“….PANGAN merupakan soal hidup matinya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka ‘malapetaka’. Oleh karena itu, perlu usaha besar-besaran, radikal dan revolusioner.” Mengutip Presiden RI pertama, Soekarno.
Indonesia boleh tersenyum karena bisa swasembada beras. Namun, sebaiknya jangan tersenyum terlalu lama. Mengapa? Karena pekerjaan rumah masih menumpuk! Kebutuhan pangan masih banyak dipasok dari impor. Ini harus menjadi perhatian bahkan peringatan. Kini, produk pangan diperebutkan untuk dua sisi di dunia: bahan pangan dan sumber energi. Jadi, pasokan pangan harus kuat. Tak hanya memenuhi kebutuhan, stabilisasi harga juga harus terjaga.
“Ya, memang ada keberhasilan swasembada beras. Tapi produk pangan tak hanya beras bagaimana jagung, kedelai, daging sapi, susu dan lainnya. Itu masih tergantung impor,” kata Benny A Kusbini, Ketua Harian Dewan Holtikultura Nasional, belum lama ini.
Benar apa yang dikatakan Benny Kusbini. Tahun 2000, impor jagung Indonesia 1,28 juta ton, tiga tahun kemudian naik menjadi 1,39 juta ton. Pada 2004 naik lagi menjadi 2,73 juta ton dengan masing-masing sebesar US$165,3 juta, US$179,8 juta dan US$132,6 juta. Tahun 2007, impor 414 ribu ton, turun dibandingkan 2006 sebesar 1,6 juta ton.
Produksi jagung nasional hanya meningkat tipis. Pada, 2003, produksi 10,8 juta ton naik menjadi 11,2 juta ton 2004. Tiga tahun setelah itu, tahun 2007, produksi baru 13,29 juta ton. Produksi naik cukup tinggi pada 2008 menjadi 15,86 juta ton dengan kebutuhan dalam negeri hanya 13 juta ton.
Tahun 2009, Departemen Pertanian (Deptan) menargetkan produksi jagung nasional 18 juta ton pipilan kering, diperoleh dari luas tanam 4,28 juta hektare (ha) dan luas panen 4,08 juta ha dengan produktivitas 44,12 kuintal per ha.
Meskipun di atas kertas produksi nasional sudah melebihi kebutuhan, tetapi masih saja impor jagung. Contoh, sektor peternakan yang menggunakan jagung sebagai bahan baku pangan ternak merasa kesulitan memenuhi dari produksi dalam negeri jadi masih perlu impor. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan ternak mencapai 3,6-4 juta ton per tahun “Katanya produksi jagung besar. Ini 50 persen bahan baku pakan dari jagung tapi susah mau dapatnya,” kata Ketua Forum Masyarakat Perungggasan Indonesia (MPI), Don P Utoyo.
Dalam pekan ini, petani jagung di Medan protes karena harga rendah. Mereka meminta pemerintah menghentikan impor agar harga panen membaik. Kini, harga jagung di tingkat petani Sumatera Utara (Sumut), misalnya, kadar air 25-26 persen tinggal Rp1.700 per kg, sebelumnya Rp2.200, bahkan pernah Rp2.500 per kg.
Tak jauh beda nasib kedelai. Pada 1992, negara ini pernah swasembada kedelai, waktu itu produksi 1,8 juta ton. Namun dari tahun ke tahun produksi kedelai terus turun. Impor pun menjadi andalan. Pemerintah bertekad ingin swasembada kedelai. Target produksi kedelai tahun ini 1,5 juta ton dengan luas tanam 1,050 juta ha, luas panen 997,5 ha dengan produktivitas rata-rata15,04 ku/ha. Namun peningkatan produksi ini belum memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor kedelai masih dilakukan dari Brazil maupun Amerika Serikat sekitar satu juta ton.
Guna mewujudkan swasembada, Deptan melakukan beberapa program, antara lain SL PTT (sekolah lapangan pengelolaan tanaman terpadu) kedelai kurang lebih 100 ribu ha secara nasional tahun ini dan 250 ribu ha tahun 2010. Lalu bantuan langsung benih unggul, cadangan benih nasional dan lainnya.
Bidang perkebunan seperti karet, kakao, sawit memang tampak sukses. Namun, perlu ditilik lagi, siapa pemilik dari produksi itu? “Sebagian besar milik asing. Ini artinya, jangan sampai pertanian itu didominasi asing,” ucap Benny.
Lalu, bagaimana nasib pasokan daging dan susu? Lagi-lagi sama: masih mengandalkan impor. Impor sapi rata-rata per tahun 650 ribu ekor. Berdasarkan penelitian Indonesia Research Stategic Analysis (IRSA), 2009, sekitar 273.700 ton atau 70 persen kebutuhan daging dipasok sapi potong rakyat, 17 persen atau 66.470 ton setara 332.350 ekor sapi dari industri penggemukan modern—ini sapi bakalannya dari impor. Lalu, 13 persen atau 50.830 ton impor daging dan jeroan.
Sejak beberapa tahun lalu, Indonesia menargetkan swasembada daging sapi. Namun, target tinggal target alias tak mampu terealisasi. Seperti tahun 2005, pemerintah sudah menargetkan swasembada. Gagal. Lalu, tahun ini target swasembada juga tak tercapai. Artinya, masih perlu impor, terbesar dari Australia dan Selandia Baru. Belum lama ini, Deptan menyetujui impor daging sapi dari Brazil, satu negara yang belum terbebas penyakit berbahaya sapi. Banyak penolakan. Teranyar, sedang dalam pengkajian impor daging dari Polandia.
Mei lalu, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan UU PKH) disahkan. Kini, Indonesia memiliki UU PKH no.18 /2009. Semoga, ini menjadi angin segar peluang pengembangan peternakan lokal.
Indonesia juga surga bagi pasar impor susu. Sekitar 70 persen susu sapi masih impor. Tahun 2006, sapi perah 369 000 ekor dengan produksi susu 616.500 ton. Naik tipis pada 2007, sebanyak 378 000 ekor sapi perah dan produksi susu 636.900 ton. Produksi ini hanya mampu memenuhi kebutuhan sekitar 25-30 persen. Akibatnya, sebagian besar kebutuhan atau konsumsi nasional susu dan produk olahan dipasok impor dari Selandia Baru, Australia, dan Philipina. Jelas, ketergantungan tinggi terhadap impor yang membuat rentan terjadi gejolak harga. Tak hanya produksi rendah, kualitas susu dalam negeri juga rendah.
Kondisi ini disebabkan beberapa hal, antara lain, pengelolaan peternakan sapi perah belum maksimal. Lokasi peternakan berada di lahan marginal, bukan lahan khusus peternakan. Skala peternakan kecil, rata-rata mempunyai dua atau tiga ekor sapi. Padahal, untuk mencapai untung minimal memiliki 10 ekor sapi. Masalah lain, pakan ternak. Sapi-sapi perah di Indonesia diberi pakan seadanya. Padahal, untuk menghasilkan susu berkualitas, perlu pakan berkualitas. Belum lagi cara memeras susu masih tradisional hingga tak maksimal.
Dari begitu besarnya ketergantungan impor ini, menunjukkan Deptan masih memiliki setumpuk pekerjaan. Harus terus bekerja keras. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri jelas tak bisa dikerjakan sendiri. Perlu kerja sama dengan instansi lain, termasuk kalangan pelaku usaha bahkan petani/peternak itu sendiri.
By: Sapariah Saturi Harsono dari Jurnal Nasional, 12 Oktober 2009
Monday, October 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment