Tuesday, July 14, 2009

“Yang Penting Harga Obat Terjangkau”

Dari Profit, 8 Juli 2009

HARI itu Dian tampak khawatir. Anaknya, M Rifki sakit. Dia membawa anak usia 3,5 tahun ini ke dokter. “Nafasnya sesak.......Tampaknya dia gejala asma,” kata pria 31 tahun ini. Beberapa menit dokter memeriksa, lalu memberi resep. Dian pun menebus resep tadi. Warga Bekasi yang sehari-hari sebagai tukang parkir ini tercekat. “Ah, obatnya mahal sekali....saya bayar Rp200 an ribu,” katanya belum lama ini.

Bagi Dian, ke dokter atau ke rumah sakit itu identik dengan mengeluarkan banyak uang. Obat begitu mahal. Jika sakit tidak terlalu parah, dia enggan berurusan dengan dokter atau rumah sakit. Padahal, pemerintah telah menyediakan obat generik, tetapi Dian tidak tahu. Jika mengambil obat resep dokter, dia tetap membeli dengan harga mahal. “ Saya ga pernah denger ada obat generik, yang murah dan bagus,” ujar dia.

Dia berharap, masyarakat terutama kalangan bawah bisa menikmati pelayanan kesehatan yang baik. Salah satunya, mendapatkan obat berkualitas dengan harga terjangkau.

Ada jutaan warga seperti Dian. Mereka mengharapkan, harga obat, layanan kesehatan tak terlalu mahal. Dengan rencana merger BUMN farmasi---yang juga produsen obat-obat generik di Indonesia—mereka ingin harga obat bisa menjadi lebih murah. Tujuan merger salah satunya agar perusahaan meningkatkan kinerja dan beroperasi lebih efisien. “Apapun bentuknya, bagi kami yang penting harga obat terjangkau,” ucap Dian.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana merger BUMN farmasi ini hanya sebatas urusan bisnis. Mengenai harga obat ke konsumen akhir yang tinggi tak akan terjawab karena begitu kompleknya masalah. “Kalau merger itu kan di hulu, hanya urusan bisnis. Di atas kertas saja kalau dikatakan bisa menurunkan harga obat. Di hilirnya, distribusi obat dari produsen ke konsumen akhir, itu paling banyak masalah,” kata Ketua YLKI, Tulus Abadi, Selasa(7/7) di Jakarta.

Dia mengatakan, selama ini masyarakat mendapatkan harga obat begitu tinggi. Mengapa? Karena dalam distribusi obat bermain mafia besar. Jadi, selama pemerintah tak dapat memotong rantai distribusi obat dari produsen ke konsumen akhir, harga obat akan tetap tinggi. Belum lagi, adanya tudingan kerja sama antara produsen obat dan dokter. “Hal semacam ini juga menjadikan harga obat di masyarakat mahal.” Untuk itu, YLKI meminta, Departemen Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan(BPOM) dapat menindaklanjuti kasus ini. Sapariah S Harsono

No comments: