Terbit di Bisnis Indonesia
Minggu, 27 November 2005
Kondisi 'abu-abu' picu kekerasan
Indonesia menghadapi berbagai aksi kekerasan di daerah. Pecah konflik berlatar belakang isu etnik dan agama. Negeri ini juga menjadi sasaran-bahkan sarang-teroris. Bagaimana masa depan integrasi bangsa?
Untuk mengupas rentannya disintegrasi Indonesia, Bisnis berbincang dengan Hendardi, aktivis dari PBHI yang kerap melakukan pembelaan terhadap korban-korban ketidakadilan dalam penegakan hukum. Berikut petikan wawancaranya.
Apa akar kekerasan dan terorisme di Indonesia?
Mesti dijernihkan dahulu bahwa tidak serta merta adanya teroris di Indonesia itu karena adanya sekelompok masyarakat ideologi tertentu seperti yang seringkali diberitakan.
Akar terorisme sebetulnya sudah sangat lama. Dalam pemerintahan Orde Baru, 30 tahun lebih kita diajarkan bagaimana pemerintah menteror rakyatnya. Kalau melihat berbagai aksi di daerah, kekerasan mengatasnamakan perbedaan agama, etnik, kemudian terjadi konflik kelompok. Padahal sebelumnya kehidupan damai.
Namun, belakangan seperti ada provokasi dan ada tindakan teror terhadap masyarakat kepada masyarakat lainnya. Kuat dugaan dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Memprovokasi maupun menakut-nakuti rakyat.
Jadi problem terorisme, problem konflik daerah, lebih pada cara pengelolaan negara dan masyarakat yang memakai cara-cara represif pada masa lampau. Kita ditularkan pada cara-cara kekerasan yang dipertontonkan negara kepada masyarakat. Menculik, membunuh seenaknya tanpa prosedur hukum, menangkapi orang, menyiksa orang dan semacamnya.
Mengapa Indonesia menjadi sarang teroris?
Penyelesaian problem terorisme selalu ditekankan menyangkut instrumen-instrumen hukum yang kurang. Itu tak bisa dikatakan benar. Penyelesaian dengan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa seperti di Maluku atau di Poso tanpa mencari dan menghukum yang sebenarnya menjadi akar masalah.
Kita tidak mencoba mencari akar masalahnya dan mencari siapa di balik aksi-aksi itu, kemudian mendamaikan orang-orang yang konflik. Akibatnya, konflik muncul lagi. Penegakan hukum itu mencegah preseden yang sama terulang di kemudian hari. Itu penting.
Nah, kalau ada perdamaian tapi tidak ada penegakan hukum, siapa yang bersalah tidak dihukum, itu tidak akan memberikan kejeraan.
Dalam penyelesaian [pemerintah] kerap menghindar dari akar masalah hingga tidak menunjukkan komitmen dan keseriusan. Salah satu contoh, banyak sekali isu pada kasus Maluku atau Poso, itu dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang diindikasi justru ada di dalam negara tetapi tidak pernah ada pengungkapan.
Juga pembentukan tim-tim pencari fakta seringkali merupakan tim pencari fakta yang hanya pura-pura. Komitmen politiknya lemah. Maksudnya seringkali tim pencari fakta, misalnya Maluku, tidak diumumkan hasilnya. Tim pencari fakta di Poso, anggota-anggota tim yang terlibat sebagian dari pemerintahan bahkan justru mereka itu pihak-pihak yang harus diperiksa.
Melihat kondisi ini, berbagai upaya penyelesaian masalah sebetulnya hanya mengulur-ulur waktu dari kekerasan yang akan terus terjadi.
Mengapa pemerintah seakan enggan membongkar akar permasalahan?
Pemerintah tidak cukup memiliki komitmen kuat untuk menghadapinya. Di sini berbeda dengan banyak negara lain seperti di Afrika Selatan atau di Korea [Selatan]. Kelompok atau kekuatan demokratis ada di situ, Indonesia tidak begitu. Keadaan yang abu-abu terus menerus berlangsung. Karena itu pengambilan keputusan politik dari pemerintah ke pemerintah selalu dibayangi resistensi kekuatan status quo.
Ancaman disintegrasi besar?
Bisa terjadi kalau pengelolaan sistem politik mengulang cara-cara masa lampau. Tidak berani membongkar kasus-kasus di daerah di mana keterlibatan aparat negara sebagai pemicu konflik tidak diusut tuntas. Negara ini lahir dari pluralitas masyarakat yang bukan sekadar satu fakta tapi perlu dirawat. Merawat pluralisme harus menjadi kebutuhan dan semacam cita-cita.
Apa tindakan untuk mencegah masalah terulang?
Bagaimana pemerintahan ke pemerintahan pasca-Soeharto mampu memutus hubungan dengan rantai masa lalu, dengan berani menghukum pelaku kejahatan masa lalu. Perubahan politik harus terjadi, jangan dari abu-abu ke abu-abu. Kekuatan demokratis harus menangkan pertarungan. Kalau tidak jangan berharap Indonesia akan berubah cepat.
Pewawancara: Sapariah Saturi
Sunday, November 27, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment