Antara Tinta, Kertas dan Percetakan
Oleh Sapariah Saturi-Harsono
BAU asap hio terasa ketika memasuki ruang kerja itu. Di sudut kiri tampak seperangkat tempat berdoa. Patung Dewi Kwan Im, delapan dewa, juga Guan Gong, ada di sana. Sebuah meja bundar berada di tengah dengan empat kursi. Di meja, ada tumpukan buku, kalender duduk, printing proof. Pada dinding terpampang lukisan Walisongo. Seorang pria masuk. Berkemeja batik coklat muda. Dia duduk dan menjawab deringan handphone Nokia 6.600 warna hitam.
Lalu dia meraih telepon di meja di belakangnya. “Tolong telepon Pak Guntur ya, tanyakan tentang kertas yang akan digunakan,” pintanya. Lalu dia mengangkat telepon lagi meminta disambungkan kepada seseorang.
“Kalau hubungan dengan pelanggan, tidak diingatkan nanti lupa, pan susah,” katanya pada saya.
“Dari ngurus kertas, complain klien, pelanggan yang tanya ini, itu...ya...inilah sehari-harinya.”
Erwin Indarto adalah Presiden Direktur PT Jayakarta Agung Offset, sebuah perusahaan cetak, di daerah Kota, satu bagian paling tua dari Batavia yang didirikan Jan Pieter Coen pada awal abad 17. Selama beberapa kali menemuinya, saya perhatikan Erwin selalu mengenakan batik sutera. “Saya suka sekali pakai batik,” katanya.
“Ga tau, kenapa saya suka batik. Jadi, kalau ada pameran di mana gitu, saya dateng dan beli. Bulan ini, saya baru jahit tiga helai.”
Suatu saat dia jalan-jalan ke Tibet, menggunakan batik Mega Mendung. Seorang pedagang souvenir menyapanya. “Pak, bajunya bagus. Bisa tukar dengan souvenir saya,” pinta pedagang itu, ditirukan Erwin. “Mana bisa, saya mesti pakai baju apa?” jawab Erwin.
Di dalam hati dia bangga, baju batik khas Indonesia, disenangi di Tibet. “Pan, sekaligus membantu pengrajin batik itu.”
Erwin lahir di Jakarta, tahun 1950 dengan nama asli Sie Kek Djin. Dia anak kedua dari lima bersaudara, masing-masing, Kartono Sukardi, Erwin, Sie Siu Tin, Sie Mansur dan David. Pada 1950an, rumah keluarga Sie terletak di Jalan Jembatan Baru, samping Hotel Lusan, di sebelah Stasiun Kota. Hotel ini, yang banyak dipakai menginap orang-orang Tionghoa dari Surabaya, Banjarmasin dan sebagainya, milik kakek Erwin. Erwin kecil biasa main sekitar Kota.
Ayah mereka, Sie Coe Ha atau S. Subianto, mendirikan cikal bakal PT Jayakarta Agung Offset pada akhir 1960-an. Dia meninggal dunia tahun 2002. Setelah itu, perusahaan dipimpin anak tertua Kartono Sukardi. Akhir tahun 2006, ketika Kartono pensiun, Erwin menjabat sebagai presiden direktur.
KETIKA S. Subianto mulai bisnis percetakan, Jenderal Soeharto juga mulai berkuasa di Indonesia dengan dukungan Angkatan Darat. Dari Oktober 1965 hingga Maret 1966, mereka melakukan penumpasan terhadap golongan kiri serta pendukung Presiden Soekarno, yang imbasnya juga mengenai seluruh orang Tionghoa. Partai Komunis Indonesia dituduh berhubungan dengan Beijing dalam Gerakan 30 September di mana beberapa jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Tuduhan terhadap Beijing ini tak pernah dibuktikan. Namun tuduhan itu menimbulkan gelombang rasialisme terhadap orang Tionghoa di Indonesia.
Ketika Soeharto mulai berkuasa, orang Tionghoa harus “berasimilasi” dengan Indonesia. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan dirampas. Mereka tidak boleh menggunakan bahasa Mandarin. Agama Khong Hu Chu dinyatakan bukan “agama resmi.” Perayaan adat istiadat Tionghoa macam tarian naga dan hari Imlek juga dilarang.
Erwin Indarto dan abangnya, Kartono Sukardi, waktu itu masih remaja. Mereka sedang sekolah di Chinese school, Bandengan Utara. Kartono mulanya satu tingkat di atas Erwin. Tapi dia sempat tinggal kelas satu tahun hingga sama-sama kelas satu. Tahun 1966, sekolah mereka ditutup.
“Saya pun tak selesai sekolah. Chinese school tempat saya sekolah ditutup. Cuma sampai kelas satu,” cerita Erwin. Nama mereka sekeluarga pun diganti tanpa memakai marga Sie lagi.
Layaknya anak muda, mereka sebenarnya ingin melanjutkan sekolah. Namun, orang tuanya khawatir. Pada masa itu banyak demonstrasi di mana-mana. Ada demo Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia dan lain-lain. Ini salah satu masa paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Ada jutaan orang mati dibunuh. Jenderal Soeharto juga masih menghadapi sisa-sisa kekuatan Presiden Soekarno. Keluarga Sie memilih anak-anaknya tetap tinggal di rumah.
“Saya sebenarnya mau sekolah terus. Pan, teman-teman sekelas saya banyak yang selesai sekolahnya. Mereka melanjutkan ke luar. Saya sedih juga.”
Banyak di antara teman-temannya membeli ijazah kelulusan dan melanjutkan ke luar Indonesia. “Saya pikir, tak perlulah beli-beli ijazah, buat apa?”
Tahun 1968, ketika Soeharto sudah resmi menggantikan Soekarno, suasana politik mulai tenang. Sie senior atau Subianto menawari kedua putranya, Erwin dan Kartono, untuk membuka usaha percetakan. Dia ingin kedua anaknya membantu.
Subianto memiliki usaha jasa cetakan. NV Sukardi hanya menerima jasa cetakan dari pesanan-pesanan perusahaan negara . “Order-order yang kami dapatkan ini lalu di sub-kan lagi ke percetakan-percetakan kecil,” kata Kartono kepada saya.
Subianto juga memiliki perusahaan patungan printing kain di Bandung. Di sana dia joint bersama 10 temannya. Usahanya berjalan lancar. Sayang, pengelolaan manajemen kurang baik hingga Subianto berniat menarik kepemilikan di sana.
Dia melihat peluang bisnis percetakan menjanjikan. Apalagi, pesanan cetak yang mereka terima cukup banyak. Dia bertanya kesediaan kedua anak lelakinya, Kartono dan Erwin, untuk menjalankan bisnis percetakan itu. “Gimana kalau kita usaha percetakan sendiri? Kamu ada hobi ga di bidang itu?” tanya Subianto, ditirukan Kartono.
”Kalau memang you ada hasrat ke situ, jadi yang di Bandung, di salah satu perusahaan printing kain, mau mundurkan diri.”
“Kalau saya sih hobi-hobi aja,” jawab Kartono.
“Tapi kamu harus full time.”
Begitu juga Erwin. Dia menerima ajakan ayahnya. Subianto menarik modalnya dari Bandung dan membuka percetakan di Jakarta. Pada 12 Juni 1969, CV Pertjetakan Offset Djajakarta hadir dengan empat orang pendiri: S. Subianto, Kartono, Erwin dan seorang warga Hongkong, yang mereka panggil “Mr. Chin.” Awalnya mereka memiliki 30 karyawan.
Mr. Chin pernah bekerja di percetakan G. Kolff & Co., perusahaan modal Belanda, yang berdiri tahun 1932. G. Kolff & Co. merupakan salah satu percetakan terhalus di Batavia pada masa sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Ketika sengketa Indonesia dan Belanda meningkat sehubungan wilayah Papua, banyak perusahaan modal Belanda dijual atau diambil oleh negara Indonesia. G. Kolff & Co. perlahan-lahan tutup. Mr. Chin bergabung ke Djajakarta. Subianto dan anak-anaknya hormat pada Mr. Chin. Dia menguasai teknik, dari bagian produksi hingga listrik, dari pasang mesin dalam keadaan lepas sampai merakit mesin. “Semua bisa. Saya kerja sama-sama dia, ayah saya dan Erwin, berempat,” ungkap Kartono.
Kartono juga menimba ilmu di Pertjetakan Negara. Percetakan ini dimulai tahun 1809 dengan nama Lands Drukkerij. Tahun 1942, ketika Angkatan Darat Jepang menduduki Batavia, namanya diganti Gunseikanbu Inatsu Koja. Ketika revolusi kemerdekaan di Pulau Jawa meledak, namanya menjadi Pertjetakan Republik Indonesia. Pada 1950, beberapa saat sesudah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, namanya berganti menjadi Pertjetakan Negara Republik Indonesia.
Di percetakan itu, Kartono magang. Malam belajar teori percetakan, siang hari langsung praktik. “Saya catat semua pelajaran itu.” Gurunya bernama “Pak Hamid” yang mengepalai bagian reproduksi. Dia memberi pelajaran mengenai offset (cetak datar), cetak timbul. “Itu semua teorinya dikasih tau.”
Kartono belajar dari pertengahan 1968 sampai akhir 1969. Selesai dari Pertjetakan Negara, Kartono membantu ayahnya di CV Pertjetakan Offset Djajakarta.
Tahun-tahun awal perusahaan beroperasi, mereka mencetak kertas bungkus kado, terutama yang bermotif batik, cover buku motif batik, sampai box atau kemasan produk. Erwin muda biasa berurusan dengan batik. Mesin cetak pertama dari Tiongkok, ada tiga unit. Satu unit satu-warna dan dua unit dua-warna.
Pada 20 April 1970, perusahaan in berganti nama, dari CV Pertjetakan Offset Djajakarta menjadi PT Pangeran Djayakarta Offset. Namun pengadilan Jakarta melarang penggunaan kata “Pangeran Djajakarta.” Alasannya, nama itu sama dengan nama Jalan Pangeran Jayakarta, di mana perusahaan ini berkantor. Maka namanya berganti lagi menjadi PT Jayakarta Agung Offset pada 11 Agustus 1979.
Ketekunan mereka mulai mendapat kepercayaan pada tahun 1977. Soedarmadji Damais, waktu itu bekerja untuk dinas pemugaran Jakarta dan belakangan jadi kepala Museum Jakarta, mengatakan pada saya bahwa tahun itu, Gubernur Jakarta Ali Sadikin akan habis masa jabatannya. Antara 1966-1977, Ali Sadikin banyak membangun pusat-pusat kebudayaan, antara lain, Taman Ismail Marzuki, Museum Tekstil, Museum Bahari dan sebagainya.
Ali Sadikin minta Wastupraganta Tjong, yang mengepalai kantor tata bangunan dan pemugaran Jakarta serta atasan Damais, untuk menerbitkan dua buku kebudayaan. Satu buku soal pemerintahan Ali Sadikin. Satunya lagi buku pemerintahan pendahulunya: Walikota Suwirjo, Walikota Sjamsurizal, Walikota Sudiro, Gubernur Soemarno dan Gubernur Henk Ngantung. Damais, tentu saja, terlibat dalam pembuatan naskah buku.
Kedua buku ini didesain S. Prinka, redaktur disain majalah Tempo, yang sahamnya ikut dimiliki Yayasan Jaya Raya pimpinan Ali Sadikin. Jayakarta dipercaya mencetak buku Karya Jaya dan Gita Jaya. Buku Karya Jaya berisi masa pemerintahan lima kepala daerah Jakarta tahun 1945-1966. Gita Jaya berisi catatan kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin antara 1966 dan 1977. “Kedua buku dicetak dengan sangat bagus oleh Djayakarta Offset. Ketika saya melapor pada Pak Ali, kedua buku diterima dengan gembira,” ucap Damais.
Soedarmadji Damais mengenal Erwin Indarto sejak tahun 1976. Saat itu, Damais ditunjuk membuat katalog pameran seni lukis Indonesia di Balai Senirupa Jakarta. Acara itu dibuka Presiden Soeharto. Joop Ave, kepala protokol istana, yang belakangan jadi Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, minta kepada salah satu kenalannya, Wardiman Djojonegoro, yang ketika itu kepala biro pemerintahan Jakarta, untuk memakai perusahaan Erwin. “Pak Joop, bilang, kalau perlu percetakan, ini ada Erwin. Di situlah saya kenal dia,” kata Damais. Pada 1977, PT Jayakarta Agung Offset juga mencetak buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Lalu buku Istana Presiden Indonesia pada 1979. Pesanan cetak buku mulai banyak.
DALAM menjalankan perusahaan, Erwin Indarto memang lebih banyak menangani urusan dengan pihak luar. Jadi, di kalangan pelanggan, sosok Erwin lebih dikenal daripada Kartono, yang mengurus internal perusahaan, terutama percetakan.
Erwin berurusan dengan klien. Erwin menjalin perkawanan dengan Joop Ave, Soedarmadji Damais, Wardiman Djojonegoro –belakangan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—serta belasan disainer macam S. Prinka, Arief Tjahjono Abdi, Markoes Djadjadiningrat, Hermawan Tanzil, Lans Brahmantyo dan sebagainya. Namun, bukan berarti dia tak ikut mengawasi percetakan, dari pracetak sampai pasca cetakan. “Pekerjaan seperti ini pan memang harus teliti, jeli. Kalau salah sedikit pan kita jelek di mata pelanggan,” ujarnya.
“Biasanya ada yang sudah siap cetak, setelah saya lihat proof-nya, ada yang warna kuranglah, ukuran kuranglah. Kalau sudah masuk cetak, pan repot,” kata Erwin.
Kerja di percetakan ini tidak mudah. Mereka harus memenuhi keinginan pelanggan dengan cetakan bermutu. Kadang, kesulitan muncul jika berhadapan dengan pelanggan yang tak mengerti grafika tapi merasa tahu soal ketidaksamaan antara hasil cetak dan gambar asli.
Masalah ini pernah dialami Kartono. Seorang konsumen membawa separasi film. “Dia kasih ke repro, terima jadi film separasi, proof-nya bagus tapi kertasnya di atas hard paper. Cuma ngorder ke kita pake kertas fancy yang daya serapnya tinggi. Itu ga akan bisa. Hasilnya ga akan ketemu.”
Hal-hal seperti ini, kata Kartono, banyak konsumen tidak mengerti. “Ya, ga paham grafika, dia salahin percetakan. Saya punya gambar bagus, kenapa ini ga bagus, belepotan gini? Ya... ga tau yang bikin filmnya salah. Sebetulnya kalau dia mau bikin fancy paper harusnya fancy-nya kasih ke tukang proof.”
Dalam percetakan, masalah seperti ini memang sering muncul. “Namanya pelanggan, kita pan harus sabar. Kepuasan klien yang paling diutamakan,” ucap Erwin.
Kejelian dan ketelitian tak hanya ketika produksi, tapi dari pra sampai pasca produksi. Dari saat menerima order, penentuan kertas, tinta sampai produk jadi.
PT Jayakarta Agung Offset punya bagian pengawasan mutu (quality control). Setiap buku selesai cetak dan dijilid, masuk ke bagian ini di mana sekelompok karyawati bertugas memeriksa buku demi buku, halaman demi halaman. Mereka melakukan sortir. Bila semua tanpa cacat, pada bagian akhir buku yang disisipkan kertas kecil bertuliskan nama si pengawas mutu.
Contohnya, saya membuka buku Rumah Bangsa, Istana-istana Presiden Republik Indonesia Koleksi dan Benda Seni. Di bagian akhir buku tebal ini ada kertas berukuran 2x5 cm. Di sana tertulis: “JAO PT, controlled by, Makmumi.” Makmumi salah seorang pengawas mutu cetakan.
“Kadang-kadang kan staf ada yang lolos, jadi di setiap buku diberi nama bagian belakangnya, siapa yang menyortir . Kalau buku itu tidak baik dia yang bertanggung jawab,” ucap Kartono.
Percetakan lain, jarang yang punya bagian kontrol mutu. “Ini sangat bermanfaat sekali. Jadi mereka kerja sangat berhati-hati. Dia tahu ini buku-buku berharga, jadi tidak boleh sembarangan. Kita ga malu cantumkan ini, berarti kita teliti.”
Kadang, orang tidak mengerti risiko mencetak buku itu. “Orang bikin murah itu banyak tapi bagus, ga banyak. Di Indonesia itu bisa dihitung jari percetakan yang bagus,” kata Kartono.
Selain mengurus pemasaran, Erwin mengepalai urusan kontrol kualitas. “Saya salut sama adek saya. Dia kalau quality control sangat ketat. Kalau hasil tidak bagus maka dia bilang ke klien dan diulang lagi. Kasih masukan. Bayangkan saja, kalau hasil jilidnya lepas, waduh.... cilaka bisa.”
Memilih kertas perlu didiskusikan dengan pelanggan terlebih dahulu. Jayakarta sebagian besar menggunakan kertas impor karena memang lebih bagus. Harga kertas lokal dan impor, kata Erwin, tak berbeda jauh. Namun kertas impor kualitasnya terjamin. “Mau bagaimana lagi, pan memang kertas lokal kurang. Mutunya tidak stabil. Mutunya belang-belang. Jadi, bilang ke konsumen. Jika klien mau kertas lokal, tidak apa-apa. Kita berikan alternatif.”
