Tulisan di Bisnis Indonesia, 29 September 2005
Susahnya memberdayakan masyarakat miskin
“Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh nanti di rumah juga.” Ungkapan seperti ini masih kerap terdengar dalam masyarakat di tengah perkembangan zaman yang begitu pesat ini. Realita di lapangan pun membuktikan, tingkat pendidikan perempuan masih jauh tertinggal.
Diskriminasi, budaya patriaki masih begitu kuat, meski tak dipungkiri sudah banyak juga perempuan-perempuan tampil sebagai pemimpin baik organisasi, perusahaan bahkan satu negara. Namun, sebagian besar kondisinya masih memprihatinkan.
Indonesia, satu negara yang memberi contoh jelas ketertinggalan kaum perempuan. Pendidikan, kesehatan plus perekonomian mereka rendah. Banyak hal yang bisa terjadi dan kemungkinan besar memunculkan permasalahan baru.
Ambil contoh, perempuan yang berpendidikan rendah akan kawin muda. Karena tak memiliki pengetahuan luas, pendidikan rendah bisa jadi membina keluarga tanpa perencanaan. Terkait pula dengan kesehatan reproduksinya, bayi lahir tak normal, kurang gizi, angka kematian ibu tinggi. Ditambah lagi kesehatan lingkungan keluarga tak terjamin yang ujungnya akan menciptakan generasi susah. Bisa dilihat berapa juta anak jalanan, gelandangan dan pengemis.
Sementara sepertinya penentu keputusan di negara ini belum memiliki perhatian serius dan kesamaan persepsi akan pentingnya peningkatan kualitas perempuan. Buktinya, terlihat dari alokasi anggaran buat perempuan sangat minim.
Perwakilan Ford Foundation di Indonesia, Meiwita Budiharsana memaparkan fakta-fakta betapa ketetinggalan dan permasalahan seputar perempuan. “Jadi, tidak ada alasan pemerintah masih cuek melihat semua itu. Ini masalah serius yang harus segera mendapatkan perhatian,” tandasnya.
Hambatan yang terkait alokasi anggaran berkeadilan gender seharusnya tidak perlu terjadi. Perempuan tertinggal dalam berbagai aspek. Ancaman mengerikan juga mengintai yang ditimbulkan dari masalah dasar ini. Dia mencontohkan dari aspek pendidikan, alokasi dana tahun 2005 hanya 6,4%.
Padahal, angka buta huruf usia di atas 10 tahun untuk perempuan di pedesaan 16%, perkotaan 7%, laki-laki di perdesaan 8%, perkotaan 3%. Usia 15 tahun ke atas angka buta huruf perempuan 45%, laki-laki 23%.
Untuk kesehatan menunjukkan fakta menyedihkan. Alokasi anggaran tak jelas. Tingkat kematian ibu melahirkan (AKI) tinggi, tahun 1994 sebanyak 380 ibu per 100.000 kelahiran, aborsi tinggi, HIV/AIDS.
Alokasi yang tak jelas berdampak pengurangan sejumlah tenaga medis dan tenaga bantu kesehatan seperti bidan desa. Tenaga dan fasilitas kesehatan yaitu bidan desa tahun 2000 berjumlah 62.906, tahun 2003 berkurang jadi 39.906.
Rasio bidan 71 bidan per 100.000 untuk menangani perempuan pada usia reproduksi.
Keadaan ini butuh kesadaran akan pentingnya meningkatkan kualitas perempuan. Karena di tangan para perempuan ini bertumpu banyak harapan dan juga masalah, tentunya.
Nah, satu hal yang paling menentukan peningkatan kualitas perempuan adalah dengan peningkatan alokasi anggaran.
Saat ini, selain jumlahnya yang kecil, anggaran yang digunakan untuk menciptakan keadilan gender baik di tingkat nasional maupun lokal tidak fokus.
Nursanita Nasution, anggota DPR RI dari Komisi Anggaran dalam Diskusi Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender mengatakan anggaran perempuan dalam APBN masih kecil. Pada 2005 anggaran perempuan dalam APBN yang terbagi dalam dua pos yaitu program penguatan pengarusutamaan (penyetaraan gender) kelembagaan gender dan anak sebesar Rp71,85 miliar dan program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan Rp8,962 miliar. Angka ini masih sangat kecil karena harus dibagi dalam sejumlah instansi.
