Saturi Harsono

THE export is important to stabilize rice price domestically. INDONESIA was once known as a staple food importer. It annually bought overseas rice, corn, flour, soya bean, etc. During the President Suharto era, his administration improved food production in a bid to be self-sufficiency.

Last year, Indonesia totally stopped importing rice, its most important staple food. According to Statistics Indonesia, unhusked rice production reached 60.26 tones last year.

This year, the Ministry of Agriculture estimated that the national unhusked rice production might reach 63.5 tones or around 35.9 tones of rice. National consumption is around 30.9 tones. The surplus is around five tones.

In a bid to prevent the rice price declining, the government plans to export the surplus rice. It will export the premium rice. Some countries, including Japan, Hong Kong, Singapore and Brunei Darussalam, have indicated their eagerness to buy Indonesian rice. The government does not want to export the medium quality rice, as it wants to wait the local market secured. The government really wants to be sure that the surplus will reach five tones.

Bulog, Indonesia's state-owned logistic company, is going to be the sole rice exporter. Bulog President Director Mustafa Abubakar recently said that Bulog plans to export premium rice, between 10,000 and 20,000 tones per month.

"Rice with the super quality, like Cianjur and Aromatik, are favorable overseas. Japan already sampled the rice from East Java and Central Java," he said.

The premium rice export also demands that its broken grain is fewer than five percent. Now Bulog is working with companies prepared to export the premium rice. He said the would-be exported rice basically belong to private companies. But Bulog is the only company in Indonesia given the permit to export rice. "The export, probably starting in February, but we are still waiting for the permit from the Ministry of Trade," he said.

He described that Bulog chose the premium rice on the grounds that its market is segmented while its price range wide. Medium quality rice also has its market in the Philippines, Malaysia and East Timor.

Agriculture Minister Anton Apriyantono said Bulog could actually export rice without waiting for the final result of national rice production. The export is important to stabilize rice price domestically. "If the rice production is plentiful, it will trigger the price to decline. Farmers will get the impact." His ministry estimates that the surplus this year will be 3.8 tones higher than the 2008 production.

Economist Bustanul Arifin of the Lampung University, however, cautioned the government on the rice surplus. He said Statistics Indonesia's calculation method is questionable. The method did not change over the last two decades.

He stressed that the statistic agency never calculate the land conversion as well as natural disaster. They changed the farming areas. "Rice production, ironically, always increase as we see more and more natural disasters," he said.

Statistic Indonesia only calculates the areas of rice fields, increasing the figures years after years. "It's true that the rice production in 2008 was plentiful. It actually happened because our rice consumption was lower than the rice production. It creates some surplus"

Let's hope that the Statistic Indonesia's prediction is to be correct, or at least, the rice production will be the same with last year's figure. If it is to happen, at least, the rice self-sufficiency situation will be longer, not just one or two years. It should also be accompanied by diversifying the staple foods.

From: Indonesia Rising, 2 February 2009

Mass Dismissal Threatens Workers

By : Sapariah Saturi Harsono

THE U.S.-triggered global financial crisis at first only hit Jakarta’s financial sector. But now this global crisis began to hit the real sector. It lowered market demands from the U.S. and Europe. Domestically, it also weakened consumers’ buying power. They make things very difficult for the business sector.

Crude oil price had decreased, from US$147 per barrel in July 2008 to only $42 last month. It also lowered the prices of agricultural produces. The Indonesian rupiah also weakened, going down from around 10,000 to the American dollar to 12,000 in the last three months. Liquidity is also an issue. It badly affects the real sector.

The crisis also prompted many industries to reduce their production down to 30 percent in a bid to reduce their financial burden. Workers dismissals take place more and more frequently, especially among the labor-intensive industries such as plantation, garment, construction etc. In 2009, several institutions estimated that around one million workers might lose their jobs.

The government tried to anticipate this mass dismissal. Four ministers –Home Affairs Minister Mardiyanto, Man Power and Transmigration Minister Erman Suparno, Industry Minister Fahmi Idris and Trade Minister Mari E. Pangestu—jointly issued a new regulation. It tried to keep economic growth. One of their points was to allow bi-partite decision in setting wages: only the company and the workers. Many unions protested the joint decree, saying that it might be exploited by employers to lower wages.

Meanwhile, mass dismissal is taking place. Ade Sudrajat Usman of the Indonesian Textile Association said that employers do not have other options as demands from the U.S. and Europe had decreased significantly. More than 50 percent of Indonesia’s textile are exported to the U.S. and Europe.

So, according to Usman, they have no other option but laying off their workers. About 100,000 textile workers are going to lose their jobs between November 2008 and March 2009.

The government is expected to anticipate these mass dismissal. The government has promised to spend Rp 100 trillion to cushion the dismissal. It will be spent on infrastructure construction, social network program, small business credit etc.

They are good promgras. But they are still on paper. Sofjan Wanandi of the Indonesian Employers Association (Apindo) called on the government to implement these programs as soon as possible, saying that it will help solve the dismissal. “The slowing down of our economic growth forced industries to cut production 20 to 30 percent, making mass dismissal unavoidable.”

If the stimulating funds are to materialize, the dismissed workers could immediately work in the government-financed programs.

Wanandi’s Apindo predicted that 500,000 to one million workers will lose their job this year. Last year, 100,000 workers already lost their jobs.

From: Indonesia Rising, 5 January 2009