Dalam menerima order, Erwin juga berhati-hati. Dia minta setiap bagian saling berkoordinasi, dari marketing sampai produksi. Kadang, di awal tahun, order banyak dan tak jarang antri. Bisa terjadi kekurangan kertas. Jika ini terjadi, Erwin akan berterus-terang dengan klien. Biasanya, klien jauh hari sudah memberitahu percetakan, kertas apa yang digunakan hingga bisa disediakan lebih dulu.
“Namun, bisa juga order ditolak jika memang waktu dan jumlah tidak memadai. Ini juga harus jeli. Pan kita khawatir juga kalau tidak bisa memenuhi pesanan klien tepat waktu.”
Deniek G. Sukarya, seorang fotografer asal Bali, punya beberapa pengalaman dengan Erwin. “Biasanya saya tidak lihat ada kekurangan dari hasil cetakan, malah dia yang kasih tahu. Dia sangat memperhatikan mutu percetakannya,” kata Deniek.
Buku Deniek antara lain Enchanted Moments, berbahasa Inggris setebal 216 halaman dan dicetak September 1999, berupa kumpulan foto pemandangan alam. Ada juga buku Indonesia: Harmony in Diversity, yang dibuat menyambut 40 tahun perusahaan farmasi PT Kalbe Farma, selesai cetak September 2006. “Di sana, harga cetakan itu berimbang dengan kualitas yang kita dapatkan,” kata Deniek.
John H. McGlynn dari Yayasan Lontar juga kerap bekerjasama dengan percetakan Jayakarta. Yayasan Lontar didirikan sastrawan Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Umar Kayam dan McGlynn tahun 1987 guna mempromosikan Indonesia melalui penterjemahan dan penerbitan sastra Indonesia ke bahasa Inggris. “Yang kami pentingkan kualitas dan bukan sepenuhnya harga karena audiens kami biasa membeli buku luar negeri,” kata McGlynn.
“Salah satu hal yang saya senangi, kebiasaan staf Jayakarta membicarakan penampilan buku sebelum pekerjaan dimulai. Kalau mereka berpendapat penampilan buku Lontar akan lebih bagus, misalnya, dipakai kertas atau warna tinta lain, dari yang kami tentukan, mereka langsung bicarakan hal ini sama kami.”
Sebelum akhir 1990-an, semua buku Lontar dicetak Jayakarta. Sekarang memang banyak percetakan muncul, namun baru satu atau dua perusahaan, misalnya PT Indonesia Printer, yang bersaing dengan Jayakarta. “Sekarang kebanyakan buku yang kami cetak di Jayakarta adalah buku bergambar berukuran besar,” kata McGlynn.
“Jelas, they take pride in their work!”
Mark Hanusz dari perusahaan penerbitan buku Equinox Publishing mengatakan, “Jayakarta is far and away the best printer for hardcover, illustrated books in Indonesia. I wouldn’t consider using anyone else.”
Menurut Soedarmadji Damais, “Khusus keluarga saya, dia (Erwin) sampai kenal ibu saya, adek saya, semua. Tetapi juga saya tau sama keluarga lain. Contoh, kalau salah seorang keluarga akrab, buat buku tahlilan untuk memperingati anggota keluarga yang meninggal, baik tujuh hari, 40 hari sampai 1.000 hari, Erwin selalu ringan tangan mencetak buku-buku tersebut dengan baik. Dan sering kali cuma-cuma. Itu hebatnya Erwin."
SUATU siang di dalam ruang rapat PT Jayakarta Agung Offset, Erwin sedang berbincang-bincang dengan Kepala Bagian Pra Cetak, Jo “Pocu” Hintarta. Mereka membicarakan rencana wawancara soal perusahaan mereka dengan saya. Tak lama kemudian masuk stafnya, berbisik sesaat pada Erwin. “Coba bawa ke sini hasilnya,” pinta Erwin.
Staf pun membawa hasil proof satu lembar kertas katalog Balai Lelang Seni Larasati dengan kurator Amir Sidharta. Kami semua memperhatikan hasil proof. Ternyata, ada garis pinggir terlalu dekat dengan gambar. “Pan tadi udah saya bilang, lihat lagi, udah bener blom.” Erwin mengatakan pada stafnya. “Benerin lagi.”
Pra cetak adalah bagian vital dari sebuah percetakan. Dan Pocu, selain Kartono, adalah orang yang bisa cerita proses pertumbuhan divisi pra cetak Jayakarta. Pocu masuk Jayakarta diajak Subianto dan Kartono. Awalnya, dia ragu karena masih mengurusi dagang bahan makanan dan restoran. Setelah dibujuk, Pocu pun bersedia. Oktober 1969 dia masuk Jayakarta. “Awalnya, saya tidak full di sana. Setelah tiga tahun saya diminta full time,” kenang Pocu.
Pocu sempat sekolah fotografi di Gedung Chandra Naya tahun 1971. Gedung tua ini terletak di Jalan Gajah Mada No. 188. Dulu, milik Mayor Khouw Kim An, pemimpin masyarakat Tionghoa masa Hindia Belanda. Pada 1957, namanya diganti Chandra Naya. Sampai 1980-an, gedung ini menjadi tempat perkumpulan Tionghoa Sin Min Hui. Ada juga kegiatan sosial diadakan di Chandra Naya, termasuk sekolah fotografi.
Pocu cinta dengan dunia repro film. “Saya minta cuti setengah tahun untuk keperluan sekolah di Jepang di bidang repro sekitar tahun 1975-an.” Setelah kembali dari Jepang, Pocu lalu mengikuti pendidikan di Percetakan Negara, sekitar enam bulan. “Di Jayakarta, saya terus belajar dengan Mr. Chin,” kata Pocu.
Pada tahun 1960-an sampai pertengahan 1970-an, membuat satu film separasi butuh waktu sampai enam jam. Membuat film menggunakan kamera gantung, yang harus ditutup pakai kain hitam. Produksi film harus di ruang khusus untuk melihat ketajaman maupun ukuran. Gelap. Semua lampu dimatikan, yang boleh hanya lampu berwarna merah.