Padahal, untuk fasilitas Depdagri saja, dalam APBN-P 2005 disetujui anggaran Rp90,6 miliar.
Untuk 2006, RAPBN juga tak banyak berubah. Dalam RAPBN 2006 anggaran program penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak Rp73,796 miliar dan program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan Rp9 miliar.
Menyikapi keadaan ini, kata Nursanita, perlu secara terus menerus melakukan sosialisasi dan advokasi tentang pengarusutamaan gender secara berkesinambungan serta memberdayakan perempuan dalam penentuan local budgeting.
Hal ini tidak mudah dilakukan. “Mengubah cara pandang tentang kemiskinan antara masing-masing departemen itu yang perlu,” kata Sujana Royat, Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Proses penganggaran itu melalui banyak tahap. Untuk ‘menggolkan’ satu anggaran harus digiring dari awal. Contohnya saja, anggaran di daerah. Mulai menggiringnya dari tingkat desa sampai ke perencanaan kota maupun kabupaten. Begitu juga anggaran di pusat. Selain itu, butuh komitmen dan kesamaan persepsi antara masing-masing pihak yang terlihat dalam penentuan tersebut.
Kondisi sekarang, antara masing-masing dinas maupun departemen masih ada inkonsistensi, koordinasi yang lemah, serta moral hazard dari aparatnya.
Misalnya saja, antara Menko Kesra dan Departemen Keuangan juga legislatif belum ada kesamaan kesepahaman. Contohnya, dari Menko Kesra sudah berusaha agar anggaran perempuan ditingkatkan menyadari pentingnya tambahan dana dalam meningkatkan kualitas perempuan. Namun, pemahaman tentang peningkatan dana pemberdayaan perempuan itu belum sama antara intansi terkait yang dapat memutuskan pembagian roti anggaran ini. “Kalau cuma dari Menko Kesra saja yang mengerti dan paham arti pentingnya, tapi tak didukung lainnya kan tidak jalan juga,” ungkap dia.
Kalau hanya satu instansi saja, tanpa didukung yang lain akan sulit sekali.
Sumedi Anggono Mulyo dari Bappenas mengungkapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang saat ini dilakukan memungkinkan sekali keterlibatan masyarakat sipil, terutama perempuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan.
Meskipun dalam proses pembangunan perempuan bisa berpartisipasi secara aktif, tetapi dalam praktiknya banyak sekali hambatan yang berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran yang berkeadilan gender.
Sejumlah hambatan ini, kata Sumedi, diantaranya kurangnya pemahaman terhadap akar masalah dan realitas kemiskinan terutama yang dialami perempuan di berbagai wilayah. Hambatan lainnya belum adanya rencana kerja operasional kementerian/lembaga dalam penyusunan anggaran berkeadilan gender.
Termasuk belum jelasnya pembagian tugas dan kewenangan antarinstansi dalam penyusunan anggaran berkeadilan gender. Ini terjadi karena lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data dan informasi, termasuk lemahnya koordinasi antara lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah.
Jadi, ke depan perlu kesepahaman dan kesepakatan operasional antara departemen keuangan, Bappenas, kementerian, DPR/DPD dan pemerintah daerah dalam menetapkan kerangka hukum termasuk penerbitan peraturan tentang kriteria, prosedur dan penetapan anggaran berbasis keadilan gender.
Perlu pengarusutamaan berbagai program dan proyek kementerian/lembaga dan pemerintah daerah baik yang dibiayai dari APBN murni maupun dari utang. Terutama lokasi, jenis kegiatan dan target group perempuan. Perlu pula dilakukan penentuan prioritas kegiatan pokok dan indikasi pagu anggaran dilakukan dengan memperhatikan realitas masalah perempuan di daerah dan penggunaan kriteria yang jelas, terukur dan obyektif.
Juga perlu pemihakan sungguh-sungguh terhadap kepentingan rakyat terutama perempuan dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan. “Masalah alokasi
berkeadilan gender ini bisa diphami semua pihak, perlu digalakkan kampanye dan sosialisasi secara aktif tentang pelaksanaan anggaran berbasis keadilan gender sebagai instrumen dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat.”
Friday, September 30, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Ah, ari yang semangat dong. Caiyo
Post a Comment