Wednesday, July 17, 2013

‘Dana Liar‘ Sektor Kehutanan US$2 Miliar per Tahun

                                 

SETIDAKNYA negara Indonesia mengalami kerugian dari sektor kehutanan setiap tahun mencapai US$2 miliar yang disebabkan beberapa faktor seperti, pembalakan liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Demikian laporan Human Right Watch (HRW) berjudul “Dana Liar: Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi Sektor Kehutaman pada Hak Asasi Manusia,” yang dirilis Selasa (1/12) di Jakarta.

Joe Saunders, Wakil Direktur Program HRW mengatakan, dari hasil riset HRW menemukan tahun 2003-2006, lebih dari setengah kayu tebangan Indonesia dari pembalakan liar dan luput pajak. “Subsidi siluman,dengan sengaja pemerintah mematok harga kayu dan nilai tukar lebih rendah dari harga riil serta eksportir menghindari pajak yang dikenal dengan harga transfer hingga makin memperbesar kerugian,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta.

Saunders mengungkapkan, keadaan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan terjadi pertentangan kepentingan. Jika hal ini tak ditangani serius, bisa menjadi sinyal buruk bagi Indonesia. Hal ini menyangkut kemampuan Indonesia menjadi mitra yang dapat diandalkan dalam perdagangan karbon.

Dia menjelaskan, kegagalan sektor perkayuan ini menimbulkan implikasi penting pada dunia internasional. Saat ini, tekanan perubahan iklim, mencetuskan minat lembaga keuangan internasional, negara pendonor dan para pelaku pasar menyeimbangkan emisi karbon dengan memberikan kompensasi pendanaan langsung ke negara seperti Indonesia. Negara ini memiliki hutan luas sebagai penyerap karbon global yang terancam kelestariannya.

“Jika pengawasan lemah dan ada pertentangan kepentingan, maka mengucurkan uang dari perdagangan karbon ke sistem yang penuh kebocoran tidak akan memperbaiki keadaan. Justru memperparah masalah,” ujar dia.

Dalam laporan HRW itu menyebutkan, tahun 2006, pemerintah Indonesia mengalami kerugian lebih dari US$2 miliar dari pajak yang tak terpungut karena pembalakan liar US$1,3 miliar, manipulasi royalti hutan agar lebih rendah dari seharusnya US$563 juta, dan praktik transfer harga ilegal US$138 juta.

“Secara keseluruhan dalam 2003-2006, perilaku itu telah merugikan negara sekitar US$6 miliar.”

Angka yang digunakan dalam perhitungan itu, merupakan angka konservatif, belum termasuk penyelundupan atau kegiatan lain yang tidak dilaporkan.

Dari analisis HRW terhadap angka perdagangan terlihat, dari laporan hasil ekspor yang sebagian besar dari sektor kayu dan bubur kertas, ada kehilangan pemasukan negara cukup besar akibat penghindaran pajak melalui harga transfer. Dalam konteks ini, harga transfer merupakan praktik melanggar hukum, ketika perusahaan kayu mengaku menjual dengan harga lebih rendah dari harga sebenarnya kepada anak perusahaan di luar negeri hingga mengurangi pajak ekspor berbasis nilai Indonesia.

Saunders mencontohkan, perbandingan laporan eskpor 2006, dengan nilai impor negara penerima menunjukkan, negara pengimpor menyebutkan telah menerima kelebihan impor US$725 juta berbentuk kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan bubur kertas dari ekspor yang dilaporkan Indonesia. Tak hanya itu. Data perdagangan juga menunjukkan, kegiatan penyelundupan cukup besar, misalnya, negara pengimpor melaporkan menerima 73 persen lebih banyak volume kayu lapis dari laporan ekspor Indonesia.

“Analisis ini memperlihatkan tahun 2006, kerugian pajak Indonesia sekitar US$138 juta. Ini angka taksiran terendah karena mengabaikan kayu yang diselundupkan dan tidak dilaporkan baik oleh Indonesia maupun negara pegimpor,” ucap Saunders.

Belum lagi, sejumlah dana cukup banyak juga hilang akibat subsidi yang begitu mudah diberikan Departemen Kehutanan (Dephut) kepada industri. Contoh, dalam memperhitungkan pajak hutan, departemen memperbolehkan perusahaan menggunakan harga kayu bulat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang jauh lebih rendah dari harga pasar. Lalu, dalam pajak sumber daya hutan (PSDH) yang dikenakan Dephut dihitung sebesar 10 persen dari indeks harga kayu bulat di pasar domestik.

“Sejak tahun 2002, departemen masih menetapkan nilai indeks itu pada harga Rp500 ribu (US$53) per meter kubik untuk jenis kayu terbanyak (meranti). Padahal, hasil kayu itu di pasar domestik sudah mencapai lebih dari Rp1 juta (US$240) per meter kubik tahun 2006.”

Begitu pula dana reboisasi (DR) dalam dolar, tapi mengizinkan perusahaan membayar dalam rupiah dengan nilai tukar ditetapkan Rp5.000 per dolar. Tentu, angka ini jauh lebih kecil dari nilai tukar sebenarnya, saat ini pada kisaran Rp9.000-Rp10.000 per dolar AS.

HRW mengambil contoh di Kalimantan Barat (Kalbar), satu meter kubik kayu meranti dikenakan PSDH Rp50.000, DR Rp80.000, totalnya kurang dari US$13. Jika menggunakan harga pasar dan nilai tukar rupiah sesungguhnya tahun 2006, pemerintah berpotensi menerima pendapatan tiga kali lipat lebih besar, sekitar US$40.

Menurut Saunders, dari ‘kecolongan‘ ini dampak bagi dalam negeri terutama daerah terpencil (masyarakat sekitar hutan) begitu terasa. Sampai kini, hidup mereka jauh tertinggal. “Angka US$2 miliar itu hampir sama dengan gabungan seluruh alokasi anggaran kesehatan nasional, provinsi dan kabupaten.” Sapariah Saturi Harsono (Publish di Jurnal Nasional  2 Desember 2009)



1 comment:

Pista Simamora said...

Lahan seluas ini harusnya dikelola dengan baik..