“Masih diputer pake tangan. Saya beli dari BUMN yang sudah tidak pake punya. Dijual. Ya..udah ga dipake. Udah di gudang. Semua pake tangan ga ada tombol listrik. Udah gitu pake kerudung punya. Kayak di studio,” tutur Kartono.
Setelah dibuat film dengan kamera gantung, baru dibikinkan layout. Bikin pola di kartun tebal (hard cartoon), dihitung ukuran kertas untuk cetak biru (blue print). Layout selesai. Lalu memasang semacam plastik yang ditempel dengan selotip. Film ditempel terbalik dan dimasukkan ke dalam mesin copier buat penyinaran. Setelah itu, baru dicuci, obatnya amoniak, yang dimasukkan ke dalam drum besar. Kertas blue print digulung dimasukkan dalam drum. Lalu ditutup beberapa menit, akan muncul teks gambar. Teks gambar ini diambil dan diberikan kepada pelanggan. Untuk dilihat, apakah teks dan posisi buku sudah sesuai atau belum. Jika sudah setuju barulah dibikin plat-nya. Buat plat disiapkan seng kosong.
Sebuah mesin besar berputar, plat seng kosong dijepit, lalu gundu (kelereng) ditabur di atas plat. “Terus digoyang-goyang, didorong ke depan, belakang, depan, belakang. Nanti tinggal ditaburin pasir. Terus gitu,” cerita Kartono. Mesinnya digerakkan motor tempel dari mobil bekas yang diambil dinamonya. Arusnya dibalik.
Pembuatan plat sekitar satu jam. “Kalau plat sudah bagus, kita bikin lagi obat untuk penyinaran. Itu bikin sendiri, oplos sendiri. Oplos macem-macem. Dicampur yang diajari guru waktu di Pertjetakan Negara.”
Mesin dalam keadaan berputar, plat kosong diletakkan di atas mesin. Lalu obat penyinaran pun dituangkan pelahan, tidak boleh terlalu tinggi. Jaraknya mesti pendek, kalau terlalu tinggi akan terjadi busa. “Busa sedikit, cacat. Sudah tidak bisa pakai. Aduh... sulit sekali dulu. Sedikit saja salah... rasanya botak,” ucap Kartono.
Setelah seng plat licin, dimasukkan ke dalam oven pengering sekitar 10 menit. Kemudian diekspose, kira-kira setengah jam. Gambar pun keluar.
“Itu eksposenya saja bukan pake lampu tapi arang. Tiga arang. Dari arangnya itu menyala api, lalu terbakar dan keluar sinar. Itu zaman kuno sekali. Sekarang kan tinggal pakai, ditembak. Cuci langsung keluar gambar.”
Kadang, di tengah pekerjaan berlangsung, obat habis. Kartono pun segera mengambil sepeda motor dan melaju ke pasar loak (barang bekas) di kawasan Manggarai, mencari ramuan obat. “Gitu deh zaman dulu, susah semua.”
Setelah gambar muncul langsung direndam dalam air keras dan dipasang terbalik. Setelah terbuka, diberi obat kemudian diberi tinta hitam. Diangkat sebentar, direndam lagi pakai air keras. Dicuci lagi sekitar satu jam lebih. Bagian yang tidak kena sinar akan rontok. Plat pun terisi. “Wah cara itu, pusing sekali deh dulu. Satu plat aja bisa dua tiga jam. Kalau sekarang cuma bicara menit. Satu plat 10 menit jadi.”
Dulu, kalau membuat plat, mesti sangat hati-hati sekali. Sebab, kalau salah, menurut Pocu, diulang dari awal. “Waduh, makan waktu lama sekali.” Satu kali bikin file separasi saja sekitar enam jam, masukin screen untuk membuat dotgen (bintik-bintik yang membentuk warna), bikin blue print, dan plat-nya.
Tahun 1975, baru semi komputer. Mulai tahun ini, teknologi proof manual sudah bisa dibuat berwarna. Sudah ada mesin proof yang menggunakan lor tinta. Mesin macam gulungan besar berjalan mengangkut tinta yang nempel ke kertas. “Ini sudah warna. Tiap kali naik, satu warna,” ucap Pocu. Proof warna ini penting agar ketika percetakan berjalan, yang jumlahnya besar, mutu warna sudah bisa diperhitungkan sebelumnya.
SEPARASI warna merupakan kendala percetakan di Jakarta sebelum era komputer pada 1990an. Dunia warna adalah dunia tanpa batas. Seorang pencetak selalu tertantang bila mencetak materi berwarna, apalagi bila materi itu datang dari pelukis jagoan, yang bisa mencampur cat dan menciptakan warna, yang cocok untuk karyanya. Bagaimana cara mengubah dunia tanpa batas itu dalam separasi tiga atau empat warna? Entah dengan model warna CMY (cyan, magenta, yellow) atau model RGB (red, green, blue)? Biasanya, suatu warna bisa dipisah dalam tiga komponen cyan, magenta dan kuning, dicetak di atas kertas putih, plus warna hitam sebagai kuncinya (key) –kombinasi ini secara matematis disebut CMYK.
Kartono dan Pocu berusaha mencari jawaban model CMYK. Pada 1970an, saat memulai usaha, percetakan Jayakarta menggunakan satu unit mesin satu-warna dan dua mesin dua-warna. Masih tertinggal dari percetakan yang ada kala itu. Bahkan mereka sempat diejek-ejek salah satu percetakan ketika menggunakan mesin buatan Shanghai.
“’Bagaimana mungkin mesin cetak yang kurang baik bisa menghasilkan produk yang baik?’ Saya ingat itu. Hingga perkataan ini cambuk yang membuat saya betul-betul mau menunjukkan dan memberikan mutu yang baik dengan mesin yang ada,” kata Kartono.
