SETIDAKNYA negara Indonesia mengalami kerugian dari sektor kehutanan setiap
tahun mencapai US$2 miliar yang disebabkan beberapa faktor seperti, pembalakan
liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang
yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak. Kondisi ini menyebabkan
berkurangnya dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan sosial ekonomi
masyarakat. Demikian laporan Human Right Watch (HRW) berjudul “Dana Liar:
Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi Sektor Kehutaman pada Hak Asasi
Manusia,” yang dirilis Selasa (1/12) di Jakarta.
Joe Saunders, Wakil Direktur Program HRW mengatakan, dari hasil riset HRW
menemukan tahun 2003-2006, lebih dari setengah kayu tebangan Indonesia dari
pembalakan liar dan luput pajak. “Subsidi siluman,dengan sengaja pemerintah
mematok harga kayu dan nilai tukar lebih rendah dari harga riil serta eksportir
menghindari pajak yang dikenal dengan harga transfer hingga makin memperbesar
kerugian,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta.
Saunders mengungkapkan, keadaan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan
terjadi pertentangan kepentingan. Jika hal ini tak ditangani serius, bisa
menjadi sinyal buruk bagi Indonesia. Hal ini menyangkut kemampuan Indonesia
menjadi mitra yang dapat diandalkan dalam perdagangan karbon.
Dia menjelaskan, kegagalan sektor perkayuan ini menimbulkan implikasi
penting pada dunia internasional. Saat ini, tekanan perubahan iklim,
mencetuskan minat lembaga keuangan internasional, negara pendonor dan para
pelaku pasar menyeimbangkan emisi karbon dengan memberikan kompensasi pendanaan
langsung ke negara seperti Indonesia. Negara ini memiliki hutan luas sebagai
penyerap karbon global yang terancam kelestariannya.
“Jika pengawasan lemah dan ada pertentangan kepentingan, maka mengucurkan
uang dari perdagangan karbon ke sistem yang penuh kebocoran tidak akan
memperbaiki keadaan. Justru memperparah masalah,” ujar dia.
Dalam laporan HRW itu menyebutkan, tahun 2006, pemerintah Indonesia
mengalami kerugian lebih dari US$2 miliar dari pajak yang tak terpungut karena
pembalakan liar US$1,3 miliar, manipulasi royalti hutan agar lebih rendah dari
seharusnya US$563 juta, dan praktik transfer harga ilegal US$138 juta.
“Secara keseluruhan dalam 2003-2006, perilaku itu telah merugikan negara
sekitar US$6 miliar.”
Angka yang digunakan dalam perhitungan itu, merupakan angka konservatif,
belum termasuk penyelundupan atau kegiatan lain yang tidak dilaporkan.
Dari analisis HRW terhadap angka perdagangan terlihat, dari laporan hasil
ekspor yang sebagian besar dari sektor kayu dan bubur kertas, ada kehilangan
pemasukan negara cukup besar akibat penghindaran pajak melalui harga transfer.
Dalam konteks ini, harga transfer merupakan praktik melanggar hukum, ketika
perusahaan kayu mengaku menjual dengan harga lebih rendah dari harga sebenarnya
kepada anak perusahaan di luar negeri hingga mengurangi pajak ekspor berbasis
nilai Indonesia.
Saunders mencontohkan, perbandingan laporan eskpor 2006, dengan nilai impor
negara penerima menunjukkan, negara pengimpor menyebutkan telah menerima
kelebihan impor US$725 juta berbentuk kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis
dan bubur kertas dari ekspor yang dilaporkan Indonesia. Tak hanya itu. Data
perdagangan juga menunjukkan, kegiatan penyelundupan cukup besar, misalnya,
negara pengimpor melaporkan menerima 73 persen lebih banyak volume kayu lapis
dari laporan ekspor Indonesia.
“Analisis ini memperlihatkan tahun 2006, kerugian pajak Indonesia sekitar
US$138 juta. Ini angka taksiran terendah karena mengabaikan kayu yang
diselundupkan dan tidak dilaporkan baik oleh Indonesia maupun negara pegimpor,”
ucap Saunders.
Belum lagi, sejumlah dana cukup banyak juga hilang akibat subsidi yang
begitu mudah diberikan Departemen Kehutanan (Dephut) kepada industri. Contoh,
dalam memperhitungkan pajak hutan, departemen memperbolehkan perusahaan
menggunakan harga kayu bulat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang jauh
lebih rendah dari harga pasar. Lalu, dalam pajak sumber daya hutan (PSDH) yang
dikenakan Dephut dihitung sebesar 10 persen dari indeks harga kayu bulat di
pasar domestik.
“Sejak tahun 2002, departemen masih menetapkan nilai indeks itu pada harga
Rp500 ribu (US$53) per meter kubik untuk jenis kayu terbanyak (meranti).
Padahal, hasil kayu itu di pasar domestik sudah mencapai lebih dari Rp1 juta
(US$240) per meter kubik tahun 2006.”
Begitu pula dana reboisasi (DR) dalam dolar, tapi mengizinkan perusahaan
membayar dalam rupiah dengan nilai tukar ditetapkan Rp5.000 per dolar. Tentu,
angka ini jauh lebih kecil dari nilai tukar sebenarnya, saat ini pada kisaran
Rp9.000-Rp10.000 per dolar AS.
HRW mengambil contoh di Kalimantan Barat (Kalbar), satu meter kubik kayu
meranti dikenakan PSDH Rp50.000, DR Rp80.000, totalnya kurang dari US$13. Jika
menggunakan harga pasar dan nilai tukar rupiah sesungguhnya tahun 2006,
pemerintah berpotensi menerima pendapatan tiga kali lipat lebih besar, sekitar
US$40.
Menurut Saunders, dari ‘kecolongan‘ ini dampak bagi dalam negeri terutama
daerah terpencil (masyarakat sekitar hutan) begitu terasa. Sampai kini, hidup
mereka jauh tertinggal. “Angka US$2 miliar itu hampir sama dengan gabungan
seluruh alokasi anggaran kesehatan nasional, provinsi dan kabupaten.” Sapariah
Saturi Harsono (Publish di Jurnal Nasional
2 Desember 2009)
1 comment:
Lahan seluas ini harusnya dikelola dengan baik..
Post a Comment