Kartono sadar mesinnya tak bisa bersaing. Namun, dia tahu, mesin yang baik tanpa didukung film yang baik, hasilnya pun tak akan sempurna. Mereka mencari jalan keluar. “Filmnya saya cari yang paling baik,” kata Kartono.
Caranya, mereka mengirim film ke Hongkong walau di Jakarta mereka sudah mempekerjakan karyawan asal Hongkong. “Tetap saya kirim ke Dai Nippon Printing, printing yang ada di Hongkong. Nah, melalui dia, kita dibantu separasi film.”
Kartono belajar lagi ke perusahaan Kodak di Singapura. Di sana dia mendalami ilmu pewarnaan. Lalu, belajar lagi ke Hongkong.
“Saya diantar teman untuk belajar finishing. Bagaimana penjilidan buku yang baik. Kembali dari Hongkong diajak lagi untuk melihat percetakan Singapura yang sudah besar dan penjilidan bagus semua. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa finishing itu penting untuk percetakan. Dan kala separasi itu sangat penting karena jantungnya offset.”
Belakangan, Kartono melihat kualitas film Dai Nippon Printing Jepang lebih bagus dari Dai Nippon Hongkong. Mengapa cetakan Jepang dengan Hongkong, berbeda? Padahal sama-sama perusahaan Jepang juga.
Katono berpikir keras. Lalu, dia memutuskan mengirim film dari Hongkong ke Jepang. Meskipun waktunya agak lama, sekitar satu bulan, ada beberapa konsumen besar yang ingin mutu cetak buku terbaik. Mereka memberikan waktu cukup.
Ternyata hasil film Jepang tak sesuai harapan. Film yang dicetak dari Jepang dengan film yang diterima, tidak sama hasilnya. “Itu ada rahasia perusahaan masing-masing. Mereka merahasiakan agar tekniknya tidak dikuasai bangsa lain. Film yang di-proof ke kita bagus tapi film yang dikirim ke kita tidak sama.”
Kartono coba mencetak, namun hasilnya tak pernah sama dengan cetakan Jepang. Tak putus asa, Kartono terus mencari penyebabnya. “Belakangan saya liat terus, hasil dan film dengan cetakannya. Baru tahu, setelah diteliti ternyata film dan cetakan tidak sama karena film dibikin lebih warnanya, sedangkan di cetak agak dikurangi.”
“Bagaimana kita bisa nguber. Kita kan ikutin cetakannya. Itu ada teknik tertentu yang akhirnya ketemu.”
Jayakarta pun mampu membuktikan kepada pelanggan, meskipun menggunakan mesin sederhana, tapi mutu cetak baik. “Kita bisa berikan film yang bagus.”
Pada 1990an, era digital masuk. Proses separasi melalui komputer tapi masih menggunakan plat seng. Teknologi ini dikenal dengan nama computer to file (CTF). Halaman per halaman data digital dikonversi menjadi lembar film, kemudian dibuat plat-nya sebagai acuan cetak. “Sistem ini pun masih dipakai sampai sekarang di Jayakarta. Kebanyakan percetakan masih pakai sistem ini.”
Pada tahun 2002, Jayakarta membeli teknologi paling mutakhir: computer to plate (CTP). Dalam sistem ini, proses pembuatan image (citra) pada plat dilakukan tanpa melewati proses pembuatan film. Citra atau gambar langsung dicetak pada plat langsung dari komputer.
“Dengan CTP, jauh lebih mudah,” kata Pocu. Bahkan, pelanggan bisa mendesain materi sendiri, dan menyerahkan ke percetakan. Di percetakan tinggal layout, buat proof. Lalu diserahkan kepada pelanggan untuk koreksi. Jika setuju, masuk proses selanjutnya. Membuat plat dan siap cetak.
Cholid, karyawan pra cetak, mengatakan pada saya bahwa CTP bikin pekerjaan jauh lebih cepat. Cholid sudah bekerja selama 14 tahun di Jayakarta. Dia mencontohkan layout buku vertikal lipatan 16. Buka master pages, pilih ukuran buku dan diformat. “Sudah selesai.” Lalu, file dibuka dan masukkan ke mounting, otomatis membentuk format semula. “Pilih warna, tinggal request. Mau cetak berapa buku, di-klik aja. Gampang,” ucapnya, seraya memperagakan di komputernya.
Sartina, rekan Cholid, mengatakan “Asyiknya, mau apa-apa tinggal klik saja.”
Dari mounting, lalu ke mesin signa metaproof, sebuah mesin untuk cetak proof. “Setelah print, kita lihatkan lagi pada pelanggan. Bagaimana? Apakah sudah sesuai? Jika ada yang kurang bisa diperbaiki sebelum masuk mesin pembuat plat,” jelas Cholid.
Setelah proof dan pelanggan setuju, mulai masuk meta to setter. Ini sebuah mesin pro face digital yang memiliki monitor. Pengaturan dilakukan melalui komputer. Setelah diatur, mesin pun bergerak. Perlahan-lahan plat kering keluar dari mesin.
Sampai di sana belum selesai. Plat harus naik meja koreksi sesaat sebelum pindah ke mesin cetak. Dicek, apakah plat sudah sesuai atau belum. Saya perhatikan Topik Hidayat, operator mesin, anak buah Pocu, meletakkan plat di atas meja dan menempelkan alat koreksi densitometer di atas plat.
“Bisa keliatan, apakah plat bersih atau ga? Kalibrasi warna sudah cocok atau belum? Ukuran, persen output apakah sudah benar? Bisa terlihat di sana jika ada yang kurang,” jelas Topik. CMYK biasa diukur dengan persentase setiap komponen. Cyan sekian persen. Magenta sekian persen.
Mesti digital, masalah dan kesulitan tetap ada. Contoh, desain datang dari klien dan percetakan tinggal menata. Jika, desain jelas dan rapi mungkin tak masalah. “Kadang, karena bukan kita yang mengerjakan dari awal, kita takut mengutak atik… eh kadang salah, jadi sasaran complain,” ucap Cholid.
Masalah mesin, kata Topik, juga bisa terjadi. Misal, mesin tiba-tiba error atau rusak. Teknisi dipanggil. “Kalau gini, kita akan liat. Jika rusaknya ringan dan bisa ditangani teknisi sendiri. Kadang, jika sulit kita panggil teknisi dari perusahaan (mesin) ini.”
Bagi Pocu dan anak buahnya, complain pelanggan merupakan bagian pekerjaan mereka. Mereka berusaha hasil kerja sesuai keinginan konsumen. Secara umum, pelanggan, seperti penerbit, desainer, fotografer bisa bekerja sama dengan baik. “Mereka ikut mengoreksi sama-sama, mudah dihubungi, jika kami perlu bertanya. Kita pun bisa beri usul. Menyenangkan,” ucap Pocu.
Pocu, Cholid, Topik dan Sartina senang jika pekerjaan bagus dan bisa diterima pelanggan.
MESIN Ryobi terus berputar mengeluarkan bunyi gemuruh. Helai demi helai kertas keluar dari mesin lima-warna asal Jepang itu. Pada, layar monitor tertera 13.500, yang menunjukkan besaran kapasitas produksi per jam. Di bagian bawah angka terus berganti… 71458… 88075….
Saya sering melihat-lihat mesin-mesin Jayakarta. “Angka itu menunjukkan banyaknya kertas yang sudah dicetak,” kata operator mesin Pocen.
Pocen berumur 52 tahun. Dia sudah bekerja di Jayakarta 1970-an. Sekarang, Pocen bisa bekerja dengan cepat. Mencetak langsung lima warna. Dulu, tahun 1970-an, mesin baru bisa hitam putih. “Menghidupkannya pun pakai tangan. Digerak-gerakkan.”
Pocen mengatakan dia banyak belajar dari percetakan ini. Nasehat dan kritik biasanya datang dari Erwin. “Ya, kalau saya salah, Pak Erwin kasih tau. Kritik saya. Tapi saya senang, karena dia omelin saya, tapi ada jalan keluarnya,” tutur Pocen.
Mesin Shanghai model satu-warna dan dua-warna milik Jayakarta, yang dipakai sejak 1969, kapasitasnya hanya 3.000 lembar per jam. Mau menyetel warna, membutuhkan waktu sampai satu jam. Sekarang, dengan mesin-mesin baru Jerman (Heidelberg dan Roland) serta Jepang (Mitsubishi dan Ryobi), setel 15-20 menit sudah selesai. Bahkan, ketika percetakan lain masih menggunakan empat warna, Jayakarta sudah memiliki mesin lima dan enam warna.
Ada kejadian awal 1980an, yang menyebabkan Jayakarta beralih dari mesin Heidelberg ke Rolland, keduanya produksi Jerman. Ketika itu, Jayakarta membeli kamera produksi Jerman dari distributor Heidelberg di Jakarta untuk separasi warna. Sampai di Jakarta, dipasang dan dipakai hanya bisa hitam putih. Gambar yang muncul berbayang ganda.
Saat klaim kepada distributor Heidelberg, yang sudah dibayar 80 persen, tak ada tindakan apa-apa. Merasa mereka tidak bertanggung jawab, timbul perselisihan. Putus hubungan.
“Barang yang sudah jadi ya udah kita beli. Cuma kita ga lanjut lagi beli mesin dia. Akhirnya kita ke Rolland,” kata Kartono.
Setelah pindah ke Rolland, perusahaan mendapatkan empat teknisi dari Hongkong. Satu menjadi kepala produksi merangkap operator, dua orang operator mesin, satu lagi bagian repro.
Kartono memutuskan membeli mesin Rolland Record (enam-warna) pada 1996 dan Ryobi (lima-warna) pada 2005. Persaingan bisnis cetak makin ketat. “Mereka [pesaing] ketawain saya, cetak empat-warna, beli enam-warna.”
Bagi Kartono, yang paling penting dari percetakan itu mutu dan biaya. Jika, menggunakan empat-warna, untuk mencetak enam-warna, kertasnya harus naik dua kali.
“Naik dua kali berarti kerusakan mungkin dua kali juga. Kalau naik satu kali kerusakan kemungkinan satu kali, jadi cost bisa lebih murah, bisa ditekan. Kecepatan dan cost murah. Itu yang mereka tidak menyadari. Jayakarta sering mendapatkan pekerjaan yang lebih (dari) empat-warna,” katanya.
Kini bagian produksi dikepalai Asianto. Jadi, sebuah pekerjaan cetak arusnya pindah dari bagian Pocu ke bagian Asianto.
Asianto masuk Jayakarta pada Desember 1977. Awalnya, dia sebagai kepala pembukuan, sekitar tiga tahun, lalu promosi ke pemasaran. Ketika di pemasaran, dia merangkap bagian kalkulasi. “Saya harus bisa kalkulasi harga dengan klien. Saya senang di bagian ini karena banyak berhubungan dengan pihak luar. Jadi, kita tau apa keinginan klien,” kata Asianto.
Ada juga sedihnya, saat menghadapi tekanan klien. “Klien minta cepat, lalu kita ke produksi, tanya apakah bisa cepat,” tuturnya. Asianto jadi tahu pekerjaan produksi. Awal 1980-an, ada karyawan produksi yang keluar, dia diminta pindah ke sana. Asianto setuju. Ketika kepala produksi, Mr. Chin, pensiun, Asianto menggantikan posisinya.
Masa-masa yang paling berat ketika menghadapi batas waktu cetak dan order banyak. Mau tak mau harus ada lembur. “Nguber deadline, kalau udah tau kerjaan bakal ga selesai maka dilemburkan. Ini harus dihitung dengan teliti. Perhitungan harus cermat.”
Bagian produksi meliputi proses dari materi masuk mesin cetak sampai finishing. “Finishing-nya semua diperhatikan. Meskipun di Jayakarta tidak ada mesin finishing otomatis namun kualitas jilid tak diragukan,” kata Kartono. Bahkan, mereka merakit sendiri. “Yang belum ada, di Jakarta, saya tembak semua dari luar. Saya beli, modifikasi sendiri. Sampai ada ini hari.”
Pekerjaan percetakan, antara satu bagian dan bagian lain, saling terkait. Hasil cetakan ditentukan dari pesanan masuk sampai barang jadi. “Jadi, koordinasi awal dari marketing.” Bagian pemasaran, jika mau menerima pesanan biasanya langsung menghubungi produksi.
Pada masing-masing bagian mempunyai agenda, berupa buku catatan pekerjaan. Di dalam buku inilah, interaksi antar bagian terlihat. Jika pekerjaan bisa selesai tepat waktu dan konsumen senang, bagi Asianto, menjadi satu kebanggaan.
TAHUN 1997, krisis ekonomi dan moneter menghantam Indonesia. Nilai rupiah terpuruk, dari Rp2.400 per dollar AS, naik drastis sekitar Rp23.000 ketika Presiden Soeharto menentukan B.J. Habibie sebagai wakilnya. Pebisnis pun kelimpungan. Pinjaman membengkak. Harga-harga naik. Begitu juga bisnis percetakan. Masa itu, banyak percetakan menjual mesin-mesin mereka.
Jayakarta juga mengalami kesulitan. Pesanan buku berkurang, harga material, seperti kertas dan tinta impor melonjak. “Kita pan masih tergantung fluktuasi dollar. Saat itu kertas naik. Sulit deh,” ucap Erwin.
Bahkan, tiga orang tenaga ahli dari Hongkong, harus pulang kampung karena gaji mahal. “Kita ga mampu, mereka dibayar pake dollar, saat itu dolar sampai Rp15.000-an,” kata Kartono.
Namun percetakan Jayakarta mampu bertahan. “Meskipun berat dan tersendat-sendat, kita masih untung. Ga sampai jual-jual mesin. Masih bisa jalan walau berat, order berkurang,” ujar Erwin.
Pada Mei 1998, kerusuhan rasial anti-Tionghoa meledak di Ende, Solo, Medan Jakarta dan beberapa daerah lain. Ribuan orang mati terbakar di beberapa mall Jakarta. Ribuan toko-toko dan perusahaan-perusahaan milik “non-pribumi” dihancurkan massa. Pengrusakan membabi-buta. Orang Tionghoa, sekali lagi, menjadi sasaran, terutama di Jakarta dan Surakarta.
Saat itu, kawasan Kota menjadi amuk massa. Mobil-mobil dibakar. Api berkobar di mana-mana. Erwin, Kartono, Pocu, Asianto dan lainnya merasakan suasana menakutkan. “Saya pulang ke rumah diantar pake motor sama staf. Lewat jalan kecil. Saya masih harus pake tutup kepala biar ga ketahuan,” cerita Erwin.
PT Jayakarta Agung Offset pun terpaksa berhenti operasi sekitar seminggu. Karyawan takut ke luar rumah.
Asianto, ketika kerusuhan pulang ke rumah di daerah Tomang, menggunakan ojek motor. “Mobil saya tinggal di depan, lalu jalan kaki cari ojek,” tuturnya.
Terjadi keterlambatan kerja, tapi pelanggan dapat memahami keadaan ini. Kondisi sulit ini, katanya, berangsur membaik dalam dua tahun. “Yah, keadaan membaik, mulai ada masup cetak buku,” kata Erwin.
Di masa yang sulit itu, Jayakarta masih mendapatkan penghargaan dari bank sebagai nasabah terbaik. Nasabah yang tidak menunggak membayar utang-utangnya. Saat krisis itu, banyak kredit macet. “Kita bayar, 40 persen bunganya kita bayar. Ga pernah nunggak,” ucap Kartono.
Beberapa tahun sesudah jatuhnya Soeharto, keadaan Jayakarta mulai tenang. Kartono memilih pensiun Oktober 2006. “Capek, saya serahin adek saja. Kan sudah ada keponakan di sini, adik di sini. Jadi sudah bisa jalan tanpa saya. Sudah bisa dilepas,” kata Kartono.
Kartono memulai bisnis baru, distributor kertas. “Ga terlalu capek. Kalau percetakan waktu sempit, kita tidak bisa tidur. Pak Erwin itu kadang pukul 5 subuh masih di kantor nungguin materi yang mau diambil besok. Rasa tanggung jawab mesti penuh.”
Pekerjaan Erwin makin bertambah. Dia mengurus luar dan dalam. Awal tahun ini, Erwin menjalani operasi mata di Singapura. “Sekarang mata saya sudah baikan. Kalau ga pan susah,” ucap Erwin. Kakak beradik ini berharap, bisnis yang mereka bangun dari kecil, sampai sebesar sekarang, dapat terjaga. “Ini usaha peninggalan orang tua.”
Note: Tulisan ini dibuat untuk profil perusahaan PT Jayakarta Agung Offset. Ia berupa majalah yang berisi beberapa artikel dan foto terkait Jayakarta.
Thursday, October 25, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Mbak. Pak Erwin yg sama-sama kita (Nana, Bang Andreas) ke Bintaro itu kah? Kemudian kita makan siang?
Kalau benar salam buat beliau. Apakah majalahnya udah terbit?
Salam dari Pontianak
Iya Kim. Benar, Pak Erwin bos Jayakarta itu yang kita barengan ke rumah desainernya, Hanny K di Bintaro.
Majalahnya udah terbit Agustus lalu, di rumah ada nyimpen beberapa. Ntar deh, kalo ada kawan yang datang mbak kirimin buat Akim ya.
Salam dari Jakarta buat Akim dan temans semua.
Post a Comment